PROLOG

27 4 2
                                    

2025

Hiruk pikuk suasana di backstage aula besar membuatku kesulitan bernafas. Tanganku tidak berkeringat, tetapi dingin dan bergetar. Sial, bagaimana nanti aku memetik gitar kalau tanganku tidak bisa diam? Butuh dua penampilan lagi sebelum giliranku untuk maju ke atas panggung menampilkan lagu yang berjudul Sempurna. Lagu sejuta umat yang semua orang pasti hafal dengan setidaknya lirik bagian reff nya. Butuh dua penampilan lagi sebelum giliranku menginjakkan kaki di atas panggung yang pernah dia pijaki dua tahun yang lalu.

Suara tepukan dari berpasang-pasang ratusan tangan di aula terdengar menggelegar seperti petir. Petir itu terasa menyambar jantungku yang kini berdetak kencang. Memicu otakku untuk kehilangan akal. Memicu pengelihatanku untuk menjadi buram. Satu penampilanpun telah selesai.

Regu tari yang beberapa dari anggotanya aku kenali itu turun dari panggung. Mereka yang baru saja menciptakan sorakan menggelegar itu memasang semburat kelegaan, kegemberiaan, dan kebanggaan di muka. Mereka pantas mendapatkan euforia itu karena telah susah payah berlatih selama satu bulan dari sebelum acara perpisahan ini dimulai.

Apakah nanti aku bisa memasang raut muka seperti mereka? Aku tidak akan membuat kesalahan pada penampilan perdanaku bernyanyi di hadapan ratusan orang di aula, 'kan?

Memikirkan itu, pandanganku mendadak menjadi hitam dan aku hampir terhuyung ke belakang sebelum seseorang menempelkan benda dingin di pipiku.

"Dor!"

Kesadaranku kembali seketika setelah sepercikan detik nyaris menghilang. Aku tidak tahu harus kesal atau berterima kasih. Kesal karena ia mengagetkanku. Berterima kasih karenanya aku tidak jadi pingsan dan menjadi pusat perhatian seluruh orang di backstage yang mana akan merepotkan panitia acara juga.

Menyadari betapa pucatnya wajahku sekarang, tersangka yang mengagetkanku itu melemparkan pertanyaan penuh dengan kekhawatiran, "wo wo wo, lo ngga apa-apa, kan?"

Aku tersenyum paksa lalu menggeleng. "Ngapain lo di sini?" Ucapku basa-basi. Berusaha mengalihkan pembicaraan dan memusnahkan rasa khawatirnya.

"Pocari." Ia menyodorkan sebotol minuman isotonik yang dingin.

Aku tersenyum untuk membalas bentuk rasa perhatiannya. Kupaksakan organ pencernaanku untuk menerima cairan itu tanpa memuntahkannya kembali. Dibarengi dengan firasatku yang berusaha menyugesti bahwa aku akan baik-baik saja setelah meminum sebotol minuman isotonik yang dingin itu.

"Makasih," ucapku yang tidak ditimbali balasan.

Laki-laki yang baru saja memberiku sebotol minuman dingin itu adalah teman dekatku. Sedekat apapun yang kalian pikirkan, kami hanya sebatas teman tanpa perasaan serius. Kurasa.

Aku tidak tahu apakah karena sebotol minuman yang ia berikan atau kehadirannyalah yang menjadi jimat penenang rasa anxiety-ku. Apapun itu, yang jelas aku merasa lebih baik sekarang.

"Dimana yang lain?" Tanyaku yang kali ini ditimbali oleh balasannya.

"Udah ready di baris terdepan buat nge-support lo,"

Aku tersenyum. Kalau begitu aku tidak perlu begitu cemas. Wajah-wajah yang kuanggap sebagai rumah akan menjadi wajah pertama yang akan kulihat nanti. Siapa lagi kalau bukan tokoh-tokoh penting yang selama dua tahun terakhir ini ikut mewarnai kehidupan ku di masa SMA?

"Mereka minta fotbar sama lo. Tapi gue bilang nanti aja abis lo tampil," katanya.

Seperti biasa, ia selalu tahu setiap respon yang aku butuhkan.

Aku termenung sambil melihat monitor kamera di backstage yang menyoroti penampilan baca puisi. Penampilan itu  dilakukan oleh seorang siswi yang kuketahui adalah adik kelasku. Wajahnya begitu familiar karena rajin maju ke tengah lapangan setelah upacara bendera untuk menerima penghargaan atas segudang lomba bakat yang ia ikuti.

Dari monitor, aku melihat bahwa posisi siswi yang membaca puisi itu persis seperti tempat dia berpijak tahun lalu. Di tengah panggung dan agak maju sedikit. Posisi center yang membuat seluruh penonton lebih terfokus pada satu pandangan. Jika benar-benar mahir, maka lebih dari fokus, penonton akan terhipnotis. Seperti yang dia lakukan dua tahun yang lalu. Aku menjadi salah satu penonton yang terhipnotis olehnya. Entah karena kemahirannya dalam bernyanyi, kemahirannya dalam bermain gitar, atau kemahirannya dalam memikat hati.

Satu penampilan lagi, aku akan berpijak di titik center itu. Seperti kamu dua tahun yang lalu.

Suara tepuk tangan kembali terdengar menggelegar mengalahkan penampilan sebelumnya. Gemuruh riuh memenuhi setiap sudut aula besar. Mungkin karena betapa mahirnya siswi itu membaca puisi sampai dapat menyentuh dan menyihir hati penonton. Ku lihat beberapa dari penonton sampai meneteskan air mata. Kali ini bagiku sorakan itu tidak menciptakan petir, tetapi gempa-gempa kecil yang cukup membuat jantungku berdetak sedikit berlebihan.

Kurasakan kehangatan menjalar dari kedua tanganku yang tiba-tiba didekap oleh teman yang sedari tadi setia berdiri di sampingku itu.

"What are you doing?" Aku bertanya dengan suara yang sengaja kutahan untuk tidak naik beberapa oktaf. Menjaganya agar tidak ter-notice orang-orang disekitar.

"Sending you a confident energy," balasnya menatapku serius.

"I am confident," selaku dengan penuh penegasan di setiap kata. 

Ia menggeleng, "nah, you are not."

"I was. I was unconfident. But now I'm okay," kataku dengan penuh keyakinan.

"Sending you more 'okay' energy, then," balasnya lagi.

Aku tidak bisa menahan senyum bahagia. Kehadiran sekaligus setiap perhatian kecil yang temanku berikan dari tadi sudah lebih dari cukup untuk membuatku percaya diri. Menurutku eksistensinya sekarang bagaikan sebuah jimat.

Ia melepaskan tautan yang menyatu di antara sela-sela jari kita. Menepuk pundakku dengan pandangan yang penuh keyakinan bahwa aku bisa. Sepertinya dia lebih percaya daripada aku percaya dengan diriku sendiri. Mungkin karena itu juga aku menjadi lebih tenang sekarang.

"...Alana Astrida yang akan menyanyikan lagu Sempurna by Andra and the BackBone! Tepuk tangan yang meriah untuk Lana!"

Suara sorakan yang menggema di ruangan yang super besar ini tidak kusangka ditujukan olehku. Detak jantungku berpacu lebih cepat. Sekarang bukan hanya kecemasan, tetapi antusias dan rasa sureal yang tertanam di dada. Dua tahun yang lalu aku pasti tidak akan pernah menyangka bahwa aku bisa berdiri di titik ini. Di titik yang pernah dia pijak.

Pandanganku entah kenapa tidak bisa terfokuskan ke seluruh objek di depanku, kecuali sosok-sosok familiar yang ku kenal sebagai tokoh penting selama dua tahun terakhir ini. Orang-orang bilang itu namanya 'sahabat'. Mereka berteriak menyorakiku di baris terdepan.

Penampilanku membawakan lagu Sempurna cukup berjalan dengan lancar, bahkan terbilang sangat lancar untuk ukuran penampilan perdana.

Selama penampilan berlangsung tidak ada yang aku pikirkan selain setiap lirik dan jari-jari yang kian bergerak memetik gitar. Tidak ada yang aku bayangkan selain di saat aku berlatih sendiri. Tidak ada yang aku lihat selain sahabat-sahabatku, kamera, dan lampu yang menyorot. Aku terus berusaha tidak keluar dari teritori aman ini sampai ledakan kembang api meluap di benakku ketika seisi ruangan ikut bernyanyi. Aku memberanikan diri untuk membuka pintu teritori amanku. Menatap jelas setiap sudut ruangan. Menatap jelas setiap pasang mata asing yang akhirnya menghantarkanku pada sepasang mata yang selama ini kurindukan.

Jantungku berdegup berkali-kali lipat lebih cepat. Semesta seperti membombardirku dengan beribu-ribu meteor. Menghempaskanku pada lautan dan tenggelam sedalam-dalamnya.

Itu adalah sepasang mata miliknya yang menjadi alasan cerita ini ada.

Dia,

Narendra Arsa Darmawan.

***
07/07/2024
02.07 AM

Something About YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang