𝐏𝐫𝐨𝐥𝐨𝐠

97 21 2
                                    

"Halilintar, kemarilah." Suara panggilan terdengar dari dalam rumah, membuat lelaki berambut hitam dengan beberapa helaian rambut putih memberhentikan aktivitasnya diluar rumah, dan segera menghampiri suara yang memanggil dirinya. Kaki jenjangnya melangkah seiring dengan tatapan nya yang selalu menyorot tajam. Langkah kakinya berhenti ketika sudah berdiri di samping pria berusia tiga puluh enam tahun yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Perawakan mereka berdua hampir sama, sama-sama memiliki rambut khas yang terus diturunkan setiap generasi, yaitu helaian rambut putih. Namun yang berbeda adalah warna manik mata mereka, pria berusia tiga puluh enam tahun memiliki manik Hazel, sedangkan lelaki yang jauh lebih muda darinya memiliki manik Ruby.

"Ada apa, ayah?"

Pria yang dipanggil ayah itu tidak menjawab, ia malah menepuk-nepuk tempat kosong yang berada di sebelahnya, menyuruh anak sulungnya untuk duduk. Sang anak segera duduk sesuai dengan keinginan ayahnya. Sebenarnya ia tidak ingin terlalu lama berada didekat ayahnya, karena ia malas menanggapi setiap pertanyaan yang dilontarkan. Ia sudah sangat hapal dengan pertanyaan yang selalu diberikan kepadanya, seperti "Kamu sudah mendapatkan teman?" Atau "bagaimana kabarmu, nak?"

Konyol. Pertanyaan kedua terdengar sangat konyol. Jika orang lain mendengar pertanyaan itu pasti akan berpikir 'orang tua mana yang tidak tau kabar anaknya sendiri yang masih tinggal seatap dengan mereka?' Seperti biasa, orang-orang pasti langsung menyimpulkan suatu hal tanpa berniat untuk mencari tahu terlebih dahulu.

Sudah pasti hal itu ada alasannya. Dan alasannya adalah ibu sang pemuda bermata Ruby ini selalu dirawat dirumah sakit. Sudah pasti harus ada satu orang yang menemaninya, dan ayahnya lah yang menemani. Karena itulah ayahnya jarang pulang kerumah, awalnya ia merasa biasa saja ketika ditinggal sendirian dirumah selama berhari-hari, namun lambat laun ia mulai merasa kesepian. Hal inilah yang menjadi faktor hubungan antara ayah dan anak ini sedikit canggung.

Beberapa menit telah berlalu, tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibir mereka berdua. Sang ayah yang berpura-pura fokus pada tv yang menyala, padahal di dalam pikirannya ia sedang berusaha merangkai kalimat yang tepat. Sedangkan pikiran anaknya sangat kosong, ia terus menunggu ayahnya untuk berbicara.

"Hali." Anak itu menoleh ke sang ayah, ia hanya menaikkan alisnya sebagai balasan.

"Kita akan pindah dari sini."

Perkataan sang ayah membuat ia mengernyit dahi bingung. Ia tidak pernah diberitahukan akan pindah dari sini. Ia merasa hal ini terlalu tiba-tiba. Apalagi tidak ada persetujuan dari dirinya. "Kenapa kita harus pindah, ayah?"

Sang ayah tampak merenung sejenak, lalu berkata. "Perawatan disana jauh lebih bagus. Kemungkinan peluang ibumu bisa pulang kerumah jauh lebih besar."

Ia menatap ayahnya sejenak lalu menundukkan kepalanya. Mencerna setiap kalimat yang dilontarkan oleh ayahnya dan menurutnya alasan tersebut cukup masuk akal. Akan tetapi ia sedikit meragukan alasan tersebut, karena perawatan dirumah sakit ibunya sekarang tidak kalah bagus. Mau tak mau ia menyetujui kemauan ayahnya karena hal ini menyangkut kesehatan ibunya. Kali ini ia akan mengalah, ah- tidak, tidak kali ini tetapi selalu akan mengalah untuk segala hal.

Ia mengangkat kepalanya setelah menunduk cukup lama dan kembali menatap ayahnya. Memberikan tatapan seolah ia menyetujui kemauan ayahnya. Tidak hanya itu, Ia juga menunggu untuk mendengar alasan kedua. Ia sangat yakin jika ayahnya memiliki alasan lain, akan tetapi ayahnya berusaha untuk menutupi alasan tersebut.

Helaan napas lelah keluar dari bibirnya saat menyadari bahwa ayahnya enggan untuk memberitahu alasan lain. Akhirnya ia lebih memilih untuk mengganti pertanyaan tersebut. "Kapan kita akan pindah, ayah?"

"Hari ini."

Perasaan kesal dan marah mulai menyelimuti dirinya. Belum selesai ia menenangkan dirinya dari keterkejutan karena harus pindah secara mendadak, ia malah kembali mendapatkan berita bahwa ia dan keluarganya harus pindah di hari ini. Belum sempat ia ingin memprotes perkataan ayahnya, secara tiba-tiba pintu rumah terbuka sangat kencang. Menampilkan tiga orang yang berdiri diluar, namun hanya satu yang ia kenal yang tengah berdiri dibagian tengah. Postur tubuh yang sempurna; otot lengan tercetak dengan sangat sempurna, tinggi badan yang menjulang tinggi, bentuk rahang yang tegas. Pria matang yang sangat di incar oleh kaum wanita, siapa saja pasti akan berusaha mengincar nya. Apalagi saat mengetahui pria tersebut tajir melintir, bisa jadi gila.

Pemuda bermanik ruby menaikkan alisnya, merasa keheranan melihat kedatangan pamannya yang secara tiba-tiba. "Paman pian?"

Senyuman senang terukir di bibir paman Pian. Ia merasa sangat senang bisa melihat ponakan nya lagi setelah tidak bertemu selama berbulan bulan. "Bagimana kabarmu, Lin?"

"Aku baik-baik saja, paman. Tetapi apa yang paman lakukan disini?" Tanya Halilintar dengan nada keheranan.

"Paman akan membantu pindahan keluarga kamu, Lin." Setelah mengatakan tujuan paman Pian berada di sini, paman Pian langsung memerintahkan kedua anak buahnya yang ia bawa untuk mengemasi barang-barang yang akan di pindahkan. Kedua orang tersebut menunduk terlebih dahulu sebelum melaksanakan perintah tersebut.

Paman Pian menyadari tatapan penuh pertanyaan dari keponakan nya ini. Seakan paham apa yang sedang dipikirkan oleh keponakan nya, ia dengan percaya diri berkata.  "Paman berharap kamu mendapatkan teman di lingkungan baru, Lin."

Ayah menepuk dahinya dengan sangat keras, sampai meninggalkan bekas kemerahan di dahinya. Ia benar-benar dibuat kesal dengan temannya yang dengan mudahnya memberitahu alasan kedua kepada anak semata wayangnya. Seharusnya ia lebih dulu menendang Pian keluar dari rumahnya sebelum Pian menyelesaikan kalimatnya tadi.

Pemuda dengan sorot tajam tersebut semakin dibuat tidak suka dengan kedua orang dewasa ini. Wajahnya semakin datar saat mengetahui alasan kedua keluarganya pindah dari sini. Padahal sudah jelas ia tidak akan pernah ingin memiliki teman, sekali pun ia akan dibayar dengan jumlah besar. Ia juga dapat menebak bahwa paman Pian lah yang rela membelikan rumah hanya untuk keluarganya mendapatkan lingkungan baru.

Dengan perasaan kesal ia kembali bertanya, "di mana letak rumahnya?"

Paman Pian mengernyit dahinya, "sejak kapan aku membelikan kalian rumah?"

Sang ayah dan sang anak memberikan tatapan bingung kepada Pian. Sang empu yang mendapati tatapan tersebut terkekeh canggung dan memalingkan pandangannya ke sembarang arah. Keringat dingin terus mengalir dari pelipisnya, ia baru ingat ia belum memberitahu jika ia tidak membelikan keluarga temannya ini rumah. Melainkan ia membelikan sesuatu yang lebih besar, "a-aku membelikan k-kalian mansion, bukan r-rumah."

Ayah menjatuhkan rahangnya, sedangkan sang anak kembali menghela napas lelah. Ia sangat tau dengan sikap pamannya ini yang selalu membeli sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu. Pemuda bermanik ruby itu segera pergi dari sana tanpa memperdulikan teriakan besar dari ayahnya untuk paman Pian.

"KAU BERLEBIHAN, PIAN!!"

___________________________________

Note: untuk chapter selanjutnya akan terus mengambil sudut pandang Halilintar karena dia menjadi pemeran utama di cerita ini. Dan tetap bakalan ada sudut pandang Reader di cerita ini, akan tetapi engga begitu banyak, mungkin hanya satu atau dua chapter.

Semoga kalian menikmati cerita yang aku buat! Jangan lupa tinggalkan jejak kalian dengan cara vote atau komen ya!!

𝐒𝐭𝐚𝐲 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐌𝐞 || 𝐻𝑎𝑙𝑖𝑙𝑖𝑛𝑡𝑎𝑟Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang