"Papa!"Panggilan dari bibir mungil itu terdengar beberapa kali seiring guncangan pelan di atas kasur. Ia sebenarnya sudah bangun sejak lima menit lalu, tetapi demi melancarkan rencana gadis kecil itu, mau tidak mau ia harus akting. Sekarang tidak hanya guncangan, tetapi selimut dan bahunya ditarik-tarik juga.
"Papa, ayo bangun!" Kembali terdengar seruan bernada penuh titah.
Langga tertawa menyudahi akting. Kedua matanya terbuka. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah sosok gadis kecil—baru menginjak usia lima tahun—masih memakai piyama tidur bergambar kartu kesukaannya. Waja yang kecil, bulat, bulu mata lentik, dan dihiasi lesung pipi, merupakan perpaduan pas dari ayah dan ibunya.
"Oke, Peachy! Papa bangun sekarang," tukas Langga seraya mengalihkan selimut. Tanpa permisi, diraihnya gadis kecil itu. Dalam hitungan detik sudah ada dalam gendongan.
"Papa tidak lupa hali ini kita akan ke Jakalta? Ketemu Opa, Oma, dan Nenek. Papa kenapa telambat bangun?" Protes dari bibir kecilnya sama saja seperti sang ibu, berisik.
"Papa tidak lupa, Ka. Maaf, ya, tadi enak sekali tidurnya," jawab Langga dibarengi satu ciuman gemas mendarat di pipi bulat gadis kecilnya yang berambut hitam legam dan sedikit keriting.
"Oh, sepertinya kalian berdua harus cepat. Sarapan menunggu kita. Tiga jam lagi kita berangkat, Mas."
Tuh, kan! Baru saja di pikirkan. Sosok yang sebelas dua belas mirip dengan kecerewetan gadis kecil dalam gendongan Langga. Siapa lagi kalau bukan partner hidupnya? Seana Fidelya.
Langga terkekeh-kekeh karena sekarang ada dua perempuan cerewet yang menemaninya di Jogja. Sebelum menjawab Sea, ia menyempatkan diri untuk memberikan ciuman selamat pagi super singkat di bibir kemerahan wanita itu.
Protes si kecil langsung terdengar. "Papa culang sekali. Bibilku tidak dicium seperti Mama."
Gelak tawa Langga dan Sea menggema. Mau tidak mau, Langga harus adil memberikan ciuman kepada Sea dan putri kecil mereka—Ananda Kasih Bahtiar. Anak yang lahir beberapa tahun silam ketika ia dan Sea resmi menetap di Jogja. Mereka mewujudkannya; keinginan Niken dan Regita. Tanpa paksaan dan jelas karena cinta.
Foto pernikahan bersama Sea yang berkebaya putih dan dirinya berjas hitam nan gagah, tergantung di tembok rumah minimalis berlantai dua milik mereka. Langga tidak bohong, bahwa ia memang membutuhkan Sea. Membutuhkan dalam hal lain—sebagai istri, teman hidup, cintanya, pelabuhan terakhir, soulmate, ibu dari anaknya, dan kata apa pun yang menggambar bahwa wanita itu miliknya.
Ketika ia mendengar 'sah' dari para saksi di hari pernikahan, maka sejak itu Langga bertekad menjadikan Sea yang terakhir. Membahagiakan dan menjaga, serta melindunginya dalam sebuah ikatan pernikahan.
"Kenapa melihatku seperti itu, Mas? Senyum-senyum sendiri masih pagi, kan agak serem," komentar Sea.
Langga meletakkan segelas air minum. "Iya, bagaimana? Mau mengabaikanmu juga nggak bisa. Kamu terlalu cantik dan indah untuk nggak digubris tiap hari. Dua empat per tujuh, Sea." Terakhir ia mengedipkan mata kirinya untuk menggoda sang istri. Lalu, fokus pada Kasih sebelum protes karena cemburu pada ibunya sendiri.
—oOo—
Hai, hallo! Terima kasih banyak udah ngikutin Sea dan Langga. Iya, babnya pendek ya. Hehe. Ntar kalau ada waktu, aku revisi. Kurasa ada yang kurang atau plote hole misalnya, jadi nanti aku cari-cari waktu buat perbaiki.😁
Thanks a lot buat temen-temen EWAcademy karena ada project menulis ini, cerita Office Romance (walaupun yeah, belum office romance banget lah,😅) bisa tamat. Thanks juga RanifitaKhotimah koreksi, dan ngasih masukan buat sinopsisku muehehe.
Terima kasih & sampai jumpa di cerita aku yang lainnya!🖤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Editoromance√
RomanceSea bermimpi menjadi editor profesional. Namun, di usia ke 24, ibunya mendesak agar Sea ikut kencan buta. Demi menghindari kencan buta, ia meminta seseorang menggantikannya. Ternyata itu tidak berjalan lancar karena rencana tersebut gagal total. Ke...