"Medlie." Suaranya bergetar begitu ia menyebut nama wanita yang telah meninggalkan sekertas surat perpisahan di atas meja rumah mereka. Setelah membaca surat yang Medlie tinggalkan, perasaannya begitu bercampur aduk, ia merasa bersalah dan terbebani akan kepergian wanita itu, juga menyesal mengapa dirinya mengabaikan wanita tersebut ketika ia berpapasan dengannya, yang ternyata saat itulah terakhir kali dirinya melihat Medlie.
Dengan semua perasaan yang Arav rasakan, pemuda itu tak tahu jelas alasan mengapa ia merasa demikian. Surat yang Medlie tinggalkan seakan mempermainkan perasaannya, ia senang jika ternyata Medlie telah dapat hidup dengan sendirinya tanpa harus bergantung pada keberadaannya, ia seharusnya merasa demikian karena hal itulah yang selama ini Arav dambakan. Namun mengapa saat ini ia tak dapat merasakan kesenangan tersebut? Melainkan yang ada di benaknya hanyalah, 'bagaimana jika ternyata surat tersebut hanya tipu daya paman Medlie?' Bagaiman dan bagaiman. Pikirannya kacau. Hanya satu hal yang terlintas di benaknya, ia dengan cepat kembali ke mansion.
"Kak Arav. Ayah menyuruhku menemuimu." Ia berpapasan dengan Tuan Muda keluarga Adler di koridor menuju ruang kerja Tuan Adler.
"Tidak sekarang Juen." Ia bahkan tak menatap wajah adiknya itu, meninggalkan Juen yang keheranan dengan sifat Arav yang tak biasa.
Arav tak sadar telah membuka pintu ruang kerja Tuan Adler dengan kasar. Ia menerobos masuk sementara Tuan Adler tengah menerima tamu.
"Maafkan atas ketidaksopanan saya Tuan!" Arav sontak membungkuk lalu mendekati meja kerja Tuan Adler.
Tuan Adler-pun menunda perbincangannya dengan tamunya saat itu dan memutuskan untuk mendengar apa yang Arav ingin sampaikan. Ini pertama kalinya ia melihat Arav berperilaku seperti itu.
"Ada apa?" Tuan Adler menatap Arav yang sangat gelisah berdiri di depan meja kerjanya.
"Me-Medlie..." bibirnya bergetar kala ia menyebut nama wanita itu. "Ia menghilang Tuan. Aku akan segera...."
"Tak perlu Arav." Tuan Adler memotong perkataan pemuda itu.
"Bagaimana jika ia diculik?" Tangannya mengepal surat yang Medlie tinggalkan.
"Bukankah kau sendiri yang melatih wanita itu? Apa yang kau khawatirkan?"
"Tapi tetap saja, ia seorang wanita. Aku tidak bisa membiarkan ini!" Itu pertama kali ia meninggikan nada suaranya di hadapan Tuannya. Namun Tuan Adler tak marah, ia tetap tenang menghadapi Arav.
"Aku tak yakin dapat membiarkanmu pergi mencarinya. Dan juga sepertinya ini tidak seperti asumsimu Arav." Tuan Adler menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Ia menatap tangan Arav yang meremas sebuah kertas.
"Ba-bagaimana jika ini cuma manipulasi belaka?" Arav merendahkan suaranya dengan kepala yang menunduk.
"Apa kau tak percaya dengan wanita itu Arav? Ataukah, kau mengelabui pikiranmu sendiri?"
Arav tersentak mendengar perkataan Tuan Adler. Ia jelas terlihat sangat gelisah atas kepergian Medlie, pikirannya sungguh kacau sehingga ia hanya memikirkan segala hal negatif. Ia tak menyangka kepergian Medlie dapat membuatnya kehilangan ketenangannya.
"Tenangkan dirimu Arav. Percayalah pada Medlie. Kau sendiri tahu jika ia tak selemah itu bukan?"
Arav mengambil napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Ia lalu mengangguk meski kegelisahan masih menggentayangi perasaannya. Jika pun benar Medlie diculik, ia tetap tak dapat melakukan banyak hal kecuali harus mengkhianati keluarga Adler, karena bagaimanapun dirinya adalah bagian dari keluarga tersebut, sementara Medlie memiliki masalahnya dengan keluarganya sendiri, dan jika dirinya ikut campur maka hal tersebut dapat membahayakan anggota lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Liaison Bracelet
RomanceKisah ini tak sesederhana hanya saling mencintai. Dua manusia dengan perasaan yang sama tanpa sebuah komunikasi. Memilih untuk menetap pada apa yang sudah ada ataukah memprioritaskan suatu hal yang lain.