Arav Rainer

1 0 0
                                    


Seorang pria berjalan di bawah hujan yang amat deras dengan payung hitam yang melindungi dirinya. Di sebuah gang kecil, ia melihat anak laki-laki yang tengah meringkuk pada tangga depan pintu sebuah rumah. Anak itu basah kuyup dan terisak sembari menekur. Wajahnya ia tempelkan di antar lutut yang ditekuknya juga di peluk dengan erat oleh dua tangan mungilnya itu.

Anak yang malang. Ia kehilangan ibunya beberapa hari yang lalu, ia tak mengenal siapa pun di kota itu, ia sendiri dan lapar. Lalu seorang pria dengan rupa bengisnya datang menyapa dengan berbaik hati.

Pria itu memayungi anak tersebut. Anak kecil yang tak merasakan hujan menetesinya seketika mendongak. Sebuah wajah yang sangat asing baginya. Wajah dengan garis tegas itu menampakkan senyuman yang menghangatkan hati sang anak. Ia tak takut sama sekali menatap wajah pria yang dihiasi beberapa bekas goresan pisau itu. Sang anak sontak membasuh air matanya di pipi sembari terus memerhatikan wajah pria di depannya.

"Apa kau ingin ikut denganku nak?" sodor pria tersebut sambil menepuk pelan kepala anak laki-laki di depannya.

"Paman akan mengajarimu sesuatu yang spesial hingga kau dapat membalaskan kematian ibu-mu." Lanjutnya lagi.

Ucapan pria itu memberikan kilas balik pada anak yang malang tersebut. Ia mengingat dengan jelas malam itu, malam di mana ibunya tewas disebabkan orang-orang yang ayahnya kirim, mereka membunuh ibu dari anak tersebut dengan bengis hanya karena tak mendapatkan apa yang mereka inginkan dari wanita lemah itu. Anak lelaki itu bersembunyi di balik ranjang.

Ia kembali terisak di hadapan pria itu lalu berdiri. Anak tersebut menguatkan hatinya sebelum berkata, "Tolong ajari aku paman." Anak itu menggenggam ujung jas pria tersebut. Masih menunduk ia, tubuhnya gemetar, tangannya mengepal kuat, giginya menggertak, matanya memanas. Api seakan muncul di dadanya. Anak itu sungguh terlihat tak dapat membiarkan kesempatan ini melesat begitu saja.

"Bagus! Tapi kau harus menepati beberapa syarat nak, menjadi kuat tidaklah mudah." Ucapnya.

~

Hari itu, di pagi yang cerah dengan udara segar dan embun yang samar-samar menghiasi pandangan. Arav sedang menemani anak-anak Tuannya bermain di pekarangan mansion. Tidak sekedar bermain, Arav juga melatih mereka dengan pedang kayu yang ia beli saat melaksanakan tugas di Jepang.

Juen dan Joana sangat menikmati latihan pedang mereka sembari diberikan beberapa instruksi oleh Arav. Sementara itu, Nyonya Lathif Adler tengah menyiapkan kudapan untuk ketiga anaknya di gazebo yang dikelilingi oleh bunga lavender juga daisy.

Amat indahnya momen saat itu. Angin sepoi-sepoi yang berhembusan mengantongi aroma wangi lavender pada udara yang begitu segar. Nyonya Lathif menyesap teh hijau sambil tersenyum, bahagia ia mengamati anak-anaknya yang dapat akrab satu sama lain. Jangankan dirinya, para pelayan pun sangat menikmati interaksi hangat dari ketiga anak tersebut.

"Arav! Kemarilah dan ajak adik-adikmu." Ucap Nyonya Lathif yang berdiri di gerbang masuk taman.

"Iya, Ibu." Ia menoleh menatap Nyonya Lathif.

Arav memanggil Nyonya Lathif dengan kata Ibu tapi ia tidak memanggil Tuan Adler dengan kata Ayah, ini dikarenakan Nyonya Lathif yang sangat antusias saat mengetahui Tuan Adler membawa pulang seorang anak kecil yang akan menjadi bagian dari keluarga Adler.

Setiap harinya Nyonya Lathif mengatakan pada Arav bahwa, panggillah ia dengan kata 'Ibu'. Dia juga kadang belajar masak ditemani Arav, ketika anak itu sedang libur dari latihannya. Lima tahun ia fokus mengurus Arav hingga akhirnya diberitakan bahwa dirinya sedang hamil, saat itu Arav telah berumur 14 tahun. Dan dia diberikan tugas penting oleh Tuan Adler, yaitu menjaga Nyonya Lathif.

Saat ia berumur 9 tahun Nyonya Lathif selalu terjaga menemani dirinya hingga ia tertidur dengan nyenyak, lalu kali itu dirinyalah yang menjaga Nyonya Lathif. Selama Nyonya Lathif hamil, penjagaan di mansion meningkat dan semakin ketat. Nyonya Lathif sangat jenuh akan situasi tersebut, ia merasa seakan dirinya diisolasi, tapi keberadaan Arav selalu saja menghiburnya.

Untung saja tak ada peristiwa besar selama setahun berlalu, hanya saja beberapa pelayan tewas karena keracunan, mereka adalah juru cicip, dan merekalah yang memastikan makanan yang disajikan pada Nyonya Lathif tidak terkandung racun atau sesuatu yang buruk untuk tubuhnya kala itu.

Arav lalu menggenggam tangan kedua adiknya dan berjalan mendekat ke arah Nyonya Lathif. Dengan pandangan lembut di matanya, Nyonya Lathif menatap Arav dan dua anak kembarnya.

"Kamu sudah besar ya, Arav." Nyonya Lathif mengelus lembut kepala Arav saat lelaki itu berdiri di hadapannya. Ialah sosok wanita yang telah menggantikan figur ibunya.

Walau benar Arav bukanlah anak kandungnya, namun Nyonya Lathif amat menyayangi anak tersebut. Ia merasa bersyukur atas keberadaan Arav di hidupnya. Baginya, Arav telah mengajarkan dirinya banyak hal juga mengenalkannya ke dunia yang selama ini ia dambakan.

Arav memegang tangan Nyonya Lathif yang tengah mengelus pipinya. "Ibu sudahlah. Aku sudah besar, tidak seharusnya diperlakukan seperti ini." Ia tersenyum malu. Umurnya sekarang telah menuju 23 tahun tapi Nyonya Lathif masih sering kali memperlakukan dirinya bagai anak kecil.

Tangan lembut nan hangat tersebut selalu menjadi penenang favorit Arav sedari kecil, ketika ia merasa cemas atau bahkan ragu untuk melangkah. Jika ditanya siapa yang paling ia cintai sudah pasti jawabannya ialah Nyonya Lathif.

"Mama. Juen juga ingin dielus." Ia mendaduk menatap ibunya.

Nyonya Lathif menunduk di depan anak laki-lakinya tersebut yang baru saja beranjak sembilan tahun. "Kemari anak tampannya mama." Juen seketika melompat ke pelukan ibunya.

"Ugh! Kamu udah berat ya." Ia lalu menggendong Juen.

"Joana juga ingin?" Arav menunduk untuk menggendong anak perempuan itu. Joana hanya diam sedari tadi, ia tipe anak yang tak begitu tahu bagaimana cara mengungkapkan isi hatinya, untung saja Arav selalu peka dengan perasaan Joana sehingga walau Joana tak mengatakan apa-apa ia kadang dapat mengetahuinya.

Nyonya Lathif mengelus lembut Joana yang berada di gendongan Arav. "Kalian semua sudah lapar, 'kan? Mama masak pai apel hari ini." Nyonya Lathif menyayangi semua anaknya tanpa membeda-bedakan mereka. Baginya seorang anak adalah malaikat yang dititipkan oleh tuhan padanya, dan tak seharusnya ia melantarkan malaikat-malaikat kecilnya itu.

Sambil bercanda gurau, mereka menikmati kudapan yang tersaji pada meja gazebo. Matahari perlahan meninggi kala mereka sibuk berbincang dan menikmati waktu. Tiba-tiba, sekretaris Tuan Adler berlari ke taman dengan terangah-engah, ia meminta Arav menemui Tuan Adler sekarang juga karena suatu hal yang amat penting mendadak tiba dan sangat perlu diperbincangkan saat itu juga. Arav-pun bergegas menuju ruang kerja Tuan Adler bersama Yohan sekretaris Tuannya. 

Liaison BraceletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang