Akhirnya aku sampai di waktu yang kamu bilang, "Nanti kamu paham."
Segalanya sudah sejelas tinta di kertas putih sekarang. Aku mengerti mengapa kamu memperlakukanku dengan cara-cara ganjil; jemarimu tak membiarkan ruas-ruas jariku kosong barang sejenak, kamu mengecup keningku jauh lebih lama dan lebih sering dari biasanya, dan yang satu itu ... yang tak bisa aku jabarkan adalah caramu menatapku.
Tingkah ganjilmu membuatku tak nyaman, boleh jadi itu sebabnya aku mulai melakukan hal serupa. Aku memanggilmu sayang, padahal biasanya aku enggan berkata demikian. Satu kata itu menggelitik perutku tiap kali lolos dari bibir. Akan tetapi, kurasa aku mulai menyukai sensasinya. Aku tidak ingin menyudahinya. Bagaimana kalau kita melakukan ini untuk selamanya?
"Re." Kamu tiba-tiba berbisik dengan nada yang tak ingin didengar siapa pun kecuali aku. Napasmu bukan hanya menyentuh kulitku, tetapi bibirmu juga menempel pada daun telingaku. Itu cukup untuk membuatku berpikir bahwa aku sudah tidak waras.
"Hm?" Aku enggan menoleh, kurasa kamu pun tahu alasannya.
"Kamu cantik."
Bibirku tidak bisa tidak tertarik mendengar kalimat itu, yang diucapkan dengan nada riang, dan aku berani bersumpah kamu tersenyum saat mengatakannya. Aku bisa merasakannya dari nada bicaramu. Aku bisa melihatnya dari sudut mataku. Kamu tersenyum.
Pada detik berikutnya, kamu kembali fokus dengan pertunjukan Sendra Tari Anak Gimbal yang tengah berlangsung tepat di hadapan kita. Namun, aku masih terperangkap di sana, pada rasa hangat yang menguar dari leher hingga ke pipi. Seberapa keras pun mencoba aku tak bisa memusatkan perhatian pada kisah Ki Demang Rewok yang apa katanya? Pergi mengembara ke Dataran Tinggi Dieng untuk bertapa? Ah, aku hanya samar mendengarnya karena aku sendiri pun sedang sibuk mengembara.
Aku sedang berusaha mengembara ke duniamu, Tuan.
Selepas pertunjukan Sendra Tari Anak Gimbal, kita melipir ke arah selatan, ke arah Festival Caping digelar, untuk melukis caping yang sebelumnya diberikan panitia di tenda pendaftaran. Kamu duduk merapat di sebelahku, memilah-milah warna yang menurutmu cocok untuk dipadukan walaupun aku berani bertaruh kamu lebih senang menjahiliku. Pura-pura menyenggol lenganku atau pura-pura meneteskan cat kiloan itu ke punggung tanganku.
Aku juga lebih suka bagian bermainnya daripada memilah warna. Aku suka ketika kamu berusaha melukis cincin di jari manisku. Kubilang kamu payah, dan kamu memang payah, Sabiru.
Aku meneguk sebotol air karena kehausan, sementara kamu meminjam pahaku sebagai alas tidur karena katamu, "Aku mengantuk."
Padahal aku tahu kamu menangis di bawah caping yang kamu gunakan untuk menutup wajahmu.
Mereka benar, saat sedang pacaran dunia terasa milik berdua. Aku tidak lagi mendengar hiruk pikuk manusia berlalu-lalang, alunan lagu tradisional berbahasa Jawa itu lenyap, suara gamelan tergerus oleh sesuatu yang saat ini menghalangi pelupuk mataku. Besok kita sudah tidak pacaran, ya? Kamu mau pergi ke mana, Sabiru? Kenapa tidak mengajakku?
"Tidak," jawabku saat kamu bertanya apakah aku lelah? Tidak, tentu saja tidak, Sayang. Aku lebih takut hari ini berlalu terlalu cepat. Aku tidak peduli dengan keramaian serta suara bising. Toh, ada kamu. Toh, ini kencan terakhir kita, Sabiru.
Ketika arak-arakan bocah gimbal akan tiba, kamu dengan senang hati mengulang kisah Ki Demang Rewok padaku. Tentang rintangan-rintangan yang ia hadapi saat bertapa di Dataran Tinggi Dieng, sampai akhir kisahnya yang berpesan untuk "mencintai anak-anak berambut gimbal". Hingga terbitlah festival di hadapan kita saat ini. Festival Kirab Budaya yang menjadi awal dilaksanakannya Tradisi Ruwatan, orang awam hanya mengenalnya sebagai ritual pencukuran rambut anak gimbal. Orang awam itu aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kencan Terakhir Bersama Sabiru [short story]
RomanceKehilanganmu adalah sesuatu yang benar-benar asing, Sabiru. Gagasan yang sungguh-sungguh menakutiku.