00. Dolanan

14 5 2
                                    

"Cublak cublak suweng, suwenge ting gelenter, mambu ketundhung gudel, pak empong lera ler ..."

Setetes air mata kembali membasahi pipi Naya yang semakin memerah. Jari-jarinya bergemeletuk, menyimpan ketakutan yang menjalar melalui pembuluh darahnya.

Ia bahkan tidak berani membuka kelopak mata ketika bisikan-bisikan di sekitarnya hampir menemui ujung tembang yang dinyanyikan serendah tangisan.

"... sapa ngguyu ndhelikkake, sir sirpong dhele kopong, sir sirpong dhele kopong."

Gadis berkulit kuning langsat itu mengintip ragu-ragu dengan telapak tangannya yang berkeringat perlahan terbuka. Embusan napas lega berayun dari bibir tipis Naya ketika ia tidak menjumpai batu kecil di tangannya.

Selagi bukan dirinya yang bertugas menyembunyikan batu itu di balik telapaknya, Naya setidaknya akan bertahan lebih lama.

"Naya!"

Bulu-bulu halus Naya meremang ketika namanya disebutkan, ia buru-buru menggeleng sambil menggigit bibir bawahnya untuk mengurangi perasaan cemas yang tidak bisa terbendung lagi.

"Bukan aku," lirih Naya, hampir tidak terdengar.

Sosok berkulit pucat pasi itu menggeram kesal sebelum kembali merunduk menghadap lantai dan membiarkan delapan telapak tangan tersisa bertumpu di punggungnya yang samar. Naya hampir menjatuhkan tangannya ketika sekujur tubuhnya kembali menegang.

"Cublak cublak suweng, suwenge ting gelenter ..."

Satu jam yang lalu, Naya tidak pernah membayangkan bahwa nyawanya akan dipertaruhkan dalam sebuah permainan anak-anak yang seharusnya tidak membahayakan.

Ia bersama kedua tamunya–Alvin dan Linda–baru saja menyelesaikan laporan penelitian tentang desa tempat tinggal Naya saat kengerian itu terjadi secara tiba-tiba.

Sejak puluhan tahun, desa Naya memang terkenal dengan perkebunan karet yang luasnya berhektar-hektar. Sebagian besar penghuninya yang masih memegang erat nilai-nilai luhur juga menjadi salah satu alasan sebuah lembaga mengirimkan Alvin dan Linda untuk melakukan penelitian di desa itu.

Seminggu berkutat dengan kuesioner dan observasi, keduanya menutup kunjungan mereka dengan laporan akhir yang akan mengantarkan mereka pulang.

Nahas, alih-alih mengantar tamunya pulang, Naya–sebagai tuan rumah–justru memulai permainan sederhana itu dan membahayakan keselamatan mereka.

"Rasa-rasanya peringatan dari orang tua dulu memang ada benarnya. Kami tidak seharusnya memainkan permainan ini menjelang maghrib."

Berkali-kali Naya menyesali perbuatannya, tetapi itu tetap tidak mampu mengubah keadaan, terlebih lagi setelah Naya kehilangan salah satu dari tamunya.

Rambut panjang Naya mulai terlepas dari ikatan dan menutupi salah satu matanya ketika ia melirik Linda yang sudah setengah jam tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya masih bernapas.

Gadis itu mengerjap, mengalihkan pandangan dari tubuh Linda karena Naya perlu mencemaskan dirinya sendiri saat ini. Ia merapalkan kalimat-kalimat ketika batu yang menjadi penentu hidupnya, kembali bergeser. Naya berharap cemas batu itu memihak dirinya.

"... mambu ketundhung gudel, pak empong lera ler ..."

Namun, sepertinya rapalan Naya tidak terkabul. Indra pendengarannya yang sensitif menangkap lirihan yang sangat ia kenal. Naya ragu-ragu mendongak, iris hitam legamnya menjumpai Alvin yang tengah duduk gemetaran dan menatap Naya dengan bisikan mematikan.

"Tolong aku, Naya. Aku ... batu itu ... Naya."

Pemuda yang kulitnya sewarna gula aren itu hampir tumbang ketika menyadari telapak tangannya berisi batu mematikan yang bisa membuat nyawanya menghilang dalam hitungan detik.

Naya tidak bisa berbuat apa-apa, meskipun ia ingin sekali melakukannya. Gadis itu hanya bisa meneteskan air mata, sambil menggeleng lemah dengan bibir yang bergerak-gerak merapalkan doa.

"... sapa ngguyu ndhelikkake, sir sirpong dhele kopong, sir sirpong dhele kopong."

Hampir seluruh warga desa tahu permainan yang biasa mereka sebut sebagai "Cublak-cublak Suweng" itu. Mereka–terutama anak-anak desa–sering melakukannya di pendopo dengan membentuk lingkaran kecil.

Satu orang akan menjadi tumpuan, dan mereka biasa menyebutnya sebagai "Pak Empong." Ia harus merunduk menghadap lantai dan menebak di mana letak batu kecil berada.

Teman-temannya yang lain bertugas meletakkan tangan mereka di punggung Pak Empong, sambil menyanyikan tembang dolanan "Cublak-cublak Suweng."

Selagi bernyanyi, batu kecil harus terus memutar bergiliran di telapak tangan pemain hingga lagu berhenti dinyanyikan. Ia yang terakhir harus menyembunyikan batu itu sebaik mungkin.

Jika Pak Empong berhasil menebak, maka si pemegang batu akan dijatuhi hukuman. Namun, ia masih memiliki kesempatan untuk selamat jika tebakan Pak Empong tidak tepat.

Permainan itu semula tidak membahayakan, hingga Naya menyadari bahwa pemain yang duduk di lingkaran semakin bertambah banyak dan mereka tidak hidup. Wajah pucat pasi bergantian menatap Naya dan Linda saat mereka membuka telapak tangan dan memutar batu di punggung Alvin yang merunduk.

Hanya membutuhkan satu kali putaran bagi Alvin untuk menebak dengan tepat. Linda yang bertugas menyembunyikan batu mengaku kalah dengan mudah. Namun, itu bukan pengakuan kalah yang biasa.

Lidah Linda mendadak berputar, terlilit, dan membuatnya kesulitan merapalkan kalimat. Kedua bola matanya yang teduh mendadak membelalak dan tubuh Linda mengejang dalam hitungan detik. Dari sana, Naya menyadari bahwa pemain yang baru bergabung membawa hukuman yang mematikan.

"Alvin!"

Sengatan petir seolah menghantam dada Naya berkali-kali. Ia tidak sanggup mendongak lagi, Naya hanya mendengar suara Alvin yang meronta-ronta ketakutan, hingga perlahan menghilang dan menyisakan keheningan yang mencekam.

"Maafkan aku. Kumohon, maafkan aku," lirih Naya di tengah-tengah isak tangisnya. Ia melirik sekitar dengan ekor mata dan menjumpai langit yang menyelimuti pendopo sudah semakin menghitam.

Naya tidak menemukan sedikit pun tanda-tanda warga desa melewati tempat itu untuk dimintai pertolongan. Entah mereka yang tengah mengurung diri di rumah atau Naya yang sudah tidak lagi berada di dekat rumah.

"Giliranmu!" bisik sosok pucat pasi itu. Naya tidak punya pilihan selain mengangguk dan merunduk menghadap lantai. Ia mulai berhitung sebelum lagu itu dinyanyikan.

"Cublak cublak suweng, suwenge ting gelenter, mambu ketundhung gudel, pak empong lera ler ..."

Batu mulai diputar bergiliran seiring lagu dinyanyikan, tetapi Naya tidak mampu merasakan apapun bergeser di punggungnya. Tangan-tangan itu membuat Naya kesulitan menebak. Bibirnya yang mulai membiru kembali gemetar dengan jari-jari tangan yang bergerak-gerak gelisah. Jika salah menebak, giliran Naya yang harus menyetorkan nyawanya.

"... sapa ngguyu ndhelikkake, sir sirpong dhele kopong, sir sirpong dhele kopong."

Keheningan menyelimuti Naya dengan sisa-sisa keberanian yang mungkin ia miliki. Wajahnya merunduk semakin dalam ketika tiba waktunya untuk menebak. Naya kebingungan, seolah-olah dirinya sudah benar-benar mati.

Bagaimana bisa menebak jika gadis itu bahkan tidak mengerti dengan siapa dirinya kini bermain?

"Kosong!"

Naya menghitung dalam hati kapan tepatnya dirinya akan kehilangan nyawa. Detik-detik terasa melambat dan Naya perlahan memberanikan diri untuk bangun dari posisinya.

Suara tertawa yang begitu lantang terdengar mematikan. Tubuh Naya bergetar, tetapi bukan karena ia meregang nyawa, melainkan karena suara tawa itu berasal darinya.

Ia mengembuskan napas kasar dan menyeringai senang, sambil bergantian memperhatikan kedua mayat tamunya.

Secarik kertas mulai dilipat rapi dan ujung pensil yang patah disembunyikannya dalam saku celana. Ia sudah selesai menuliskan cerita tentang kematian yang baru saja terjadi.

Naya melihat lagi hasil kerjanya yang memuaskan sebelum membersihkan kedua telapak tangan, dan berbisik lirih.

"Selanjutnya, siapa lagi yang mau bermain denganku?"

- TAMAT -

Tembang DolananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang