Kubangan Kumbang

19 6 8
                                    

Lastri hidup. Kini punya sampur yang menggantung di leher. Tua-muda, lelaki-perempuan, menyingkirkan sangka yang sempat beredar; tentang Lastri yang digondol setan. Semua larut dalam luwes goyangan pinggul Lastri, serta gerak kedua lengannya yang sesuai ketukan gendang. Ada manis kantil bercampur kemenyan dan anyir yang menyengat. Mereka menghidu, yang lelaki ketagihan.

***

Lastri belum berganti pakaian, juga masih ada sampur di pundak dan hiasan di kepala. Tak perlu gincu, tidak juga dirias muka dengan bedak, sekarang mata sayunya sudah sangat memikat. Gendang, degung, dan gong  sayup saling bersahutan; mengiringi goyang pinggul dan gerak lengan Lastri. Seperti hari-hari kemarin, menjelang malam dia mendobrak aturan yang tua. Bukan berdiam diri di rumah, Lastri justru unjuk gigi. Di pinggir jalan ujung desa, Lastri menari. Memikat hanya pada sepasang mata yang dikehendakinya. Jika sudah terjerat, Lastri akan menghampiri, tersenyum hingga muncul lesung pipi.

“Habis dari mana, Kang?”

Hari ini Darma yang terlena. Bapak tiga anak itu tanpa tahu malu membelai pipi Lastri. “Kamu sendiri sedang apa? Ini sudah mau malam, pamali di luar.”

Lastri menggunakan sampur untuk menutupi senyumnya. “Boleh numpang, Kang?”

Darma mempersilakan. Bukan bonceng di belakang, tetapi di depan. Di antara sadel dan setang Lastri duduk. Ketika ontel dikayuh Darma, cengkeraman Lastri di tengah setang semakin menguat. Bukan karena jalan yang mereka lalui berbatu sehingga ontel kerap kali oleng, melainkan hamparan sawah yang membentang.

Lastri ingin punya sepetak, hasil dari menari seperti milik teman. Bukan hal yang mengagetkan, jika selesai tampil akan ada yang menyambangi. Terlalu sering para mandor kebun yang datang. Mereka tak tanggung-tanggung bawa buah tangan ketika mampir. Selain uang, emas juga turut disodorkan. Bisa bertambah, asal mau melayani lebih. Dari sanalah sedikit demi sedikit untung dikantongi.

Menjadi penari merupakan keinginan Lastri sedari cilik. Mengamati bagaimana teman sebayanya berlatih, Lastri kecil turut mengikuti. Segala lekok tubuh kala mengiringi musik termasuk merias wajah, tak luput dari mata Lastri. Sudah paten inginnya menjadi penari yang dikagumi. Sayang, harap itu baru menjelma sekarang. Lastri berubah. Tak ditemukan lagi borok di sekujur kaki, pun rambut lepek, dan kulit hitam kering. Dia sudah menjadi penari yang luwes lagi jelita dan digandrungi banyak pria.

Lastri tahu ini hanya sementara. Hanya sampai hajatnya terlaksana.

“Kang, mau mampir?” Lastri menoleh dan mendapati Darma tersenyum.

Tidak butuh paksaan lebih, Darma sudah anteng di kursi kayu di tempat Lastri. Disuguhkan kopi hitam panas, Darma tanpa ragu minum hingga tinggal ampas. Sempat berkomentar, kalau kopi buatan Lastri manis dan pas. Lastri, masih dengan sampur menutupi mulut, tertawa pelan.

“Kang Nadir, Kang Salamun, Kang Jumrih, Kang Iwan, sama Kang Jaka juga bilang begitu.”

Padahal tidak sebutir pun gula Lastri beri.

“Apa yang mereka kasih buat Lastri? Akang bisa kasih yang lebih.”

Lastri bergeser. Cahaya dari lampu templok membuat Darma bisa puas memandang wajah Lastri. Semerbak kantil bercampur kemenyan mulai menyerang hidung Darma. Namun, anyir yang terselip justru membuat Darma ketagihan. Semakin rakus dia menyesap aroma Lastri.

“Mau ikut Lastri, Kang?”

Darma mengangguk. Semringah dia dan manut ketika Lastri menyuruh untuk menaruh sepeda di bilik kamar.

Lastri memimpin jalan. Dibukanya pintu belakang. Dibawanya Darma hingga masuk kebun terbengkalai. Tidak ada lagi sisa matahari saat Lastri berhenti di dekat pohon besar, hanya cahaya dari gerombolan kunang-kunang yang melingkupi. Sayup, perlahan menjadi jelas, tabuhan gendang bercampur degung dan gong mengisi hening di antara Lastri dan Darma. Lastri melakukan tari bukaan; tangannya memainkan sampur dan mulai mengitari Darma.

Kubangan KumbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang