Bagian 10

135 25 3
                                    

Misi pertama untuk mencuri perhatian sang ibu, yaitu membersihkan setiap sudut rumah, dapat dinyatakan gagal. Ari seolah tak sadar bagaimana kipas angin yang berbulan-bulan tertumpuk debu tiba-tiba terasa lebih sejuk, bak kamar mandi yang sudah berlumut berubah bersih, serta karpet ruang tengah yang mendadak wangi. Tidak ada perubahan ekspresi di raut wanita itu. Dan kini, misi keduanya: membuatkan bekal untuk sang ibu juga terancam gagal sebab urusan di kamar mandi yang tak kunjung selesai.

"Jangan sekarang, please. Gue enggak ada waktu buat ngurusin ginian." Kale berdecak selagi mencoba mendongak. Tiap kali ia hendak beranjak dari wastefel, cairan merah yang keluar dari lubang hidungnya tak kunjung berhenti. Niko dan Ian sudah berangakat setengah jam yang lalu. Tidak ada orang yang dapat dimintai tolong untuk menatakan hasil masakannya ke dalam kotak makan. Ia jua tak mungkin meminta sang ibu menyiapkan bekal sendiri karena sosok itu pasti akan menolak dengan ketidakacuhannya.

Lelaki itu sudah putus asa tatkala keluar dari kamar mandi. Namun, sosok sang ibu yang masih mengenakan sepatu di teras rumah membuat Kale dengan segera menghampiri sosok itu. "Belum berangkat, Bun?" Sapaan "Bunda" yang kembali Kale gunakan benar-benar terasa aneh bagi keduanya. Terlebih setelah mereka hampir terlibat perdebatan panjang tiga hari yang lalu.

Tidak ada jawaban dari Ari. Tepat seperti dugaan Kale.

"Mas siapin bekal sebentar, ya." Kale bersiap kembali masuk ke dapur.

"Enggak usah."

"Sebentar aja. Ini masih pagi juga, kok." Jarak tempuh rumah ke tempat kerja sang ibu kurang dari setengah jam dan saat ini masih ada rentang satu jam sebelum jam masuk kerja.

"Enggak perlu," Ari kembali menolak, "ada makan siang juga di pabrik."

"Mas siapin buat sarapan," timpal Kale tak mau kalah, "atau mau sarapan bareng-bareng aja di rumah?" Terpikir ide yang lebih bagus-setidaknya untuk dirinya.

"Ibu buru-buru."

Sebuah jawaban klasik yang selalu Ari berikan. Pun Kale selalu dibuat mati kata ketika ibunya telah mengakhiri percakapan dengan kalimat itu.

Ari sadar betul jika putra sulungnya masih berdiri di depan pintu. Namun, tanpa sepatah kata sebagai bentuk berpamitan, ia langsung menghidupkan mesin motor.

"Bun," panggil Kale selagi mendekat, "Mas antar aja, ya? Sekalian nanti motornya tak service. Udah enggak nyaman banget buat dipakai."

"Enggak usah," tolak Ari untuk kesekian kali, "biasanya juga begini."

Lelaki itu hendak kembali bersuara, tetapi Ari lebih dulu menutup helm dan melajukan motor matic-nya. Kale hanya dapat memandang kepergian sang ibu selagi mengembuskan napas panjang. Ia tahu jika semuanya tak akan mudah. Ia juga tidak pernah membayangkan bahwa memperbaiki hubungannya dengan Ari tak akan semulus itu. Setidaknya, Kale hanya dapat berharap jika waktu dapat berjalan lebih lambat. Memberikan ruang yang cukup untuknya memperbaiki semua kesalahan dan mendapat permaafan.

***

"Yan, bisa telfon Bunda enggak?" Kale menyembul dari balik pintu ketika sang adik tengah duduk di depan meja belajarnya.

"Enggak punya kuota sama pulsa," jawab Ian ketus selagi tak sedikit pun beralih pandang dari LKS-nya.

Kale melangkah cepat mendekati adik bungsunya. "Mas isiin."

Ian berdecak kesal. "Gue lagi belajar."

"Ya udah, siniin HP-nya. Mas pinjem bentar."

Ian tak lagi mengajukan penolakan. Pun, raut serius Kale membuatnya cukup ciut untuk membuat-buat alasan.

How to Get a Date, Mom?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang