...
Nalu menarik sigap tangannya saat menyentuh jidat Vena. "Panas sekali," gumamnya.
Nalu beranjak turun dari ranjang. Ia pergi ke dapur mencari sesuatu untuk mengompres Vena. Sekembalinya dari dapur, ia mendengar gadis itu berbicara. Nalu pikir temannya itu juga terbangun dan saat Nalu mendekat Vena masih menutup mata dengan bibir yang bergerak menyebut nama seseorang.
"Ali?" gumamnya saat mendengar nama tersebut berulang kali terucap dari bibir Vena. "Hey! Vena, bangun!" Nalu menyentuh pelan pipi Vena untuk membangunkannya. Nalu takut melihat kondisi temannya yang nampak semakin buruk. Vena tak kunjung sadar, berulang-ulang Nalu memukul pelan pipinya dan tak ada respon darinya.
Tak lama Vena berhenti mengigau, namun juga tak bangun dari tidurnya."Badannya panas sekali, ini kalau tidak sembuh harus ke rumah sakit," ujarnya sembari meletakkan sebuah kain kecil di dahi Vena untuk mengompres.
"Eh, kenapa aku baru sadar." Nalu menepuk jidatnya. "Sejak tadi aku tidak melihat siapapun di rumah ini selain dia." Nalu mengambil kain tadi lalu dicelupkan kedalam air yang berada di baskom, dan kembali ia tempel di dahi Vena setelah di peras.
"Apa dia tinggal sendiri?" tanyanya entah pada siapa.
"Iya, tinggal sendiri." Vena tiba-tiba menyahut.
"Astaget! Kau mengagetkanku," ujarnya memegangi jantung yang dumba-dumba.
"Astaget, apa?" tanyanya, ia merubah posisinya jadi duduk.
"Tidak penting, kenapa kau terbangun? Apa ada yang sakit? Kau lapar atau mual?""Aku mimpi aneh."
Nalu memasang kuping. "Terus?"
"Tapi tidak ingat, makanya kubilang aneh."
Nalu memandang cengo ke arah Vena. Sementara yang ditatap hanya diam. Tidak ada yang salah dengan ucapannya tapi kenapa Nalu memandanginya sampai tak berkedip begitu.
"Vena sebaiknya kau tidur lagi tapi tunggu kau harus ganti baju dulu." Nalu pergi mengambilkannya pakaian ganti. "Lihat aku menemukan ini." Ia menunjukkan sesuatu pada Vena.
"Ini milikmu ya? Cantik sekali. Tadi kudapat di lipatan baju, aku takut ini hilang makanya ku bawa saja padamu. Mungkin kau mencarinya?"
"Tidak, itu bukan punyaku aku menemukannya. Mungkin itu milik orang yang telah membakar kamarku." Vena mengangkat kedua tangannya, memberi kode untuk Nalu agar mengganti bajunya segera. Sebenarnya ia bisa saja menggantinya sendiri, namun apa gunanya tenaga sehat itu jika tidak dimanfaatkan. Eits bercanda, ia masih begitu lemah untuk bergerak banyak, mengangkat kedua tangannya saja ia sedikit kesusahan.
Nalu buru-buru mengganti pakaian temannya. Ia masih syok mendengar hampir saja temannya jadi ubi gosong, bukannya itu mengerikan? Kamarnya dibakar dan siapa yang ingin menghabisi nyawa gadis lemah seperti gadis didepannya ini. Bukannya ada banyak cara untuk menghabisi nyawanya, seperti, mencekik lehernya saat tidur.
"Apa pelakunya sudah ketemu?"
"Belum dan mungkin tidak akan pernah ketemu."
Tingkat ke-kepoan Nalu sudah berada di ujung. Ia melarang saat Vena ingin merebahkan tubuhnya.
"Jangan tidur dulu. Itu, kenapa kau bilang tidak akan pernah ditemukan, apa dia sudah mati?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Seberang Laut Sana
Ficción General-Ini tentang komunikasi dua sisi antara indahnya laut dan suramnya hati- Sama sekali tidak layak untuk di plagiat. Terima kasih!