Ada banyak kata yang belum tersampaikan.
Aku lambai-lambaikan tangan seakan memanggil seseorang untuk kemari mendekat.
" Sini-sini Tuan akan aku nyanyikan, baringkanlahlah tubuh lelah mu di pangkuan, akan dengan keras ku usahakan agar merdu untuk kau dengarkan. "
Tak ada satu malam pun aku tidak merindukan. Tak ada satu malam pun aku berhenti mengharapkan. Tak ada satu malam pun rasa ku tak bertambah, semakin besar, dan terus bertambah besar.
Kan ku usap dan terus usap pelan rambut hitam Tuan di pangkuanku. Dan akan ku aku-akui rasa sedih ku, ku akui rasa sakit ku, ku aku-akui rasa bersalah ku.
*****
Sungai di hadapanku airnya jernih dan sangat biru. Duduk ku dibawah pohon rindang, burung terbang-terbangan bersama kawanan, angin membelai belai hijau rumput bukit alasku duduk sekarang.
Indah sekali disini Tuan. Ingat kita pernah memimpikan ini?
"Nabung dulu yah, nanti kita kesana"
Gembira sekali aku waktu itu, padahal sekedar membayangkan.
Memejamkan mata, mencoba memanja-manjakan telinga. Mendengarkan tiap-tiap suara yang ada. Suara angin meniup kencang pohon rindang, suara air sungai menabrak nabrak bebaTuan besar, burung burung berkicauan memanggil kawanan, tersenyum ku sekarang.
Perlahan suara alam ini berubah menjadi gemaan suara-suara lembutnya. Bayangan sosoknya berdatangan di setiap detik adegan. Wajahnya, senyumnya, suara tawanya, sentuhan hangatnya kini menyapu sejuk aingin. Senyumanku perlahan pudar di siram kerinduan yang selalu datang setiap kesenangan baru saja sampai di pekarangan.
Membuka mata bergandengan dengan deras air yang keluar mengajak pasukan. Kelise orang bilang ini air mata kerinduan. Panas di dada, panas di mata, panas di kepala.
"Andai aku punya pilihan Tuan."
Ucapku pelan, tersenyum pasrah menahan sesak di dada.
Menarik nafas sepanjang yang ku bisa, mengharapkan ketenangan.
"Kuat yah, Sebentar lagi tuhan menyelamatkan."
Seseorang datang, menepuk pundakku, lalu duduk di sampingku.
"Ngapain kamu Keyzta sendirian"
"Anak-anak di bawah lagi bumbuin ikan-ikan tu buat di bakar"
Ia berbicara sambil terenggah engah, butuh sedikit tenaga memang naik ke atas sini.
"Baca buku" Jawab ku tenang, menunjukan buku yang kubawa sedari tadi, berharap dia tidak menyadari warna biru ku menyala-nyala saat ini.
Tapi dia tahu, aku tidak pandai akan hal itu. Ia melihatku dan sangat bisa memahaminya. Ia membuang wajahnya pada sungai cantik di depan sana.
"Hadiah tuhan secantik apa ya ta di depan sana."
"Kalo kamu selama ini sesesak itu, aku yakin hadian kamu pasti bagus ta"
Aku tersenyum miris, perlahan ikut menatap sungai cantik itu. Tak sengaja kami menghela nafas berat seperti meratapi hidup bersamaan, kami jadi tertawa konyol sambil bersenggolan sikut.
Dia temanku, Shila namanya, Shila Wandana. Nama pangilannya sama seperti almarhumah adiku dan nama kaka pertama Tuan. Dari namanya Shila, jadi suka di pangil Cila, dan sekarang akrab di panggil Lala.
Kami kuliah di fakultas yang sama. Asalnya asli dari kota kesayangan, tempat kami kuliah dulu. Awalnya aku tidak begitu akrab dengannya. Sampai pada saat aku tak punya tempat berteduh di tengah badai besar setelah hari kelulusan, tiba-tiba sosok ini datang merangkulku, menuntunku pulang, menghangatkan ku dengan suguhan air hangat gelas kuning itu dan memastikan aku tak kelaparan dengan pemberian makanan manis dan buah stoberry segar berenang di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABADIKAN TUAN
RomanceTolong bedakan , mana yang pergi karna sudah tidak membutuhkan dan mana yang pergi lalu berusaha mati-matian untuk bisa kembali berjalan kedepan. Tuan bukan pembaca. Tuan tidak akan tahu dirinya di abadikan di sini. Ini hanya kerjaan orang kecil ya...