3

618 144 11
                                    

“Dengarkan nasihatku, Nak!”

“Jangan panggil aku ‘Nak’!”

Pasukan Agaton berderap menuju tingkat termerah. Mereka mengendarai kuda. Semua orang terlihat mengenakan zirah. Hanya Rulu dan penyihir saja yang memilih mengenakan pakaian khusus. Kain yang sama kuatnya dengan zirah, tapi ringan.

Semua orang mengendarai kuda. Pohon-pohon tampak seperti raksasa kurus bertangan bengkok. Udara terasa dingin menusuk. Kesatria yang mengenakan zirah merasakan tusukan dingin akibat tekanan dari zirah. Penyihir api menampilkan ekspresi masam. Mereka tidak suka cuaca dingin.

Rulu tidak merasakan hawa keji dari musim salju. Sebetulnya hatinya telanjur kaku, beku. Dia hanya bisa merasakan amarah yang sedari dulu belum padam. Ironis. Dia mengira dengan melarikan diri dan membantai monster, kemarahan dalam dirinya akan berkurang. Namun, tidak. Emosi itu makin berkembang dan terus menjalari tubuh seperti tanaman beracun membenamkan seluruh akarnya kuat-kuat.

“Aku memberimu wejangan,” Agaton mengabaikan peringatan Rulu, “sebagai seorang ayah. Anggap saja begitu.”

“Bagaimana kalau Tuan Kesatria pulang dan biarkan aku yang menjadi pemimpin?”

Agaton mengembuskan napas, membuat uap mengepul ke udara.

Setidaknya Rulu berhasil membungkam Agaton. Dia tidak berencana memperpanjang kontak dengan siapa pun melalui persahabatan. Pengalaman mengajarkan hal pahit. Ekspektasi tidak seharusnya diutamakan.

“Kita hampir sampai.”

Pepohonan mulai lenyap. Mereka semua bisa melihat padang pasir. Tidak ada sebutir salju pun. Semua tanaman mengering. Udara di sana pun jauh lebih panas daripada sekitar yang tertimbun salju. Setiap kali ada sebutir salju mendarat di pasir, salju akan lenyap dan menguap.

Tulang berserakan. Milik manusia maupun binatang. Semua orang bisa melihat ketopong, tombak, pedang, ataupun zirah terbenam di pasir.

Pemakaman.

Gigilan pun merambati sekujur tubuh. Terlebih ada makhluk asing yang tengah mengawasi pasukan Agaton.

“Naga?”

“Bukan,” Agaton mengoreksi bawahannya, “Mideos.”

Mideos memiliki wujud yang menyerupai ular. Hanya saja ular yang satu ini memiliki sisik berduri. Pada setiap ujung duri terdapat racun berwarna hijau gelap. Makhluk itu mengamati pendatang dengan sepasang matanya yang gelap. Ia menjulurkan lidah, seolah hendak merasai daging yang tersaji untuknya.

Kuda-kuda mulai meringkik. Sebagian mengangkat kedua kaki depan, menendang, mengeluarkan suara, lalu mereka berusaha kabur. Sama seperti kuda yang Rulu tunggangi. Binatang jinak nan halus itu pun merasakan hawa predator. Insting dalam dirinya menuntut dipenuhi, memohon keselamatan.

Agaton kesulitan mengendalikan kuda miliknya. Kuda yang biasa ia bawa bertempur pun tidak lolos dari teror.

“Tidak ada cara lain.” Rulu turun, membebas tugaskan kuda miliknya. Kesempatan itu pun tidak dilepas begitu saja. Kuda mendengih dan kabur secepat mungkin. “Tidak bisa bertempur menggunakan kuda yang ketakutan.”

“Lepaskan kuda,” Agaton memberi perintah. “Salah satu di antara kalian bertugas menjaga kuda, sementara sisanya bertempur denganku.”

Semua orang menuruti intruksi Agaton. Lagi pula, mereka pun tidak yakin sanggup mempertahankan kuda yang tidak memiliki keberanian menjejakkan kaki di atas pasir milik Mideos.

“Pak Tua, harus ada pilihan,” ujar Rulu. “Tidak boleh memaksa semua orang mengikuti kemauanmu.”

“Saat memutuskan mengangkat pedang,” Agaton membalas. “Seseorang harus siap mati karenanya.”

Curse and PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang