Anne Bénoit

1 0 0
                                    

Gadis itu mempercepat langkahnya, menuruni anak tangga yang entah kapan habisnya. Nafasnya semakin memburu, detak jantungnya semakin cepat. Tenggorokannya mulai mengering dan bulir-bulir keringat pun berjatuhan. Matanya beberapa kali menatap layar telepon di genggamannya seakan berharap seseorang menghubunginya atau setidaknya membalas pesannya.

Sementara itu, di luar hujan yang semakin deras tampaknya menahan orang-orang untuk pulang. Beberapa menikmati turunnya hujan, beberapa lagi menyikapinya dengan makian. Helaan nafas dan suara tawa tercampur menjadi satu, tetapi itu semua tidak penting bagi gadis yang kini langkahnya terhenti di ujung pintu.

Debit air yang naik seiring dengan derasnya hujan yang turun membuat kendaraan terpaksa mengurangi kecepatannya. Kini, jalan di hadapannya telah penuh dengan puluhan mungkin ratusan kendaraan yang terjebak kemacetan. Kereta bawah tanah yang biasanya menjadi solusi juga terpaksa dihentikan operasinya secara sementara.

Gadis itu mengeratkan gigi dan mengencangkan tali sepatu di kakinya. Pilihannya kini hanya dua, menunggu hujan reda entah sampai kapan atau melawannya. Dengan kaki yang masih gemetar dan tekadnya yang bulat, ia memilih berlari menerjang hujan.

-0-

Drtt.. drtt...

Ponsel itu terus bergetar mengganggu pemiliknya yang tengah tertidur. Dengan mata tertutup dan jiwa yang hanya separuh, ia mengeluarkan tangannya dari selimut seraya meraba nakas di sebelah ranjang.

"Hei, Anne!" Perempuan itu menjauhkan telinganya dari telepon. Orang di ujung telepon itu terdengar ceria dan cenderung terlalu bersemangat. "Hei, kau masih tidur Anne? Aku mengganggumu?" tanyanya sekali lagi setelah tak menerima jawaban.

"Ya, aku terbangun karena teleponmu, tapi tak apa toh cepat atau lambat aku juga harus bangun dan bekerja." tanya Anne seraya mencoba bangkit dari kasurnya. Ia mengusap matanya sambil melihat jam di dinding. Pukul 5.34 pagi, terlalu pagi untuk bangun dan terlalu beresiko untuk tidur kembali.

Tenggorokan yang kering karena baru saja bangun tidur, membuat Anne memutuskan untuk pergi menuju ke dapur saja mengambil air minum sebelum magnet besar di ranjang itu menarik jiwanya kembali.

"Lagi pula mengapa kau menelepon sepagi ini, Laura?" sambungnya.

Laura adalah pemilik rumah atau lebih tepatnya kamar yang kini di sewa oleh Anne. Perempuan berdarah korea-amerika itu memang suka mengobrol. Sering kali bahkan ia menelepon Anne dipagi hari hanya untuk hal-hal kecil. Anne tidak pernah keberatan tentang hal itu, ia justru senang berbicara dengannya.

Hal itu karena Laura bukan tipikal orang tua asia yang suka menggurui, tetapi ia juga tidak seperti tipikal perempuan barat yang bebas (atau mungkin generasi sekarang lebih suka menyebutnya open-minded). Ia tahu kapan harus bertingkah dan sebagai apa.

Misalnya, Laura akan mengomel dan menasihati Emily (penyewa lain di rumahnya) jika pulang dalam keadaan mabuk, tapi disaat yang sama ia juga menyiapkan lemon madu hangat untuk mengurangi rasa mual yang timbul setelah mengonsumsi alkohol. Sikap Laura yang seperti ini membuat Anne merasa senang, karena setidaknya Laura membuatnya merasa memiliki sosok nenek.

"Ah, iya. Aku ingin mengabarimu kemarin tapi sepertinya kau pulang agak larut, jadi aku memutuskan untuk bicara pagi ini. Aku akan berlibur selama 5 minggu ke Eropa. Aku sudah di bandara." katanya.

"Ke Eropa?! Kau pergi sendiri?" tanya Anne kaget. Laura memang sering berpergian dan berlibur, tapi Anne tidak menyangka Laura akan melakukan Europe Tour selama 5 minggu di usianya yang hampir 80 tahun.

"Ya, Eropa. Ada yang salah? Pertama- tama aku akan pergi ke Spanyol. Aku akan menghabiskan waktuku mengunjungi museum dan kota-kota yang indah. Aku juga akan pergi ke La Rioja untuk mempelajari pembuatan wine mereka. Kemudian ke Prancis dan membeli beberapa champagne. Aku tidak tahu kemana kakiku akan pergi, tapi akhir perjalanan akan ditutup di Italia untuk menikmati tiramisu dan pizza. Tentu beserta dengan wine mereka."

"Apa kau pergi hanya untuk wine? Aku hanya mendengar wine dalam pembicaraanmu barusan. Lagi pula mengapa harus membeli wine di 3 negara berbeda?" kata Anne sambil menghela nafas.

"Ck..ck.ck.. Kau ini, jelas mereka berbeda. Kompleksitas rasa pada wine dipengaruhi oleh banyak hal Anne, seperti jenis anggur yang digunakan, metode pembuatannya, hingga tanah tempat anggur itu tumbuh juga mempengaruhinya." tutur Laura. "Suhu di Italia dan Spanyol itu lebih hangat dibandingkan dengan Prancis, itu juga bisa menjadi faktor yang membedakan rasanya." sambungnya.

Di ujung sana Laura masih mengoceh namun sayangnya Anne masih tidak paham dengan apa yang dibicarakan perempuan itu. Terlalu banyak istilah yang ia tak tahu membuat percapakan itu seakan hanya masuk dan lewat begitu saja di telinganya. Toh rasa wine menurutnya sama saja, tidak enak dan tidak sesuai seleranya.

Seakan membaca pikiran Anne, Laura akhirnya menyudahi seminar tentang winenya. Anne merasa lega karena pembicaraan membingungkan itu sudah selesai. Selama membahas wine, ia hanya mengangguk meskipun ia tahu Laura tidak akan melihatnya.

Ada keheningan selama kurang lebih sepuluh detik sebelum suara yang agak samar terdengar dari telepon Laura. Sepertinya pengumuman untuk boarding.

"Sepertinya itu pengumuman boarding untuk pesawatku, karenanya kurasa kita harus menyudahi pembicaraan ini, Anne." sudah pukul 6.20 pagi, artinya sudah hampir satu jam mereka berbicara di telepon. "Ah, sebelum ku tutup ada beberapa hal penting yang harus kau dengar dan lakukan selama aku berlibur. Bisakah kau menolongku?"

"Tentu saja. Ada apa?"

"Pertama, ada beberapa barang yang kubeli mengalami kendala pengiriman dan kurasa akan sampai nanti sore atau besok pagi, termasuk selai dari Toko Oliver. Selai itu belum dibayar, jadi berikan uang kepada pengantar selai. Masuk saja ke rumahku dan kau bisa menemukannya di atas kulkas. Kau masih ingat kode masuknya bukan?"

"Hm, tentu. Apa lagi?"

"Kedua, tolong cek tempat pembuangan sampah setiap hari Rabu malam. Pastikan tidak ada yang salah mendaur ulang sampah agar memudahkan petugas untuk mengambilnya di hari berikutnya. Oiya, bagikan saja selai milikku kepada penyewa. Kau juga bisa mengambilnya. Mereka adalah selai rumahan jadi tidak akan bertahan lama. Masa simpannya 3-4 minggu saja."

"Ketiga, tolong sirami dan jaga tanaman di taman atap agar tidak mati. Kau bisa melakukan pemupukan seminggu sekali. Jika kau bingung, lihat saja tata caranya di gudang atap. Aku menyimpan semuanya disana."

"Terakhir, minta laki-laki bertato itu berhenti mengunjungi rumah. Bukankah kau sudah tidak punya hubungan dengannya? Aku tidak suka kau bersama dengannya." kata Laura dengan ketus "Ah, kau tidak perlu membayar sewa untuk bulan ini dan bulan depan. Anggap saja gajimu karena sudah membantuku. Ku tutup, bye."

Tut..tut..tut..

Ia bahkan belum sempat mengatakan selamat berlibur kepada Laura namun sambungan telepon itu sudah terputus begitu saja. Anne yang kini merebahkan dirinya di ranjang hanya bisa tersenyum dengan bahagia. Memikirkan bagaimana ia tidak perlu membayar sewa selama 2 bulan dengan melakukan pekerjaan yang ringan, menyenangkan sekali.

Tapi hal itu tidak berlangsung lama, ia teringat pada ucapan terakhir Laura. Pria bertato? Apa Wayne datang ke rumahnya? Tapi untuk apa?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dear SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang