PROLOG; RUN AWAY

7 2 3
                                    

Gadis itu membuka mata secara perlahan. Sorot bola mata lemah bergulir mengobservasi lingkungan tempatnya berada sekarang, hanya ada kegelapan dan kesunyian yang menemani. Kedua tangan dan kakinya masing-masing dikunci menggunakan tali pada kursi satu-satunya tempat bersandar. Rambut legam panjang kusut, bak pikirannya yang kusut memikirkan untuk keluar dari tempat penyikaan ini. Keringat menjadi penghubung rambut kusutnya dengan tubuh lemah yang tidak mendapatkan sinar matahari yang cukup.

Alih-alih diam dan belajar dari kesalahan, gadis itu memilih memberontak. Setiap gerakan yang gadis itu buat untuk melarikan diri dari kastil penyihir jahat jelek ini, tidak membuatnya menjadi seekor burung yang dengan mudah terbang membelah indahnya langit sesuai keinginan hati. Tetapi, hanya menyisakan luka yang membekas di antara pergelangan tangan dan kakinya.

Ruangan gelap dengan pemasukan udara yang minim membuat paru-parunya bekerja dua kali lipat untuk bernapas. Hembusan napas gusar yang keluar setiap detiknya membuat gadis itu ingin menangisi nasib hidupnya yang sangat tidak beruntung ini. Kegelapan ini hanya menyisipkan kegelapan yang membuat waktu berubah menjadi konsep yang tidak masuk akal. Harapan untuk menjadi burung, rasanya akan tetap menjadi harapan yang tidak akan pernah terkabul. Ia kehilangan harapan.

Seolah-olah berada dibawah mantra penyihir jahat, setiap usaha untuk melepaskan diri dari jeratan tali yang mengikatnya dengan erat hanya membawa rasa frustasi dan keputusasaan. Cahaya matahari yang biasa diterima oleh tubuhnya kini menjadi hal yang jauh dan tidak mungkin didapat, membuat jiwa dan pikirannya tertekan, tertekan di antara kegelapan yang menyelimuti. Setiap detik, menit, bahkan jam yang berlalu terus-menerus meninggkatkan perasaan tersiksa dalam situasi tidak manusiawi ini.

Jantungnya berdebar keras saat derap langkah kaki merambat di antara dinding telinga, derap langkah kaki yang ia tangkap semakin jelas, menandakan bahwa seseorang akan datang. Hatinya menjadi gelisah membayangkan dengan kemungkinan bahwa pemilik langkah kaki ini adalah salah satu penyihir jahat datang untuk memberikan lebih banyak penderitaan dalam hidupnya.

Kedua bola matanya terus-menerus menatap lurus kearah pintu masuk di depannya, dengan penuh waspada dan peraan takut, gelisah, tercampur-baurkan menjadikan satu, seperti adonan roti. Tinggal menunggu kapan akan di masukan kedalam oven. Dan membuatnya mati terbakar.

Siluet laki-laki tinggi melangkahkan kaki menuju gadis itu. Sosok yang tidak asing di mata, gadis itu mengerjapkan kedua mata keputusasaanya, memastikan bahwa itu adalah sesorang yang ia kenali. Ia terus mengawasi setiap pergerakan laki-laki itu, mencoba mencocokan wajahnya dengan kenangan masa lalu.

Ia membelalakan kedua matanya, tidak percaya dengan apa yang terlihat, bibir yang semula terkatup rapat kini terbuka. Jantungnya kembali berdebar dengan kencang mendapati sesosok masa lalu yang berkabut di hadapannya.

"Kau...?" ujarnya tidak percaya.

"Ya?"

Kedua mata yang terbelalak berubah menjadi tatapan sendu, perasaan bingung, senang, dan sedih bercampur baur di dalam dirinya. Sebuah jawaban sederhana mampu membawa kilas balik kisah asmara. Rasanya seperti kau terjatuh dengan pantatmu, ingin menangis sekaligus tertawa.

Gadis itu merasakan perubahan signifikan dalam diri laki-laki itu. Rambut panjang kini terpangkas lebih pendek, tatapan mata yang semula lembut kini mengeras memancarkan kebencian di setiap detiknya. Laki-laki itu berubah saat gadis itu tidak bersamanya.

Dengan perlahan si Laki-laki mendekat, melangkahkan kaki. Sorot matanya tidak habisnya menatap seorang gadis dihadapannya, membuat gadis itu merasa akan di mangsa oleh seorang predator.

Tangan kanannya terangkat dengan perlahan dan penuh kehati-hatian di setiap gerakan. Dengan lembut membelai kedua pipinya, sorot matanya yang sulit dijelaskan apa makna dibalik tatapan tersebut. Sebuah belaian lembut yang perlahan menjadi lebih gencar setiap saat. Sebuah belaian lembut kini berubah menjadi cengkraman.

"Stela." bergumam, diiringi salah satu sudut bibir yang terangkat.

Sebuah kontak mata terjalin di antara kedua insan ini, tatapan intens bertemu dengan tatapan sendu penuh kekecewaan dan kebingungan. Ombak perasaan menyulut ombak emosi yang bertolakbelakang.

Tidak menunjukkan belas kasih dalam sentuhan tersebut. Matanya memandang ke arahnya dengan kebencian yang bersinar tajamnya, berbeda jauh dengan sebelumnya sewaktu mereka bersama dalam masa lalu yang indah. Berbanding terbalik dengan emosi yang gadis itu alami. Sebuah kekecewaan tersirat dalam cara gadis itu menatap mata laki-laki yang berada di hadapannya, membuatnya tersesat di dalam gelembung pertanyaan yang meletus mengeluarkan sulutan kekecewaan dengan ribuan pertanyaan.

Lupakan rasa sakit akibat cengkraman. Hatinya terasa lebih sakit saat dia kembali setelah menikamnya perasaannya berkali-kali. Laki-laki itu juga yang membuatnya tersiksa sekaligus bahagia dalam hubungan mereka dulu, membuatnya kebingungan sendiri.

"Kenapa ...?" Di antara ribuan kata yang memenuhi kepala, hanya ini yang dapat terucap.

Laki-laki itu melepas cengkraman di pipinya dengan hati-hati. Meskipun sudah terlepas tetapi ia masih merasakan sebuah telapak tangan berada di sana, mencengkram wajahnya.

Laki-laki itu mendekatkan dirinya, wajahnya hanya beberapa inci jauhnya dari wajah gadis itu. Deru nafasnya terasa hangat yang bertemu dengan milik laki-laki itu, sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan, jantung berdebar-debar dan itu bukan karena rasa ketakutan. Tanpa melepas kontak mata, tangan laki-laki itu dengan perlahan melepas ikatan tali yang mengikat tangan gadis itu ke kursi, membebaskan tubuhnya dari ikatan tersebut.

Laki-laki itu melangkahkan mundur kakinya beberapa langkah. Si gadis melolot dengan bibir menganga, tidak paham dengan laki-laki dihadapannya. Menyadari mimik wajah kebingungan dan keterkejutan gadis menyedihkan di hadapannya, laki-laki itu menyeringai.

"Lari. Lari sejauh yang kau bisa," ujarnya, tangannya terangkat untuk merapikan rambut si gadis. "Katakan selamat tinggal jika kau tertangkap, sayang." ia tersenyum.

Ini kian kalinya gadis itu dibuat terkejut oleh laki-laki aneh ini. Meskipun banyak sekali pertanyaan dalam benaknya, kebebasan adalah tujuan utama. Gadis itu dengan cepat melepaskan tali pada kaki-kaki nya sebelum berlari untuk melarikan diri. Ia berlari secepat yang ia bisa, berharap untuk mendapatkan jarak dari laki-laki yang datang secara tiba-tiba dan mengeluarkan dirinya dari neraka.

Laki-laki itu hanya menatap punggung si gadis yang berlahan menghilang ditelan tikungan. Ia dengan kepala yang santai mengambil ponselnya dari saku celananya, seolah-olah tidak terburu-buru dalam situasi ini. Ia kemudian dengan tenang menghubungkan nomor melalui teleponnya, menunggu dering untuk diangkat di sisi lain.

"Dia sudah melarikan diri."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DROHA; A Game of Sweet Necklace Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang