Sinopsis

131 22 14
                                    

Hari ini HINATA pulang lebih awal untuk satu alasan tertentu. Entah kenapa dia merasakan energinya terkuras habis, hingga benar-benar mengusik fokusnya dalam mengajar. Kepalanya seakan diputar-putar. Mual serta lemas menguasai sekujur badannya. Dia terpaksa menutup kajian materi yang hendak dibawakan untuk melindungi para siswanya dari kemungkinan 'miss understanding '.

Setibanya di rumah dia memutuskan ke kamar dan mengistirahatkan badannya. Saking pulas dia tidur siang pun terlewatkan begitu saja di mana dia tersentak pada situasi menjelang sore. Sejenak kelopak mata diusap-usap, mengurangi efek lengket setelah itu cukup lama terpejam. Dia bangkit dari kasur seraya menggulung rambutnya tinggi-tinggi. Sadar akan aktivitas merepotkan sebagai ibu rumah tangga, dia tentu membutuhkan ketangkasan dalam bergerak. Dari dalam lemari dia mengambil dress berpotongan sederhana sepanjang lutut, mengenakannya dengan cepat sebelum ke dapur dan mulai memasak makan malam.

Hinata Hyuuga merupakan seorang ibu rumah tangga. Hampir enam bulan lamanya sejak keluarga besar dia mengadakan jamuan mewah. Berasal dari keluarga terpandang menyebabkan cara bersosialisasi keluarganya penuh aturan dan terkonsep. Mereka tak akan sembarangan dalam bertindak, apalagi untuk melakukan hal-hal yang sekiranya dapat mencoreng martabat keluarga.

Seperti fakta demikian bahwa HINATA HYUUGA berada di tengah-tengah ketentuan khusus, pernikahannya juga terjadi berdasarkan kesepakatan dua belah pihak. Itu bukanlah penyatuan atas dasar cinta romantis, melainkan diskusi matang oleh yang dituakan di masing-masing keluarga mempelai. Sebagai anak berbakti Hinata sangat memahami posisinya, meski adakalanya hati dan nalar hendak memberontak. Namun, harapan berbalut desakan orang tua mustahil bergelut dengan keinginan nurani pribadi.

"Astaga, sayurnya habis. Bagaimana ini?" Hinata termenung sejenak di depan lemari pendingin yang tampak lapang. "Aku lupa belanja, padahal dari pagi direncanakan." Sunyi dan hening menjadi latar monolog Hinata. "Untung aku masih punya daging dan jamur. Dia tidak pernah keberatan dengan apapun yang kumasak-iya, benar. Setelahnya aku bisa pergi sebentar ke supermarket." Kata-kata terakhir menjadi pengiring aktivitasnya. Dia bergegas memungut sekotak daging serta sebungkus jamur untuk dieksekusi di penggorengan.

Empat puluh menit selanjutnya sepiring tumisan daging, semangkuk sambal juga potongan buah segar terhidang di meja makan. Hinata menutupnya menggunakan tudung saji sambil mengelap permukaan meja agar terlihat bersih mengkilap. Apron dilepaskan jangka kakinya diayun ke kamar. Dia benar-benar berniat keluar untuk membeli beragam bahan makanan. Meski berkemas baginya tidak selalu membutuhkan banyak waktu. Hinata merupakan tipikal ringkas seadanya. Kendati dia tergolong pendiam dan tenang, tidak berarti pula gerakannya turut lamban.

Rok span selutut, sweater rajut turtleneck menjadi pilihan Hinata di sore ini. Rambutnya dibiarkan tergerai bebas, sekadar diberi jepitan di bagian poni supaya terkesan rapi dan bagus. Belum ada lima menit dia berdiri di depan gerbang, seunit taksi yang melintas buru-buru dihentikan. "Supermarket terdekat ya, Pak." Dan sopir di bangku kemudi langsung mengangguk di tempatnya.

Seluruh adegan tersebut secara konstan berputar mengisi keseharian Hinata. Dia bekerja di sebuah sekolah musik ternama di Ibukota seraya menjalani peran selaku menantu keluarga SABAKU. Suaminya adalah salah seorang pejabat tinggi di kota, meneruskan sepak terjang mendiang ayah mertuanya.

Ditilik melalui sudut pandang orang-orang sekitar, mereka akan beranggapan kehidupan Hinata perumpamaan narasi di buku novel. Siapa yang tidak ingin menerima kedudukannya? Dia menikahi pria penting di kotanya dengan segala kemegahan yang mengelilingi. Tetapi, Hinata justru tetap hidup sesuai caranya sendiri. Seperti pilihannya memanggil taksi untuk mengantar dia ke supermarket, daripada memakai jasa sopir keluarga. Berujung sarana sekian pun dihentikan oleh suaminya, mengingat dia kerap mengabaikan fasilitas itu.

Hinata menyadari hatinya kosong dan hambar. Dia tidak benci hidupnya, meski andai mampu memilih dia jelas akan memutuskan segalanya berjalan persis mimpi-mimpinya. Dia ingin jatuh cinta, disayang, berjuang serta diperjuangkan. Dia ingin kisahnya dipenuhi lika liku beragam emosi jiwa. Sampai pada satu kesempatan dia merasa seolah telah menemukan mimpinya sendiri, sosok asing dengan kebebasan memesona. Hinata ingin memilikinya. Dia rela mengangkat kaki dari zona teraman asal dapat bersisian bersama si figur impian, tak menghiraukan kerikil tajam yang siap menahan. Hinata mendadak amnesia terhadap pengawasan di selingkung. Lalu, keinginan pun menjelma sebentuk ambisi terhadap si asing NOAH MATTHEW. Dia bertekad memenangkan seluruh pertentangan keluarga, sekalipun itu artinya dibuang dan berakhir.

_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_

Please, Hold My Hand!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang