3

71 13 0
                                    

"Kenapa sih? Serius sekali mukanya. Ada masalah, ya?" Noah tahu bahwa teman perempuannya yang cukup mencolok ini adalah pribadi yang tidak bisa diam. Seharusnya dia sadar untuk sedikit menutupi kegundahan beralasan apapun agar tidak terlihat mencurigakan. Namun, bukan salahnya juga sebab telah menjadi sosok over thinking mengenai hal-hal baru yang datang secara mendadak ke hadapan nya, termasuk wanita rupawan tempo hari. Semua perbincangan basa basi itu nyatanya telanjur melekat di memori Noah dan dia benci merasakannya.

"Sakura—"

"Iya, iya, aku di sini untukmu."

"Jangan berlebihan. Kau justru menambah kecamuk di pikiran aku. Tolong kali ini untuk fokus, Sakura."

"Wow, aku langsung berdebar mendengar perkataanmu. Lebih baik anarkis seperti biasanya, melihatmu lesu begini entah kenapa bikin aku iuh, geli."

Keduanya berada di apato Noah, duduk berseberangan di antara sebuah meja Osin berukuran sedang. Di tengahnya tersedia dua cup ramen yang masih mengepulkan asap, sepiring tumisan kol iris serta satu stoples keripik kentang. Noah hanya akan menyantap ramen kare miliknya. Dia tak suka makanan tambahan yang justru bisa mengurangi cita rasa asli dari bumbu medok di setiap suapan kuah ramen. Barang tentu pelengkap tadi ditujukan bagi Sakura. Meski badannya terbilang ramping, faktanya gadis tomboy itu punya nafsu makan yang cukup besar.

"Wanita itu mengikutiku."

"Apa? Siapa? Orang iseng dari mana yang mau-maunya mengekori tampang berandalan sepertimu ini?" Masih saja. Reaksi sekian seketika mengundang desahan berat pada birai labium Noah Matthew. Apa dia tidak perlu menceritakannya kepada si rambut merah muda ini?

"Ya sudahlah. Tidak jadi."

"Hei, sorry. Aku bercanda. Berbagilah denganku, please. Detik ini juga aku siap mendengarkan, jangan merajuk!" Satu kali lagi Noah Matthew melepaskan pernapasan yang agak kasar, seolah mempertegas seberapa dahsyat beban pikirannya.

"Mungkin aku yang berlebihan," katanya pula hingga Sakura mendadak kesal sekaligus bingung di tempatnya. Apalagi ketika mendapati Noah justru mulai mengangkat sumpit, membawa gumpalan berhelai-helai mi ke mulutnya yang lapar. Padahal Sakura kepalang penasaran, dan gadis ini tidak akan membiarkannya makan dengan tenang.

"Aku benci digantung, Noah. Aku selalu menceritakan apapun yang aku alami setiap harinya. Begitulah gang disebut pertemanan. Kau teman baikku dan aku satu-satunya yang bisa kau percaya. Bukan aku. Tapi, pernyataan itu datang darimu sendiri."

Benar bukan? Ini tidak akan selesai dengan sederhana, semudah Noah memutuskan untuk membatalkan niatnya bercerita.

"Harus?"

"Ya. Kau sudah memulainya, tolong dituntaskan." Alibi yang tepat, meski intonasinya lebih mengarah pada pemaksaan.

"Wanita cantik yang aku selamatkan di taman, dia membuntuti aku."

"Ah, jadi kau membantu seorang wanita di taman?"

"Ya."

"Membantunya selamat dari apa?"

"Ada anak-anak bermain bola. Mereka sangat bersemangat menendang bola. Aku rasa salah satunya menendang dengan sepenuh tenaga, hingga hampir menerjang si wanita. Dia sungguh tidak menyadari ancaman itu, barangkali buku yang dia baca sangat menarik."

"Lalu? Apa kamu menendang bolanya ke arah lain?"

"Ceritanya tidak segitu dramanya. Aku cuma menghadang di hadapan dia, mengorbankan punggungku sendiri untuk dihantam bola."

"Astaga, itu sebabnya kau meringis saat aku mendorong punggungmu tadi?"

"Hn. Bekasnya masih tertinggal."

"Itu pasti. Kau perlu menunggu setidaknya dalam tiga hari ini sampai sakitnya samar-samar menghilang." Tak lama berselang keheningan singgah sekejap di kisaran mereka. Sakura turut menikmati ramen bagiannya yang kini mulai mendingin.

"Dia ingin menemui aku di kesempatan lain. Apa kau tahu kira-kira buat apa tujuannya?"

"Kau bilang dia ingin menemui kau, lagi?!"

"Oh, mustahil ya? Aku juga berpikir itu sekadar ucapan sembarang. Tidak mungkin juga orang berkelas seperti dia mau repot-repot menjumpai aku 'kan? Sejujurnya aku risi, aku tidak begitu suka dengan rencana yang dia ajukan." Praktis kening Sakura mengernyit, terpicu juga akan pengakuan gamblang pria ini.

"Aku tidak bisa merespons terlalu serius perkataanmu ini. Seperti penilainmu, bisa saja wanita itu asal bicara. Tapi, ada juga banyak kemungkinan yang tidak masuk akal tetap terjadi tanpa bisa kita duga. Persiapkan saja dirimu untuk segala bentuk dugaan—omong-omong, apa dia sudah berterimakasih padamu?"

"Itu alasan dia sempat mengajakku mampir ke kedai kopi dan kami berbincang tentang pertemuan berikutnya. Aku tidak mau menganggap undangan itu sebagai sesuatu yang perlu dipertimbangkan matang. Tapi, selain terlihat bermartabat wanita itu juga tipikal pemaksa." Sakura mengunyah mie-nya sejajar muka Noah yang kini tampak bingung. Bahkan gadis itu tak lagi menyahut apa-apa. Dia kehabisan ide untuk menjawab atau juga berencana menuntaskan hasrat laparnya terlebih dahulu. Biarlah urusan kebimbangan Noah akan dia pikirkan ulang nanti dengan perut yang sudah damai.

-----

Hinata senang merasakan dirinya berdebar-debar acap kali mengingat obrolan singkat bersama Noah Matthew kemarin. Boleh jadi pria itu menabur percikan magis di saat fokus pandangnya lengah, atau menuangkan racun kasmaran ke dalam cangkir kopi yang diminum Hinata. Pasalnya, sosok Noah Matthew berhasil menguasai pikirannya hanya dalam hitungan jam. Bagaimana bisa dia tampan dan misterius perawakannya? Bagaimana bisa ukiran-ukiran berantakan itu terlihat pas dan cocok di kulitnya? Atau bagaimana bisa seorang pria menjadi begitu seksi hanya melalui tatapannya? Dan juga bagaimana senyuman tipis itu bisa memperkuat daya tariknya? Semua pergolakan batin tak terpecahkan menggiring langkahnya untuk berbagi tanda tanya dengan yang dianggap karib. Dalam kondisi tak sabar Hinata mengundang seorang temannya untuk berbincang-bincang.

"Apa menurutmu tato cocok untukku?" Spontan rekan karibnya menengadah, menyingkir dari seduhan teh wangi beraroma melati. Sungguh harum khas penenang jiwa, baiknya pula sekaligus dapat menghangatkan tubuh di dalam.

"Itu sangat liar rasanya."

Detik itu juga Hinata mendengkus, hendak menertawai kesemberonoan yang barusan dia tuturkan. Tetapi, nasi telah menjadi bubur dan si rekan sudah jua mengomentari ceplosnya.

"Aku pikir tidak cuma liar. Tapi, ehm ... lumayan keren dan seksi." Mata itu, matanya yang bulat dan lembut berbinar-binar layaknya gadis kecil nan lugu.

"Ini pertama kalinya kamu memandangku dengan mata seperti itu. Kamu persis anak anjing yang terlihat lucu menggemaskan saat mereka sedang memohon. Ada apa denganmu, Hinata?"

"Aku tidak tahu, Kirei. Apakah terlalu mencolok?"

"Apanya?"

"Tentang perumpamaanmu tadi. Kamu menyamakan aku dengan seekor puppy yang lucu. Apa mataku ini kelewat terbuka."

"Ya, aku tidak akan menyangkalnya. Hari ini kamu berbeda. Ke mana ketegangan yang kamu bawa di semua percakapan kita? Aku sampai hafal pembahasanmu. Gaara yang kaku. Gaara yang membosankan. Gaara yang tidak berhasil membuatmu jatuh cinta. Di sisi lain ada Gaara yang begitu hangat, Gaara yang perhatian, Gaara yang bertanggung jawab, Gaara begini, Gaara begitu. Dan dari sekian banyak poin persepsimu tentang dia, kamu tidak pernah membicarakannya dengan bias semurni itu Hinata. Tidak pernah! Aku berani jamin. Jadi, siapa orangnya? Siapa yang lancang telah menyebabkan dirimu jatuh?"

Panjang sekali  Kirei mendeskripsikan gambarannya untuk perubahan Hinata. Yang dilakukan Hinata hanya menarik napasnya perlahan-lahan. Dia tahu pria asing bertato itu merenggut afeksinya lebih dalam dan terburu-buru, mengalahkan Gaara yang sesungguhnya sudah bertahun-tahun dia kenal.

"Dia cuma pria asing, pria asing yang berbahaya. Aku yakin dia menyihir aku di saat aku lalai."






Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Please, Hold My Hand!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang