"Apakah kau memiliki keinginan?"
Seseorang bertanya, di balik kenyataan, dalam bunga tidur yang menyapu mimpi buruk berulang sejak entitas tak diundang datang. Dirimu bungkam, kebimbangan menghambat untuk menjawab. Lelaki itu—kau berasumsi dari suara dan penampilan kaburnya—lantas tersenyum, lalu memberi tahu alasan mengapa pertanyaan diajukan.
Seolah dirimu telah merespons.
"Karena jika memilikinya, kau harus menggunakannya sebagai pegangan di masa-masa terkelammu."
Dia mempererat jalinan tangan, mengusir dinginnya ruang bawah tanah yang remang-remang dan berdebu. Nyala obor tampak meliuk kala derap langkah melewati. Entah ada berapa orang di sana, lantaran jarak pandang hanya berkisar sejengkal. Bahkan sulit bagimu melukiskan pakaian yang sedang dikenakan.
Pemuda tadi sepenuhnya menuntun jalan, dan kepercayaan sepenuhnya dirimu berikan.
"Keinginanku ...."
Sebelum balasan sempat terselesaikan, dunia di sisi lain memanggil. Kau sekuat tenaga berpaut pada genggaman, berhasrat tinggal, setidaknya untuk sejenak, tetapi sia-sia. Realitas menyeruak; mengikis setiap kehangatan, menyisakan segala kebekuan. Kelopakmu berkelip sesaat, lalu terpaku pada tanganmu yang bebas, tengah menghalau kilau lampu di langit-langit.
"Apa kau ingin segera mati?"
Kemunculan tiba-tiba dari sang peneror melantakkan kejutan ke dada. Menebarkan ketakutan, memaksamu tetap meringkuk. Kala dirinya selalu menjulang, dirimu masih saja terpuruk. Itu bukanlah kali pertama, tetapi kau tidak kunjung terbiasa-atau mungkin tak akan pernah.
Menginvasi ruang pribadi, ia kembali menginterogasi. Dia pasti mendapatimu berbicara dalam tidur.
"Katakan padaku, apa kau ingin segera mati?"
Kematian adalah akhir; semuanya bernasib sama. Namun, mendapati takdirmu menari-nari di tangan maujud itu adalah cerita lain.
"Dalam angan-anganmu, BEN."
Tunduk pada roh pendendam di hadapan adalah hal terakhir yang akan kaulakukan.
.
.
.
Terik mentari terasa membakar, meski teduh payung menaungi.
Mengintip dari bayang-bayang, langit biru tak berawan memanjakan penglihatan. Kau nyaris lupa betapa damainya kenyataan, di mana tidak ada senja kemerahan abadi atau bulan mengerikan yang akan jatuh.
Dunia terus berjalan; dirimu mengikuti peredaran.
"Maaf, karena tidak membantu waktu itu."
Kau berlutut di depan makam, sesekali mencabut beberapa rumput yang baru tumbuh. Sebuket lili putih dengan pita kuning berpindah dari tangan, mengisi ruang kosong di antara banyak karangan bunga.
"Sekarang, aku tahu apa yang kaurasakan."
Temanmu—raga yang terkubur—adalah salah satu dari sekian korban. Yang lelah dihantam gelombang, lalu pasrah terseret arus.
Bergabung bersama dia dalam kematian.
Perasaan seolah diperhatikan membuatmu berpaling. Dari kejauhan, dekat pohon palem di luar kuburan, tampak figur hijau yang buram. Tersenyum jahat. Topeng penuh warna nan menyeramkan tersampir di samping kepalanya. Kau tidak tahu mana yang lebih buruk; melihat mata merah menyala dari benda itu, atau mata merah berdarah dari entitas itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sielvartas (BEN Drowned Fanfiction)
FanfictionPenenang misterius dalam mimpi damaimu yang terus menarikmu menuju cahaya, bertahan dari roh pendendam dalam mimpi burukmu yang terus menyeretmu menuju kegelapan. Female!Reader BEN Drowned by Jadusable The Legend of Zelda: Majora's Mask by Nintendo