“Desa Melati”
Oleh: TejeMamo
*****
Aku bukan orang yang sabar, kalau Bapak menyuruhku untuk menunggu 1 tahun lagi, aku akan rampung. Jangan kan begitu, menunggu 1 jam saja aku sudah jenuh.
Hari sudah malam, Bapak sengaja mengajakku berkeliling desa yang baru kami tempati pagi tadi. Kami pindah dari kota Blueberry ke desa kecil bernama Melati. Suasananya lumayan bagus, udaranya juga segar, sangat berbeda dengan suasana kota tempat tinggal kami sebelumnya.
Bapak bilang, “Sabar, ya, Nduk. Hanya setahun saja, kok.”
Dalam artian, Bapak menyuruhku untuk sabar menunggu tugas Bapak selesai di desa ini. Kepindahan kami beralaskan Bapak yang dipindah tugaskan, lantaran kerjanya yang memang memiliki tugas berganti dan tempat tinggal yang tidak bisa menetap lama. Aku bosan, sekian tahun begini.
Aku dan Bapak masih asik duduk di tepi sungai, pemandangannya cukup bagus untuk ditatap sekian meter dari dudukan yang kami tempati. Cahaya bulan juga ikut menyinari air tergenang itu, indah. Kemerlap cahaya dari bulan terlihat menantul di sana.
Kami hanya tinggal berdua, sejak kepergian ibu 7 tahun lalu. Ibu tiada akibat penyakit kronis, sejak saat itu bapak mulai menerima pindah tugas seperti ini. Tidak ingin berlama-lama menetap di rumah yang penuh kenangan bersama Ibu.
Kata bapak, “Kalau menetap di sini saja, Bapak akan susah melupakan Ibumu.” Bapak selalu berkata seperti itu.
Tiada hari yang tertinggal setiap pagi aku lihat Bapak menatap foto Ibu dan mengucapkan kata cinta berulang kali. Bapak memang secinta itu dengan Ibuku, melebihi dari yang aku tahu.
Aku menatap bintang yang berhamburan malam ini, juga menelisik wajah Bapak yang menerawang awan dengan lekat.
“Dulu, waktu tinggal di desa, masa pacaran Bapak ya seperti ini,” Itu kata Bapak. Mataku ikut menatap arah pandang Bapak, seperti mengenang masa lalu.
Aku rasakan Bapak merangkulku, menopangkan kepalaku di pundak Bapak. “Ibumu itu dulu cerewet, bahkan Bapak paling males kalau udah ketemu Ibumu di sekolah.” Aku ingat, saat Ibu bercerita mengenai masa pacarana Ibu dan Bapak yang dirajut sejak SMA. Aku merasa bernostalgia dengan cerita Bapak.
“Kalau Bapak males, kenapa bisa jadi sama Ibu?” tanyaku. Ini pertama kalinya Bapak bercerita hal lain mengenai Ibu. Selama ini, Bapak hanya mengenang bagaimana dulu keluarga kami yang lengkap dengan adanya sosok Ibu dan Istri.
Aku dengar Bapak menghelas napas, tangan Bapak asik menggenggam tanganku yang mulai kedinginan. “Namanya cinta, Nduk. Bapak nggak bisa menghindar. Semakin Bapak nggak mau ketemu Ibumu, Bapak malah semakin rindu. Aneh.”
Aku terkekeh kecil menanggapi kata terakhir yang diucapkan Bapak. “Dan si Aneh itu adalah Bapak.”
Kami tertawa, aku melihat wajah Bapak lebih ceria dari hari sebelumnya. Aku sayang sekali dengan Bapak, hingga wajah Bapak yang seperti ini saja membuatku terharu. Aku memeluk tubuh berisi Bapak dengan erat, erat sekali.
“Bapak seperti ini terus ya, Yueni nggak mau Bapak sedih terus setiap pagi. Sudah 7 tahun berlalu loh, Pak,” kataku. Aku sedih, jujur saja. Setiap Bapak mengatakan kata cinta untuk foto Ibu yang Bapak pajang di kamarnya, air mata Bapak selalu keluar. Bapak menangis, suaranya tidak terlalu terdengar, tapi dari tatapan Bapak aku bisa lihat bahwa Bapak sangat dan amat merindukan Ibu.
Sudah aku bilang, Bapak itu cinta mati dengan Ibuku. Bapak selalu menyalahkan diri dan menyesal setelah kepergian Ibu. Kata Bapak, seharusnya Bapak bisa lebih membahagiakan Ibu terlebih dulu. Bisa membawa Ibu ke 70 Negara yang ingin Ibu kunjungi. Bisa mengecup kening Ibu setiap pergi bertugas, atau bisa menyisakan waktu untuk Ibu lebih banyak.
Bapak itu orang yang lumayan sibuk, pergi subuh dan pulang tengah malam. Jujur, aku dengan Bapak juga jarang bercengkrama jika hari-hari biasa. Bapak hanya punya waktu di hari Jum'at, itupun lebih banyak Bapak habiskan untuk istirahat. Meski begitu, Bapak luar biasa, selalu menyempatkan menyapa dan memberi waktu yang Bapak punya untukku dan Ibu. Aku tidak pernah merasa Bapak memiliki kekurangan, karena Bapak adalah sempurna.
Aku rasakan tangan Bapak mengusap rambutku, keningku yang tertutup poni disisir menggunakan tangan kasar Bapak. “Bapak, toh, nggak pernah nangis, Nduk. Kamu loh ada-ada saja,” Bapak berkilah, aku tahu itu. Bagaimana tidak, aku itu sudah menjadi saksi Bapak menangis setiap pagi.
Jadwalku saat pagi itu adalah mengantar kopi ke kamar Bapak, biasanya Bapak akan bersiap sambil menyesap kopi, itu yang aku ingat dari Ibu. Sebelum kepergian Ibu aku adalah orang yang selalu mengantarkan kopi ke kamar Bapak, sebab itu aku hapal bagaimana Bapak dan itu selalu bertepatan saat Bapak menangis menatap foto Ibu. Aku juga merasakan sakit jika melihat Bapak menangis. Umurku sudah 14 tahun, dan Bapak menangis setiap pagi setengah dari umurku.
Aku memukul pundak Bapak pelan. “Gimana engga, Yueni loh lihat Bapak setiap pagi sewaktu antar kopi.”
Aku hanya dengar suara tawa Bapak. Kali ini lebih lepas, seakan Bapak memang tidak memiliki masalah dan hambatan. “Ya sudah, jangan bilang begitu, dong. Bapak kan jadi malu kalau kamu tau Bapak mewek.”
Bapak mengusap kepalaku lebih konstan. Rasanya sangat nyaman. Aku ingin hidup selamanya dengan Bapak, jika bisa meminta aku juga ingin Ibu kembali. Asal Bapak tahu saja, cinta dan sayangku juga tidak kalah besar pada Ibu.
Aku duduk dengan tegak, menusuk perut buncit Bapak dengan telunjukku. “Bapak janji jangan nangis terus, cari istri baru saja. Yueni nggak apa-apa,” ucapku sambil tersenyum jahil.
“Heh! Nggak toh, Ndok. Ibumu loh number one di hati Bapak.” Bapak beri gestur membelah dadanya seakan ada nama Ibu yang terpahat di sana.
Aku mendengus dan tertawa. “Kalau Ibu tau Bapak begini, Ibu akan gimana ya, Pak?”
Bapak kembali merangkulku, mengusap lembut rambutku yang sedikit berantakan lantaran tertiup angin. “Ibumu pasti akan pukul Bapak,” Bapak tertawa. Bahagia sekali Bapak hari ini. Lebih banyak tertawa ketimbang pagi hari.
“Kenapa begitu?” tanyaku penasaran. Setahuku, Ibu tidak suka main tangan, tapi ku akui kalau Ibu memang sedikit cerewet.
“Selain cerewet, Ibumu juga anti romantis,” jelas Bapak.
Malam ini, benar-benar hal baru untukku. Melihat Bapak ceria dan banyak tertawa. Mendengarkan cerita Bapak mengenai Ibu, bagaimana Ibu dan juga penyesalan seorang suami pada istrinya. Dari cerita Bapak memang banyak yang Bapak sesalkan, mulai dari impian Ibu yang belum bisa Bapak wujudkan semua, serta waktu yang dulu sulit Bapak berikan untuk keluarga.
Aku memaklumi sikap Bapak, cinta juga sayang Bapak begitu besar pada Ibuku. Makanya Bapak selalu merasa bersalah akan hal itu, padahal dulu saja aku dan Ibu tidak pernah mengeluh lantaran Bapak yang kerja keras dari pagi hingga malam. Bapak sudah hebat, tapi Bapak tidak menyadari. Malam ini juga, aku sadar jika Bapak lebih banyak melihat penyebab penyesalan yang telah Bapak perbuat daripada hal yang sudah Bapak beri.
Aku semakin erat memeluk tubuh Bapak. Aku hampir menangis, tidak bisa mendengar semua penyesalan Bapak malam ini. Bapak itu sosok yang aku lihat sangat tegar dan kuat. Ternyata, Bapak juga rapuh.
“Yueni sayang Bapak, tolong jangan sedih, apapun yang Bapak lakukan selama ini adalah kebahagiaan untuk kita, Pak. Ibu pasti paham.”
Dan malam ini, suasa yang amat aku sukai dan tidak. Aku suka Bapak terbuka, tapi tidak suka Bapak bersedih. Perasaanku membaik, tidak menyangka kepindahan kami ke desa Melati akan membawa suasana seperti ini, melihat Bapak yang jujur dan rapuh. Aku akan berusaha menikmati perpindahan kami di desa ini dengan senang bersama Bapak. Aku berjanji.
Paradise, 14 Juli 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Kita
Short StoryDunia kita? Apa yang bisa menjelaskan bagaimana jalannya dunia di atas kepala? Luasnya alam semesta mengajarkan banyak hal, bagian buruk juga baiknya. Semua sudah tertata. Kita berpijak pada satu hal yang sama, tapi jalan yang kita pilih dan kita l...