27. Suara apa?

10.7K 604 101
                                    

Janlup untuk selalu vote dan komen yang banyak, soalnya aku suka baca komen dari kalian😊

Wajib follow!!! Kalau nggak pantatnya korengan!!

Happy Reading ✨









"Ibu, aku gak sabal mau belkemah."

"Iya sayang, Ibu sama Ayah juga gak sabar, nih. Perut ayah sampai keroncongan terus dari tadi."

"Haha, kamu sudah tau saya lapar harusnya disuapi, dong. Capek juga 2 jam pegang kemudi ini. Masa gak dikasih makan."

Itu ayah dan ibu. Aku duduk di kursi belakang mobil, tertawa mendengarkan gelak canda mereka.

Rintik hujan mulai nampak bersama dengan embun yang menutupi kaca jendela. Dingin yang terasa kala itu. Aku hanya memandang keluar jalanan sepi yang begitu suram ini.

"Apa kita tidak salah jalur? Berapa lama lagi sampai di gunungnya?" Ibu membuka peta atlas sembari memberi tahu ayah yang nampak terdiam dalam melajukan mobil ini.

Perasaan apa ini? Seperti gundah yang mencubit setiap detak jantungku.

"Maaf, sebenarnya Ayah tak akan membawa kalian berkemah sekarang." Aku dan ibu terlonjak kaget mendengarnya. Lantas mau dibawa ke mana kami sekarang?

"Mas, kamu ngomong apa, sih? Jangan bercanda, cepat kembali ke jalur yang benar." Ibu mengguncang bahu ayah sedikit panik.

Namun, Ayah tetap diam menyetir, sesekali melirik ke arah Ibu dan kaca spion tengah yang terpantul wujud kecilku di sana.

Ibu tak henti-hentinya memekik agar laju mobil ini dapat terhenti. Tapi, yang terjadi selanjutnya aku melihat ada kilatan cahaya yang menyambar dari arah belakang mobil.

"Sial! Bagaimana bisa mereka sampai ke sini?!" Ayah memukul setirnya keras, ia nampak naik pitam samapi melajukan mobil ini lebih kencang lagi.

"Mas! Sebenarnya ada apa ini?! Siapa itu?! Kok ada mobil yang ngikutin kita?" Aku hanya bisa menangis mendengar jeritan ibu. Aku takut melihat ke belakang.

Hari masih siang, namun langit tak menampakkan sinarnya. Awan gelap itu menutup sang surya dengan tiap tetesnya yang menganggangu pandangan. Suara gemuruh petir juga semakin menari ria di atas sana. Telingaku keberisikan dengan teriakan langit.

Silau dari belakang membuatku semakin penasaran, sebenarnya ada apa di belakang sana.

Hingga akhirnya, detik di mana aku berdiri di kursi dan melihat ke kaca belakang mobil. Cahaya itu semakin mendekat mengkikis jarak dengan mobil ini.

BRAK!!

Entah apa yang terjadi kala itu. Kejadiannya terlalu cepat, aku tak sempat merekam bagian ini di memori otakku.

Yang aku ingat, hanya sebuah bayangan manusia yang menggendongku keluar dari bongkahan mobil yang sudah hancur. Aku sempat melihat ibu yang masih terperangkap di dalam mobil. Lalu, Ayah ...

Dia merangkak ke arah seseorang yang tengah menggendongku sekarang. "Kembalikan dia ... Tolong jangan ... anak dan istri saya ..."

Mataku tertutup, aku tak mampu membukanya kembali. Begitu berat dan perih, apa lagi suara isak tangis ayah terdengar pilu. Mungkin itu kali pertamanya aku mendengarnya dalam sedih.

Detik di mana suara ayah terhenti, aku mendengar suara dentuman kencang yang begitu nyaring bak petasan kolosal di pendengaranku. Seketika itu juga trauma perdana yang terekam jelas tersimpan di kaset otak ini.

***

"Itu bukan suara petir ..." Aku bergumam meremas kepala yang teramat pening.

Disgusting [END] ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang