AB-11

576 61 28
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

*
*
*

_•>,<•_

Gus Birru gusar. Di saat dirinya lengah, seseorang yang sangat ia jaga mendapatkan serangan. Orang biadab yang menganggap dirinya punya kuasa atas nyawa seseorang.

Mereka sewaktu-waktu akan menjelma menjadi malaikat maut yang di tugaskan mencabut nyawa seseorang ketika apa yang mereka inginkan tak mereka dapatkan. Terkadang mereka bermain-main dengan nyawa seseorang untuk mengancam yang lain.

Karena itu pula, Gus Birru menyembunyikan identitasnya sebagai salah satu anggota penegak hukum. Menghindari musuh-musuhnya mengincar orang terdekatnya.

Baru saja Gus Birru berbalik hendak menghampiri orang yang memberikannya informasi ini, tapi kedatangan kakaknya mengurungkan niatnya itu.

"Pulang tiba-tiba trus nggak silaturahmi ke rumah abangnya, apa sopan santun mu sudah hilang di lahap zaman? Atau tertinggal di negara sebrang?" sindir Syaqib.

Gus Birru masih diam. Mengamati penampilan abangnya yang mengenakan sorban putih. Tampak angkuh dengan kepala terangkat.

"Ana kira Abang sudah melupakan adik tercintanya. Jika sekiranya kelakuan ana mengusik ketentraman hati bang Syaqib, mohon di maafkan." Gus Birru meletakkan sebelah tangan di dada seraya membungkuk.

"Lupa? Bagaimana bisa, jika bekas luka yang kamu torehkan masih membekas di lengan Abang."

Selalu hal itu yang di ungkit.

Menegakkan kepalanya kembali. Gus Birru menatap tangan abangnya yang tengah mengusap lengan atas di mana letak luka itu berada.

"Apa yang harus ana lakukan untuk menebusnya? Apa perlu ana menukarnya dengan nyawa?"

Syaqib berdehem. "Cukup sadari batasan kamu. Jangan mengambil apa yang sudah susah payah Abang gapai."

Gus Birru terkekeh. "Inget Bang, semua ini hanya lah titipan semata. Lagipula ana nggak serakah untuk menguasai seisi pesantren."

Syaqib berang melihat tingkah tengil adiknya itu.

"Mendingan Abang balik ngajar, kasihan para santri yang sangat mengelu-elukan Abang di biarkan begitu saja."

Setelahnya Gus Birru memilih pergi lebih dulu. Meninggalkan Syaqib yang mengepalkan tangannya.

Mereka bersaudara tapi tidak ada kasih sayang yang terlihat. Setiap bertemu yang terlontar hanya kalimat pedas nan menyakitkan. Rasa iri yang di miliki salah satunya melenyapkan arti persaudaraan.

Di besarkan oleh orang tua yang sama, kasih sayang sama besarnya namun karena darah yang mengalir dalam nadi berbeda, rasa takut itu menggerogoti jiwa. Hingga dengan serakah enggan merelakan apa yang di punya.

Padahal belum tentu apa yang di takutkan akan terenggut, jika itu sudah menjadi bagian takdirnya.

Gus Birru keluar dari area pondok setelah mendapatkan izin uminya. Bergegas menuju tempat yang biasa menjadi tempat mereka berkumpul, menanyakan kevalidan informasi yang baru ia dapatkan.

Salah satu temannya menepuk bahu Gus Birru. "Maaf, bro, kita lengah. Waktu itu kita nggak nggeh jika ada seseorang yang mengincar mereka."

"Zi, ini salah gue juga. Gue malah minta temenin ke toilet, padahal gue bisa pergi sendiri."

Gus Birru menggeleng. "Nggak. Ini bukan salah kalian. Semuanya bagian dari takdir. Gue bakalan berusaha buat jagain mereka dari dekat."

Cara bicara Gus Birru sangat berbeda jika bersama teman-temannya. Ia mampu menempatkan dirinya di antara orang lain, sehingga orang yang belum mengenalkan tidak akan tahu latar belakangnya yang seorang anak Kyai dari salah satu pesantren ternama di pulau Jawa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AGBIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang