Toko Buku, dan Kita.

58 7 0
                                    

NamV!

-
-
-

Laju kakinya melambat ketika temukan pintu kelas sudah tertutup. Dia diam menatap pintu masuk, dalam hati memikirkan tentang nasibnya yang terlambat lagi untuk datang lebih awal hari ini. Akhirnya, memberanikan diri maju beberapa langkah lagi hingga benar-benar di depan pintu, lalu mengintip di kaca.

Lihat! Apa yang kedua netranya tangkap?

Di barisan kedua dari kiri itu, dia melihat teman biadabnya sedang duduk manis, dengan satu permen dalam mulut yang selalu mengucap kata-kata kurang ajar itu; sedang asyik menyatat di atas buku terbuka.

Raut wajahnya sedikit berubah saat ini, walau tidak terlalu tampak, tapi dahi yang mengerut dengan ujung alis menukik samar itulah, yang membuat orang lain pasti tahu bahwa dia kesal.

Selanjutnya, dia tegakkan tubuh yang membungkuk karena acara mengintip tadi, napas kecil keluar dari dia yang sekarang ketukan punggung tangan ke pintu demi menyita sebentar konsentrasi para mahasiswa dan dosen di dalam sana. Saat dapat izin, barulah berani dorong pintu, lalu masuk sembari pasang senyum formalitas sebagai bentuk menghormati.

Dosen wanita yang sekarang sudah turunkan kaca mata itu, kini menatap si mahasiswa terlambat. Yang ditatap hanya diam, tundukkan pandangan sesegera mungkin, setelah balas sekilas tatapan yang diberi untuknya dari si dosen wanita tiga puluh sembilan tahun.

"Lagi, Kim Namjoon?"

"Maaf, Miss."

Sang dosen menghela sejenak, coba untuk maklumi. Tangannya bergerak menunjuk ke bangku baris kedua dari kiri, bangku si mahasiswa, dan beliau berkata, "Kali ini saya maafkan, tapi tidak untuk yang ketiga atau keempat dan lainnya. Mengerti, Namjoon?" Dapat anggukan dari orang yang namanya disebut. "Pergi ke tempatmu." Setelah dengar perintah itu, pemuda bernama Kim Namjoon dengan patuh menurut tanpa disuruh dua kali.

"Duh, sohib gua kebanyakan tingkah, sih, makanya telat dah." Nada mengejek itu terkandung dalam barisan kalimat yang keluar dari pemuda pengemut permen. Memamerkan senyum menggoda dan alis naik turun.

Namjoon secara sengaja menendang ujung sepatu si pemuda yang sekarang tertawa menjengkelkan. "Diem, Brengsek."

Si teman hanya tampilkan senyum separuh, agaknya melirik jenaka ke arah orang yang sudah duduk di tempatnya. Jadi, dia lebih baik melanjutkan apa yang sedang dikerjakan daripada bertengkar argumen, juga sesekali masih menggoda pemuda berlesung pipi di samping.

Namjoon abai, terlampau malas menanggapi lagi tingkah bodoh temannya, lalu matanya melarikan diri untuk melirik sekilas pada bangku di belakang; mengecek apakah ada sang pemilik bangku di sana.

Lalu embusan napas kecil Namjoon helakan, ketika matanya temukan si pemilik tas hitam terduduk sembari menyatat materi yang ada di depan dengan bila bibir mengatup.

Dalam hati berkata, masih sama, tidak berubah.

"Jangan dilihatin mulu. Nggak bakal lari." Lagi, temannya bersuara menyebalkan. Dibalas Namjoon dengan lemparan tutup pulpen.

Sepasang mata cokelat itu kini melirik dua manusia di depannya. Dia hanya menukik alis kecil, agaknya lumayan terganggu dengan mereka berdua yang sedikit bising menurutnya. Akhirnya, tidak lagi taruh atensi, lebih pilih mengabaikan saja.

***

Pukul 15:47 sekarang. Entah sampai kapan dia menunggu seperti anak hilang begini, di bawah teduhnya pohon dan rumput hijau setengah kering yang jadi alasnya berpijak sejak lima belas menit lalu itu. Wajahnya mulai tunjukkan ekspresi jemu, sesekali celingak-celinguk mencari orang yang ditunggu, tapi belum juga datang batang hidungnya.

DEAR, N! - NamVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang