Story 1: I Love You, Papa

228 22 3
                                    

.
.
.
🍷
.
.
.

Panti Asuhan Blanchard di kota Sherman berdiri sejak tahun 1901. Didirikan oleh seorang bangsawan Eropa, mendiang Abraham Blanchard. Selama sisa hidupnya, ia mendedikasikan dirinya sebagai ayah dari ratusan anak-anak yatim piatu di pantinya.

Namun di hari Sabtu tengah malam, terjadi kebakaran besar di panti tersebut. Api menyambar dengan cepat ke seluruh bagian ruangan, membakar apa saja yang berada di sana tanpa tersisa. Termasuk anak-anak, pengasuh, juga para pekerja. Bangunan seluas satu hektar itu habis dilalap api yang mengerikan.

Kabar itu membuat sebagian besar masyarakat sekitar terpukul dan merasakan duka yang mendalam, karena Blanchard merupakan shelter besar dan satu-satunya yang menaungi anak-anak terlantar di kota Sherman.
.
.
.
.
.
.
Seorang pria berdiri di depan gedung berdinding sabak, bersalut asap yang tampak memudar. Tubuhnya berbalut setelan jas formal dan bersepatu pantofel hitam mengkilap. Ia mengenakan sarung tangan anti panas. Sebelah tangannya menggenggam payung dengan crook handle patung kepala rajawali. Dan sebuah fedora nyaris menutupi sebagian wajahnya.

“Tuanku, tidak semestinya Anda datang saat matahari akan muncul.” Jimin, sang pelayan setia disisinya berujar.

“Aku harus. Sebelum mereka datang untuk mengevakuasi kembali tempat ini.” Ia melangkah menuju pintu masuk. Setiap langkahnya terdengar ragu-ragu. Ia tak percaya, musibah yang menyakitkan ini terjadi. Sudah ratusan tahun Blanchard berjalan sebagai rumah berlindung, tapi sekarang hanya tersisa puing-puing reruntuhan. Sebagian pondasi memang masih berdiri kokoh, akan tetapi tidak dengan kondisi di dalamnya.

Tidak ada lagi tubuh-tubuh korban yang tergeletak di sana, karena petugas dan masyarakat sekitar telah bergotong royong mengevakuasinya. Sebagai seseorang yang bertanggung jawab atas rumah berlindung itu, sekaligus satu-satunya generasi keempat yang tersisa dari garis keturunan Blanchard, Seokjin memastikan tidak ada lagi seseorang yang terjebak di dalam gedung. Meskipun ini sudah yang kelima kalinya ia datang ke lokasi kejadian.

Bau hangus masih menguar di sekeliling tempat itu. Dan Seokjin berhenti sejenak ketika langkahnya berada di ruang pertemuan. Pandangannya menyapu sekelilingnya. Jimin di belakang, mengikuti arah pandang tuannya. “Tuan, tidak ada lagi yang tersisa di sini. Sebaiknya, mari bergegas kita tinggalkan tempat ini, karena aku rasa matahari akan terbit sebentar lagi.”

“Diamlah, Jimin!” Seokjin memutar tubuhnya. “Kenapa kau terus berbicara?! Daripada mengekor di belakangku dan mengatakan hal yang tak ingin kudengar, akan lebih baik kau pergi berpencar. Datangi Yoongi, dan lihat apa yang sudah ia temukan di halaman belakang!”

Jimin masih bergeming di tempat ia berdiri. “Maafkan aku, Tuan. Aku hanya merasa khawatir.”

“Jimin, dengarkan aku. Meskipun tubuhku rentan dengan sinar matahari, aku masih bisa menahannya untuk sementara waktu. Daripada mengkhawatirkanku, sebaiknya kau carilah sesuatu yang bisa ditemukan. Aku hanya merasa gelisah, oleh sebab itu aku datang kemari.”

“Maafkan aku, Tuan. Aku akan tetap di sisimu, dan aku akan diam.”

Seokjin menghela, dua sorot ambernya menatap Jimin. Jimin adalah pelayan setianya yang terbilang cukup keras kepala. Ia terlalu protektif atas dirinya.

Mereka kembali melangkah lebih dalam, melewati bangsal menuju tangga besar yang meliuk. Seokjin melewati beberapa anak tangga dengan kecepatan angin. Sepersekian detik ia sampai di ujung tangga. Anak-anak tangga itu sudah terlalu rapuh untuk dipijak. Sementara Jimin, ia memilih merayap di dinding untuk sampai ke lantai dua. Ketika ia berbalik, ia nyaris menabrak Seokjin yang berada di belakangnya.

Drops of Blood [KookJin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang