Bab 3 - Run

171 6 1
                                    

Panggilan telepon terdengar, seolah menjadi penyelamat bagi Adele, karena pukulan Asher berhenti dan beralih sibuk menjawab panggilan telepon yang tampaknya penting.

Lalu Asher menutup panggilan, meletakkan ponselnya di nakas lagi. Dia mengambil pakaian yang sudah disiapkan di sofa. Memakainya acuh tak acuh di depan Adele yang masih terseguk-seguk menangis.

"Kenapa kau menjebakku?" tanya Adele masih dengan tubuh tengkurap di ranjang. Dia sedikit melirik ke balik tubuhnya dan terkejut seketika melihat Asher telanjang tanpa handuk.

Adele langsung menunduk seolah berpura-pura tidak melihatnya sedang memakai pakaian di sana.

"Kenapa kau bertanya hal yang sudah jelas? Sudah seharunya milikku berada di tanganku kan?" sahut Asher, suara resleting celana terdengar di kamar hening itu. Asher kini sudah siap dengan penampilan maskulinnya yang serba hitam, non formal.

"Baik-baik di kamar, sayang." Asher duduk di tepi ranjang lagi. Dia mengusap rambut Adele dengan lembut. Rantai di kedua tangan Adele pun di lepaskan, tapi tidak dengan di kakinya.

"Pelayan akan mengantarkan makanan untukmu kemudian beristirahat lah sampai aku kembali," ucapnya sebelum mengecup kepala Adele dan pergi keluar kamar.

Adele merasa setiap menitnya adalah kesempatan. Perginya Asher entah kemana membuat naluri Adele tergerak. Dia mencoba melepaskan diri dari belenggu yang tersisa di kakinya.

Tiba-tiba teringat dengan jepit rambut yang dikenakannya. Adele melepaskan jepit rambut itu dan menatap dengan penuh harap. "Semoga kau berguna," gumam Adele.

Dengan tangan yang gemetar namun terampil, dia memasukkan jepitan rambut itu ke dalam kunci rantai di pergelangan kakinya. Setelah beberapa kali mencoba, terdengar suara klik yang menandakan kunci telah terbuka. Dia menahan napas, hampir tidak percaya bahwa dia berhasil.

Pelan-pelan, Adele menggeser rantai dari kakinya dan bangkit berdiri. Dengan hati-hati, dia melangkah keluar dari kamar, memastikan tidak ada suara yang bisa menarik perhatian.

Dia bergerak cepat menuju ujung koridor, namun betapa kagetnya, ketika mengetahui di lantai bawah terdapat banyak orang berpakaian hitam. Mereka berbaris dengan di depannya adalah Asher memimpin. Tampaknya mereka sedang diberikan arahan oleh Asher.

Tidak ada jalan untuk turun ke bawah, Adele mencari jalan tikus. Dia berlari hingga menemukan pintu kecil yang mengarah ke tangga menuju loteng.

Adele membuka pintu loteng dan menaiki tangga dengan cepat namun hati-hati. Ketika sampai di atas, dia merayap menuju kolom udara di dalam langit-langit rumah.

Dengan susah payah, Adele memasuki kolom udara yang sempit. Dia merangkak pelan-pelan, menahan napas setiap kali mendengar suara dari bawah. Setelah beberapa menit yang terasa seperti seumur hidup, dia menemukan penutup di atas kamar mandi utama rumah.

Adele membuka penutup itu dengan hati-hati dan melihat ke bawah. Kamar mandi kosong, ini adalah kesempatan terbaiknya. Dia menurunkan tubuhnya dengan hati-hati, menggunakan kekuatan tangannya untuk menahan diri agar tidak jatuh dengan keras. Ketika kakinya menyentuh lantai kamar mandi, dia menghela napas lega, merasa hampir bebas.

Namun, saat dia berbalik, jantungnya hampir berhenti. Asher berdiri di sana, bersandar di dinding dengan tangan terlipat, tatapannya dingin dan penuh kemarahan. "Ke mana kau pikir akan pergi, sweetie?" suaranya menggetarkan ruangan.

Adele merasakan darahnya membeku. Semua rencana pelariannya terasa sia-sia di hadapan Asher yang menunggu di sana. "Kak Asher..." bisiknya, suaranya bergetar.

Asher melangkah maju, wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam. "Aku sudah memberitahumu, Adele. Kau tidak bisa melarikan diri dariku," katanya dengan nada yang tenang namun mengancam. "Sekarang, kau akan belajar untuk tidak pernah mencoba melawan lagi."

Adele mundur, punggungnya menabrak dinding kamar mandi. Dia merasa putus asa, tetapi di dalam hatinya, masih ada sisa keberanian yang tidak akan pernah pudar. Meskipun Asher berdiri di hadapannya, dia tidak akan menyerah begitu saja.

"Tolong, biarkan aku pergi," pintanya, meskipun dia tahu jawabannya.

Asher hanya menyeringai, sebuah senyuman yang penuh dengan keangkuhan dan kemenangan. "Kau milikku, my sweetie. Selamanya."

Asher melangkah maju, setiap langkahnya membuat Adele semakin terpojok. Dengan gerakan cepat dan penuh kekuatan, Asher menangkap pergelangan tangan Adele, menariknya dengan kasar. Adele berusaha melawan, tetapi kekuatan Asher jauh lebih besar daripada yang bisa dihadapinya.

"Jangan buat ini lebih sulit, Adele," desis Asher dengan suara penuh amarah yang terkendali. Dia menarik Adele menuju pintu kamar mandi, tetapi saat Adele berusaha memutar kenop pintu, dia menyadari bahwa pintu itu sudah terkunci. Rasa putus asa semakin menghantui dirinya.

"Tidak ada jalan keluar," kata Asher dengan nada dingin. Dia menarik Adele kembali ke tengah kamar mandi, memeluk perutnya dari belakang dengan cengkeraman yang kuat. Adele merasakan tubuhnya ditekan erat ke tubuh Asher, dan sebelum dia bisa bereaksi lebih lanjut, Asher menyalakan shower di atas mereka.

Air dingin mengguyur tubuh mereka, membuat pakaian Adele basah kuyup dan menambah rasa tidak nyaman. Asher tetap memeluk perut Adele dari belakang, membuatnya tidak bisa bergerak. "Kau pikir bisa melarikan diri dariku?" tanya Asher dengan nada mengejek, bibirnya dekat dengan telinga Adele.

Adele merasa takut, tetapi juga marah. Dia meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Asher, tetapi sia-sia. "Asher, lepaskan aku!" teriaknya, meskipun air terus mengalir di sekitar mereka, membasahi seluruh tubuhnya.

Asher mempererat pelukannya, menekan tubuh Adele lebih keras. "Kau harus belajar bahwa tidak ada tempat untukmu selain di sini, denganku," bisiknya, suaranya penuh dengan dominasi yang mengintimidasi.

Adele berusaha menarik napas di bawah guyuran air, berusaha tetap tenang meskipun hatinya berdebar kencang. "Kau tidak bisa memaksaku untuk tinggal, Asher," ujarnya dengan suara gemetar. "Aku akan menemukan cara untuk bebas."

Asher tertawa kecil, suara tawanya terdengar menggema di kamar mandi. "Kau keras kepala, Adele. Itu yang selalu membuatmu menarik bagiku. Tapi kau harus mengerti bahwa aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi."

Dengan satu tangan masih memeluk perut Adele, Asher menggunakan tangan yang lain untuk mengangkat dagu Adele, memaksanya menatap refleksi mereka di cermin yang mulai berembun. "Lihat dirimu, Adele. Lihat kita. Kau milikku, sepenuhnya," katanya dengan tatapan yang intens.

Adele melihat pantulan mereka di cermin, merasa semakin terjebak. Air mata bercampur dengan air shower di wajahnya, tetapi dia menolak untuk menunjukkan kelemahannya. "Aku tidak akan pernah menyerah padamu," bisiknya, suaranya penuh dengan tekad yang masih membara.

Asher tersenyum tipis, mengendurkan cengkeramannya sedikit, tetapi masih menahan Adele erat. "Kita lihat, Adele. Kita lihat berapa lama kau bisa bertahan dengan kebanggaanmu itu."

Dia mengendurkan cengkeramannya di perut Adele, tangannya yang bebas naik ke wajahnya. Dengan lembut namun penuh kendali, dia menangkup wajah Adele di bawah guyuran air. Air yang dingin mengalir di antara jari-jari mereka, menciptakan momen yang kontras antara ketegangan dan keintiman yang tidak terduga.

Lalu menempelkan keningnya ke kening Adele, membuat jarak di antara mereka semakin dekat. Napasnya yang hangat terasa di wajah Adele, bercampur dengan udara dingin dari air shower. "Adele," bisiknya, suaranya bergetar dengan emosi yang dalam. "Aku sangat merindukanmu."

Adele menatap mata Asher yang penuh intensitas, merasakan campuran perasaan yang rumit. Asher melanjutkan dengan suara yang lebih rendah, hampir putus asa. "Rasa rinduku padamu hampir membuatku mati. Selama sepuluh tahun diusir dari rumah, aku tidak pernah berhenti memikirkanmu."

Adele terkejut mendengar pengakuan itu. Dia tahu Asher telah pergi, tetapi dia tidak pernah menyadari betapa dalam perasaannya. "Asher..." bisiknya, tidak tahu harus berkata apa.

Asher menutup matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Selama sepuluh tahun itu, aku selalu mengawasi dari kejauhan, memastikan kau baik-baik saja. Aku mengumpulkan segalanya, merencanakan setiap langkah, agar suatu hari bisa memilikimu dalam genggamanku."

Adele merasakan getaran dalam suara Asher, campuran antara obsesi dan cinta yang begitu mendalam. "Kau tidak perlu melakukan ini, Asher. Kita bisa menemukan jalan lain," ujarnya dengan nada memohon, meskipun dia tahu bahwa kata-katanya mungkin tidak akan mengubah apa pun.

Asher membuka matanya, menatap Adele dengan tatapan yang penuh keputusasaan dan keteguhan. "Tidak ada jalan lain bagiku, Adele. Kau adalah satu-satunya yang membuatku tetap hidup. Tanpa kau, aku tidak ada artinya."

Dia menempelkan bibirnya di dahi Adele, mencium dengan lembut di bawah guyuran air. "Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi. Kau adalah milikku, selamanya," ujarnya dengan geraman menakutkan.

Adele merasakan campuran ketakutan dan simpati yang mendalam. Asher yang begitu kuat dan penuh kendali ternyata juga rapuh dan terobsesi.

Di balik tindakan kejamnya, ada luka dan kerinduan yang mendalam. Meskipun dia masih bertekad untuk melarikan diri, Adele tidak bisa mengabaikan rasa sakit yang ada di balik mata Asher. Bagaimanapun, dia harus menemukan cara untuk menghentikan siklus ini, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk Asher.

"Remember, I'm your sister, Asher," ucap Adele.

"I don't give a shit. You are mine."

***

DALAM SANGKAR OBSESITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang