Gita :: Prolog

88 15 2
                                    

Seorang remaja dengan potongan rambut ala polisi wanita—yang memang cocok dengan postur tubuhnya—menoleh ke arahku sambil berujar, "Lo yakin nggak dicariin mama lo?"

Suaranya beradu dengan deru kendaraan di jalan Babakan Madang, Bogor. Angin malam menjelang Isya seolah-olah menenggelamkan volumenya. Beruntung dia ada inisiatif menoleh saat mengajakku bicara. Kalimatnya dapat kutangkap dengan jelas.

"Besok weekend. Peduli amat sama mama gue!" sahutku tidak kalah keras dengan volume Listi tadi.

"Ah, I see. Puasin dulu mainnya, ya?!"

Aku memajukan kepala supaya lebih dengan dengan telinga Listi yang tertutup helm. "Jelas dong! Cuma dua hari, tapi berasa dua abad kalau di rumah. Kayak lo nggak tahu aja," keluhku.

Bukan tanpa alasan aku berkata begitu. Pasalnya, Mama akan menyuruhku menjadi gadis rumahan, 80% belajar dan 20% membantu pekerjaan rumah. Okelah kalau masalah beberes rumah. Aku suka aktivitas fisik, jadi itu no problem. Namun, untuk belajar berjam-jam? Ini sama sekali bukan gayaku.

Oh! Sebenarnya ada satu kondisi sebagai pengecualian, yaitu duduk manis di depan laptop sambil mengetik ribuan kata hingga menjadi sebuah novel. Sayang, Mama selalu tidak setuju dengan kegiatanku yang satu itu.

Aku dan Listi terus mengobrol, termasuk membicarakan keindahan sunset yang tadi kami lihat di Gunung Pancar. Listi mengajakku hunting foto lagi ke tempat yang didominasi oleh pohon pinus itu saat cuaca bagus. Meskipun dia tahu betul jika aku pasti tidak akan mendapatkan izin Mama untuk ke sana—seperti hari ini.

Tadi kami pulang sekolah pukul 14.00 WIB. Karena aku sudah terlalu jenuh dan malas pulang cepat, akhirnya Listi berinisiatif mengajakku ke Gunung Pancar. Aku pernah ke sana sekali sebelum hari ini, jadi aku langsung setuju dengan usul Listi. Tentu saja aku hanya mengirim pesan via WhatsApp pada Mama jika akan pulang terlambat tanpa kasih tahu tujuan main kami.

Aku tiba di rumah pukul 20.25 WIB. Kulihat ada seorang perempuan berkuncir satu yang siap mengeluarkan jurus omelan seribu jamnya—maaf, aku jadi hiperbolis. Dia berdiri di anak tangga paling bawah sambil mengeluarkan tatapan bak laser pemotong.

"Dari mana saja kamu?"

Aku memutar bola mata. Dalam seminggu, bisa lebih dari setengah lusin aku mendapatkan pertanyaan serupa. "Habis main sama Listi, Ma," jawabku.

Mama berdecak. Kuyakin dia kesal dengan nada bicaraku yang tetap santai meski sedang mendapat serangan. Kemudian, dia menyodorkan selembar kertas ujian yang langsung kukenali. "Tadi Mama lihat kertas ulangan Fisikamu. Kenapa nilaimu bisa turun begini sih?"

Aku segera merebut kertas itu dari tangan Mama, lalu mendongak ke lantai dua. "Abaaang!" teriakku tanpa peduli untuk menjawab dulu pertanyaan Mama.

"Gita!"

Seruan Mama terpaksa menghentikan langkahku. Aku yang baru saja melewati Mama pun menoleh dan berujar, "Cuma turun 0,5, Ma. Lagian bab ini lebih susah dibandingkan bab sebelumnya."

"Itu karena kamu main terus kerjaannya," seloroh Mama yang jelas sekali tidak mau kalah.

Rasa capai, lapar, dan kesal berkolaborasi menguasaiku. Alhasil, aku mengabaikan Mama dan berjalan cepat ke kamar Bang Enzi yang ada di sebelah kamarku.

"Abang!" teriakku lagi sambil mendorong pintu putih kamarnya. Namun, ternyata kosong. Ah, tidak salah lagi! Dia pasti ada di ruangan favoritnya.

Aku berjalan ke ruangan yang sedikit lebih luas dari kamar kami. Letaknya ada di seberang. Begitu aku membuka pintu sambil berteriak memanggil namanya, gotcha, dia memang ada!

"Gita! Lo apa-apaan sih nerobos masuk gitu aja?! Kan udah gue bilang ketuk pintu dulu. Gue lagi take." Bang Enzi langsung bangkit dari kursi empuknya dan menghampiriku.

Aku pun berjalan mendekat sembari menembakkan tatapan nyalang. "Abang yang apa-apaan? Pakai segala bocorin ujianku ke Mama," sewotku.

Bang Enzi mencolek dahiku dan langsung kutepis. "Makanya lo jangan berulah, bikin Mama ngomel ke gue!" tukasnya.

"Berulah apaan sih, Bang?"

"Ke mana aja lo dari siang? Mama pulang kerja langsung nyuruh gue nyariin lo, nelponin lo, sedangkan gue lagi sibuk nyusun skrip buat shooting. Yang ada gue ikut diomelih Mama. Puyeng gue gara-gara lo!" cerocos pemuda berusia 21 tahun di hadapanku ini.

Aku tolak pinggang dan memelotot ke Bang Enzi. "Kok gue yang disalahin?" Tentu saja aku tidak terima dituduh dengan begitu gampangnya.

"Ya iyalah! Jadi, gue kena marah ya lo juga harus kena!" timpal Bang Enzi. Cih! Terlihat sekali kalau dia tidak mau kalah.

Belum sempat aku membela diri, kedua tangan Bang Enzi mendorongku dengan paksa untuk keluar dari ruang studionya. "Keluar lo sana! Ganggu kerjaan gue aja lo," gerutunya.

Pintu ditutup rapat dan dikunci olehnya—aku mendengar suara ceklek. Akhirnya, aku memutuskan ke kamarku sendiri. Aku melemparkan tas ransel begitu saja ke kursi belajar, lalu menyambar handuk yang tersampir di besi jemuran tunggal dekat pintu kamar mandi. Mengguyur tubuh dengan air hangat dapat membuat tubuhku rileks setelah huru-hara yang terjadi barusan.

Tidak sampai 15 menit, aku sudah selesai mandi. Piyama polos oranye sudah melekat di tubuh. Aku menyampirkan kembali handuk di jemuran tadi sebelum merebahkan tubuh di kasur sambil bermain ponsel.

Tiba-tiba Mama datang ke kamar. Dia menghampiriku dan berkata, "Weekend ini dalami lagi materi yang salah di ujianmu kemarin. Mama udah chat Listi, minta dia nggak ngajakin kamu ke mana-mana."

Bahuku langsung melorot. Demen banget Mama menyiksa anak gadisnya di waktu emas seperti besok. Teman-temanku pada haha hihi di luar sana sementara aku harus berkutat dengan buku pelajaran lagi.

"Ma, aku juga pengin liburan kayak teman-teman lain." Aku mengeluarkan unek-unek.

"Nggak berfaedah. Udah benar kamu belajar di rumah. Jangan kelayapan, jangan coba-coba nulis novel lagi atau laptopnya Mama sita!"

Raut wajahku mengeras. "Tapi Mama ngizinin Abang ngonten," keluhku. Bang Enzi suka sekali show up di kamera dan sekarang dia menjadi seorang YouTuber.

"Abangmu sudah telanjur, kamu jangan!"

Kupikir, Mama baru saja berargumen dengan mudahnya.

"Kamu Mama lesin aja, ya?"

Waah, Mama makin parah!

"Nggak mau!" Aku menolak dengan keras. "Mama nyuruh aku belajar tiap hari sampai begadang terus itu cukup banget-banget bikin aku ubanan dini, Ma. Sekarang aku OTW tujuh belas tahun. Aku mau menikmati masa remaja yang nggak melulu sekolah dan sekolah. Apa salahnya sih?" Lama-lama nada bicaraku naik seiring frekuensi gerakan naik-turun dada yang makin cepat.

"Ya kalau nggak kamu persiapkan dari sekarang, masa depanmu nggak akan cerah. Lihat aja tuh abangmu yang tiap hari ngoceh-ngoceh nggak jelas di depan kamera! Bayarannya menjanjikan, tapi nggak bisa jadi pekerjaan yang diandalkan. Nggak jelas masa depannya. Mama nggak mau ya kamu kayak gitu! Mama pengin yang terbaik buat masa depanmu," tutur Mama dengan nada ketus.

Ya Tuhan, sebenarnya ini salah siapa sih sampai aku harus mengorbankan masa remajaku? Aku nggak rela!


________***_______

Sebagai usaha menghindari event Teror di komunitas menulis yang kuikuti, aku harus ikut event KarMa ke-8 nih. Mohon dukungan dan doanya supaya cerita ini tamat maksimal di tanggal 20 Agustus.  BTW, gimana kesan pertama di bab perdana ini?


20 Juli 2024

Thanks for reading,

Fiieureka


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 20 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

My Life Not YoursWhere stories live. Discover now