Biasanya, selepas pukul sepuluh malam, lampu kamar sudah gelap. Ruka sudah mulai bersiap memejamkan mata dan terlelap dengan nyaman. Dia tidak suka bergadang. Dia lebih memilih untuk bangun pukul dua pagi alih-alih tidur tengah malam. Namun, kali ini sudah pukul sepuluh lewat lima belas menit dan ruangan itu masih terang benderang.
Terdengar suara hela dan debas bergantian seolah mengisi kekosongan yang melanda. Cowok bermata sipit itu menatap ke luar jendela yang dibiarkan tersingkap gordennya.
Meski langit kota memang jarang memamerkan bintang, tetapi malam ini langit tersebut menyita perhatiannya.
Luas... damai... entah perasaan asing apa yang tiba-tiba menyusup dalam sanubarinya. Bahkan pemuda itu pun tak mengerti.
"Kak, kamu belum tidur?" Suara ketukan terdengar. Ruka bergegas membuka pintu.
Sesosok pria paruh baya bertubuh tinggi tegap masuk membawa nampan. Asap tipis mengepul dari segelas susu cokelat dan segelas kopi hitam.
"Ayah lihat lampu kamar kamu masih nyala. Ayah kira kamu lagi bikin tugas penting sampai harus bergadang."
Si sipit menggeleng. "Kakak belum bisa tidur aja, Yah."
Zeniwar tak berbicara ketika meletakkan nampan di nakas. Kemudian bergerak menuju sofa kamar yang menghadap jendela, duduk di sana. Ruka menyusul duduk di sebelah sang ayah.
"Ada yang lagi dipikirin? Mau cerita?"
Ruka tak langsung menjawab.
Zeniwar pun menoleh dan tersenyum melihat Ruka tampak hendak bicara, tetapi masih menyimpan keraguan. Sebab, bisa dibilang Ruka lebih banyak bercerita kepada sang ibu daripada ayahnya, kadang-kadang saja. Pun Ruka lebih banyak merasa malu jika mengadukan kehidupannya kepada Zeniwar.
"Ngomong aja. Ayah bakal dengerin kok."
"Kakak udah ketemu sama orangnya."
"Ritha?" Tebak sang ayah, terdengar senang. "Gimana, gimana? Kakak ngerasa cocok? Udah ngobrolin apa aj---eh, enggak. Ada pertanyaan yang lebih penting." Zeniwar berdeham. "Menurut Kakak, dia cantik kan?"
Ruka mengerjap. "Itu... pertanyaan penting, Yah?"
"Iyalah. Itu penting. Ketertarikan fisik itu basic of all basic."
Sang ayah seperti siap untuk memberi ceramah panjang. "Kak, coba pikirkan. Kalau Kakak nggak menganggap dia cantik, perjodohan ini pasti bubar-jalan. Kan, dari mata turun ke hati. Gimana Kakak bisa jatuh hati ke dia, kalau dari mata aja kamu nggak tertarik? Memang kamu pikir, dulu Ayahmu ini pertama kali deketin Ibun karena apa?"
Ruka menjawab. "Karena Ibun cantik."
"Iya. Betul. Tahu sendiri kan Ibun cantiknya kayak apa. Ayah aja sampai sekarang masih heran kenapa ada bidadari yang hidup di bumi dan mau nikah sama Ayah." Zeniwar terkikik sendiri dengan perkataannya. Dan Ruka bisa menebak jika sang ayah pasti sedang mengimajinasikan sang ibu dalam pikirannya.
"Jadi, gimana Ritha? Dia cantik?" Kembali pada topik.
"Cantik."
“Kakak bukan bilang dia cantik cuma karena Ayah berharap Kakak jawab gitu, kan?”
Ruka terdiam. “Kakak nggak paham Ayah ngomong apa. Ritha cantik. Nggak ada lagi yang perlu dijelaskan dari fakta itu.”
Zeniwar bergumam. "Kakak suka?"
"Apanya?"
"Kecantikannya?"
"Suka."
Dan Ruka seketika sedikit tertegun dengan jawaban spontannya. Dia menelan ludah dan meyakinkan diri lagi, terlanjur keceplosan juga. Lagian, makhluk macam apa yang bisa mengelak keindahan ciptaan Tuhan yang satu ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
ToGetHer | RuPha [ABANDONED]
FanfictionKawai Aruka Damanik dipulangkan dari Jepang demi menunaikan titah agung keturunan para Damanik. Anak baru gede itu tiba-tiba diberi tugas perjodohan oleh sang ayah akibat abangnya sendiri yang memberontak tidak mau dijodohkan dan berakhir kabur dari...