1.02: Perkenalan yang Sebenarnya

20 3 0
                                    

Kegiatan Ade untuk hari ini kembali diawali dengan kegiatan berolahraga, kali ini bukan lari namun hanya sekadar berjalan santai mengitari desa karena Ade berniat untuk membeli sarapan di salah satu rumah makan yang kemarin ia jumpai. Saat Ade disibukkan dengan kegiatan pemanasan sederhananya, dirinya kembali dikagetkan dengan eksistensi Gavi yang tengah berdiri di balik tembok setinggi dada yang memisahkan rumahnya dengan rumah Gavi. "Mas Ade mau lari pagi lagi?" ujar Gavi dengan suaranya yang terputus-putus karena berusaha berjinjit agar dapat melihat Ade dengan jelas.

Ade pun menggaruk tengkuknya yang tak gatal sebelum menganggukkan kepalanya tipis dan berjalan mendekati Gavi. "Sebenernya mau jalan aja sih Mas, sekalian sarapan," jelas Ade kikuk. Tepat setelah Ade menutup mulutnya, Gavi langsung berseru, "Aku mau ikut!" Tak ada yang bisa Ade lakukan selain mengangguk karena Gavi yang sudah lebih dahulu menghampirinya dan berdiri di depan gerbang rumahnya.

"Mas Ade asli sini?" tanya Gavi yang sudah berjalan beriringan dengan Ade. Sadar Gavi cukup kesulitan mengimbangi langkah besarnya, Ade pun berinisiatif untuk berjalan lebih santai. Ade kemudian menggeleng, "Saya baru aja resmi pindah dua hari lalu," jelasnya seraya memperhatikan jalanan sepi yang berada di tengah perkebunan dan persawahan menuju bagian desa yang lebih ramai. "Berarti kita barengan dong, Mas," sahut Gavi dengan riang. "Kok bisa ya kita baru papasan kemarin?" imbuhnya yang kini menatap Ade.

Ade melirik Gavi sekilas dan kembali menatap lurus ke depan. "Waktu sampe saya sibuk di dalem rumah Mas." Mendengar penjelasan yang Ade tuturkan, Gavi pun mengangguk-ngangguk kecil. Percakapan dua pria itu hanya diisi oleh pertanyaan yang dilontarkan Gavi dan jawaban Ade tanpa basa-basi karena Ade yang belum merasa cukup nyaman untuk berbincang dengan Gavi. 

"Eh?!" pekik Gavi tiba-tiba saat merasakan sebuah cengkeraman cukup kuat di pergelangan tangannya. Ade yang gelagapan langsung melepaskan telapak tangannya yang menahan Gavi. "Itu ada lubang, hati-hati, Mas," jelas Ade cepat-cepat setelahnya karena tak ingin membuat Gavi salah paham. Kali ini Gavi yang tampak kikuk. Peristiwa itu terjadi begitu cepat. Ade lebih dahulu melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Gavi yang masih mematung seraya memandangi pergelangan tangannya.

Sadar Ade sudah berada cukup jauh di depannya, Gavi pun menyusul Ade dengan tergesa-gesa. Kali ini Gavi merasa sangat bodoh. Gavi nyaris tersandung batu yang berukuran sedang di pinggir jalan kecil itu, membuat Ade kembali meraih pergelangan tangan Gavi agar sosok lelaki itu tak jatuh tersungkur di tanah. Namun, karena melihat sebuah motor mendekat, entah mengapa Ade langsung melepaskan Gavi begitu saja—membiarkan Gavi hingga terjatuh cukup keras. 

Hal itu tentu saja membuat Gavi langsung melayangkan tatapan tak percayanya kepada Ade yang berdiri dengan wajahnya yang sama sekali tak dihiasi penyesalan. "Maaf," ujar Ade singkat setelah menyapa salah satu warga desa yang sudah melewati mereka. Ade pun mengulurkan tangannya, menawarkan bantuan untuk Gavi. Dengan jengkel Gavi menerima uluran tangan Ade. "Luka enggak?" tanya Ade yang kemudian memeriksa telapak tangan Gavi yang memerah.

Dengan cepat Gavi menarik telapak tangannya dan menyekanya di kaos yang sedang ia kenakan. "Gapapa, enggak luka," ujar Gavi cepat dan berjalan lebih dahulu. Kali ini, Gavi yang meninggalkan Ade membeku sejenak. "Anjir, ngapain sih gue?" gerutu Ade di dalam hatinya sebelum menyusul Gavi.

Di perjalanan menuju rumah makan yang Ade maksud, tak ada percakapan yang kembali tercipta. Tentu saja karena kejadian memalukan di pinggir jalan tadi. Ade dan Gavi yang sudah canggung rasanya menjadi semakin canggung lagi. Meskipun mereka duduk di meja yang sama, mereka seolah-olah tak pernah mengenal satu sama lain—meskipun memang begitu adanya. Seperti kemarin, hanya terdengar suara denting sendok yang beberapa kali bersentuhan dengan piring mereka yang berisi nasi dan lauk pauk masakan rumahan.

Dapat Ade rasakan betapa besarnya usaha Gavi untuk menghindari dirinya, agar tak bertatapan langsung dengannya. Udara sejuk pagi itu entah mengapa menjadi terasa tak begitu segar karena canggung yang menyelimuti mereka berdua. Saat pandangan Ade dan Gavi tak sengaja bertemu, maka salah satu dari mereka akan tersenyum kikuk dan yang lainnya akan mengangguk kecil. 

Gavi mendadak merasa menyesal karena mengganggu kegiatan pagi Ade tanpa izin lelaki itu. Sedangkan Ade, merasa bersalah karena tiba-tiba melepaskan pergelangan tangan Gavi saat melihat penduduk desa mendekat. Padahal Ade tahu betul tak ada yang terjadi di antara mereka dan membantu Gavi bukanlah hal yang memalukan. Entah mengapa semua hal itu terus-menerus berputar di otaknya yang jarang pikirkan hal seperti ini. Apalagi setiap melihat bagaimana senyum kecut yang Gavi lukiskan.

Usai dengan sarapannya, Ade tak semata-mata pergi meninggalkan Gavi yang belum selesai menyantap makanannya. Meskipun Ade tak mengucapkan satu patah kata pun, namun Gavi sadar Ade tengah menunggunya. Karena hal itu, Gavi mempercepat pergerakannya dan mengunyah nasinya dengan tergesa. Di mana hal yang baru saja Gavi lakukan baru saja adalah hal lain yang akan Gavi sesali. Gavi tersedak. Lagi-lagi Ade membantunya. Ade menuangkan air putih ke dalam gelasnya. 

Tampak raut wajah khawatir Ade di hadapannya, kali ini membuat Gavi tersedak air putih yang baru saja ia tenggak. "Mas?!" panggil Ade yang terkesiap karena Gavi yang kembali tersedak. Merasa Ade adalah sebuah ancaman, maka Gavi memilih untuk membalikkan badannya sebelum meminum air putih di gelasnya hingga tandas. Gavi kembali duduk menghadap Ade saat merasa lebih tenang.

"Gapapa?" tanya Ade, masih tampak cukup khawatir. Gavi pun beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati ibu penjaga warung, membayar pesanannya dan milik Ade tanpa izin lelaki itu. Gavi memutuskan untuk menunggu Ade di depan rumah makan kecil itu sembari melihat wajah asing orang-orang desa yang berlalu-lalang. 

"Mas bayarin makanan saya?" ujar Ade tiba-tiba, cukup untuk membuat Gavi yang fokus perhatikan hiruk-pikuk di sekitarnya terlonjak kaget. "Iya, sebagai ucapan terima kasih karena udah bantuin aku." Setelah menjawab pertanyaan Ade, Gavi langsung berjalan untuk kembali ke kediamannya. 

Namun, Gavi mendadak berhenti di pinggir jalan dan menatap Ade yang masih berdiri di depan rumah makan. "Aku enggak tau arah pulangnya," ujar Gavi yang merasa bodoh karena tak bisa mengingat jalan pulang, mungkin karena perjalanannya tadi dipenuhi dengan rasa malu dan rasa canggung yang mendominasi. Karena jika diserang rasa malu atau rasa canggung, Gavi jelas kalah telak. Nah, ini malu ditambah canggung, Gavi rasanya baru saja mati berdiri!

Tanpa diduga, ucapan Gavi yang mengaku dirinya tak tahu arah pulang itu membuat rasa canggung mereka sedikit menguap. Ade terkekeh pelan sembari menunjuk ke salah satu arah. "Lewat sini, Mas," ujarnya sembari tersenyum dan menahan diri agar tak kembali tertawa lagi agar Gavi tak merasa malu.

Berbeda dengan perjalanan tadi, kali ini sepanjang jalan menuju rumah diisi dengan obrolan ringan seputar mereka berdua. Ade juga lebih terbuka meskipun mereka baru saja berkenalan. Entah mengapa Ade merasa dirinya harus memberi kesempatan untuk menjalin hubungan antar tetangga yang baik dengan Gavi mengingat Gavi adalah satu-satunya penghuni rumah yang berada tepat di sebelahnya di antara hamparan sawah dan kebun yang luas itu. 

Jujur saja, Ade bahkan sempat skeptis rumah kosong itu akan terisi mengingat tempatnya yang rawan atau orang awam katakan horor. Makanya, Ade sempat tertegun saat melihat Gavi tiba-tiba menghampirinya dengan wajah penuh busa. Untung saja Ade melihat kedua kaki Gavi masih menginjak tanah, Gavi bukanlah makhluk halus yang sempat menjadi topik candaan pemilik rumahnya yang asli.

Beberapa kali mereka juga membahas tanaman dan pohon yang mereka temui karena Gavi yang tiba-tiba menanyakannya kepada Ade seolah Ade alah seorang expert. Untung saja Ade dapat menjawab rasa penasaran sosok lelaki itu. "Mas Ade kenapa milih kesini di antara sekian banyak tempat di dunia ini?" tanya Gavi yang kembali berjalan perlahan setelah menyentuh tumbuhan putri malu yang berada di pinggir jalan. Ade pun turut melanjutkan perjalanannya juga. "Jujur kurang tau, tapi waktu liat tempat ini langsung cocok aja. Kalo Mas Gavi gimana?"

Gavi menoleh dan menatap Ade sekejap sebelum kembali menatap lurus ke depan. Gavi pun menjawab, "Soalnya tempat ini yang paling gampang ngurusnya, aku butuh cepet soalnya Mas." Tahu Gavi tak mau menjelaskan alasannya lebih lanjut, Ade pun hanya mengangguk paham dan tak melanjutkan pertanyaannya. Toh, bukan urusannya.

Tak terasa, mereka berdua sudah kembali di rumah masing-masing. Sebelum Gavi menutup pagarnya, pria itu menyerukan nama Ade. Sosok yang dipanggil pun langsung berhenti dan menatap Gavi. "Makasih ya Mas Ade," ujar Gavi sebelum mengulaskan senyum tulusnya dan masuk ke dalam rumah. Entah mengapa, senyuman itu membuat Ade sedikit termenung. Rasa aneh kemudian mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. "Ah, mungkin karena kebawa suasana sedihnya Gavi tadi."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Short EscapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang