Takdir berkata, dua raga, tetapi satu jiwa.
Itulah semboyan yang diserukan dari mulut ke mulut, tak lekang waktu. Setelah perang maha dahsyat yang terjadi beratus-ratus tahun lalu, terpecahlah benua bernama Mahadwipa menjadi dua kerajaan, Arcadwipa Utara dan Arcadwipa Selatan. Keduanya dipisahkan oleh Sungai Mahanadi dan Tujuh Gunung Agung. Di tempat tersebutlah, Sang Lunar—sosok Dewi Bulan pelindung Mahadwipa—turun untuk melihat kondisi bumi yang porak-poranda akibat ulah manusia. Pun, dengan adanya kejadian itu, terdapat tradisi yang turun-temurun dilakukan di utara dan selatan. Demi bakti kepada leluhur dan Sang Lunar, digelar sebuah pesta rakyat setiap dua puluh lima tahun sekali. Pada saat itulah Bulan Merah Jambu tiba.
Tibalah waktu yang dinanti, kedua kerajaan harus mengirimkan keturunan mereka untuk melakukan ritual dansa bersama pada saat pesta rakyat. Arcadwipa Utara diberkahi dengan putra, sedangkan Arcadwipa Selatan dianugerahi putri. Mau tak mau, tradisi haruslah berjalan, agar Sang Lunar tak mengutuk kerajaan mereka dengan karma buruk. Kabar tersiar cepat, bagaikan rumput kering tersulut api. Rakyat berbondong-bondong mempersiapkan pesta yang menyatukan utara dan selatan. Tak pandang bulu, mereka bersatu padu, meskipun raja mereka memiliki hubungan yang tak kunjung membaik.
Sayang seribu sayang, menjelang pesta rakyat, Putri Tarasari jatuh sakit. Tiga hari berlalu, gadis dengan rambut berwarna merah jambu itu terbaring tak berdaya di ranjangnya. Dahulu, terjadi huru-hara terkait siapakah penerus Kerajaan Arcadwipa Selatan karena Raja Jayantaka dan Permaisuri Parahita tidak memiliki keturunan. Kekosongan takhta merupakan bencana besar bagi sebuah kerajaan. Dengan hadirnya Putri Tarasari, legalah sudah gelisah yang menjangkiti hati rakyat dan petinggi kerajaan. Terlebih lagi, kelahiran sang putri bertepatan dengan Bulan Merah Jambu.
Di Kedaton Selatan, dayang-dayang hulu-hilir dengan membawa baki yang berisi obat-obatan. Begitupun dengan tabib terbaik di kerajaan itu dipanggil secara khusus oleh sang raja untuk menyembuhkan putrinya. Namun, tak satu pun yang berhasil. Putri Tarasari tetap setia memejamkan matanya. Di samping sang putri, Permaisuri Parahita tak beranjak dari posisinya, bahkan ia menolak makan dan minum. Sungguh, hati ibu mana yang tidak hancur melihat putri semata wayangnya enggan menatap dunia.
"Kala terus berjalan, kita tidak bisa berdiam diri seperti ini, Dinda Permaisuri," ucap Raja Jayantaka.
Permaisuri Parahita menoleh, rahangnya mengeras dengan tatapan tajam yang ditujukan untuk suaminya. "Bagaimana mungkin kau berpikir tentang pesta itu di saat putri kita dalam keadaan tidak baik-baik saja!" sentaknya keras.
Raja Jayantaka yang gagah, meski sudah berusia senja itu mengambil langkah maju, mengikis jarak antara dirinya dan sang istri. "Apakah kau melupakan tradisi kita? Sebuah bencana besar apabila Tarasari tidak melakukan ritual dansa," jelasnya dengan guratan tipis yang menyatakan kekhawatiran. "Aku pun seorang ayah, tetapi jati diriku tetaplah raja bagi Arcadwipa Selatan. Apakah kau lupa sesuatu yang terjadi kepada saudarimu?" Alisnya menukik tajam, menanti jawaban permaisurinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PENDAR LUNAR
Short Story-Short Story & Fantasy- Mahadwipa terbagi menjadi dua kerajaan, Arcadwipa Utara dan Arcadwipa Selatan. Selama beratus-ratus tahun, raja di kedua kerajaan itu tak pernah akur. Satu-satunya momen yang bisa menyatukan mereka adalah ketika Bulan Merah J...