Suara jeruji berderit. Bilah cahaya matahari senja serta-merta menyentak, dahi lelaki itu berkerut. Mata-nya terpejam dalam.
Dalam pejam-nya, pelan-pelan ia menghirup udara. Ah, ia nyaris lupa seperti apa rasanya udara segar. Udara yang benar-benar bisa ia nikmati sendiri, bukan udara tipis yang harus dibagi-bagi.
Saat membuka mata, ia bisa melihat langit jingga membentang tanpa terhalang pagar tinggi berduri atau barisan sel dari besi. Benar-benar luas tanpa batas.
"Selamat Danar, sekarang kau bebas," ucap seorang berseragam cokelat. "Setelah ini, gunakanlah waktumu untuk sesuatu yang baik."
Danar, lelaki berusia empat puluh lima tahun dengan ekspresi datar itu mengangguk tipis. Jambangnya yang tumbuh subur bak belukar mengilat oleh sinar matahari.
Sebelum melangkah, orang berseragam itu menyentuh bahunya. "Oh, iya, tadi kau menjatuhkan sesuatu."
Danar menoleh.
Lelaki berseragam itu merogoh sesuatu di saku celananya, lantas menyodorkannya ke depan tubuh Danar.
"Foto ini pasti sangat berharga bagimu," kata lelaki itu dengan senyum di ujung bibir. "Aku ingat kau pernah babak belur di dalam sana hanya karena mempertahankan foto ini."
Danar menyumpahi dirinya dan tergesa menyambut foto kecil itu.
"Terimakasih," bisik Danar. Setelah samar mengangguk, lelaki itu menggendong ranselnya segera berbalik, berjalan menuju gerbang depan.
Danar menghentikan langkahnya begitu tiba di depan gerbang. Ada riak tipis di muka dinginnya saat ia menatap sebentar foto tadi. Foto seorang anak perempuan dengan rambut dikepang dua.
Setelah memasukannya dengan hati-hati di saku kemeja, Danar kembali melangkah keluar.
Tidak ada seorangpun yang menyambutnya.
Tentu saja, terhitung sepuluh tahun lebih mendekam di penjara, Danar telah kehilangan semuanya tanpa tersisa. Pingkan, istrinya pernah menjenguknya sekali, jauh-jauh dari luar kota hanya untuk memaksanya menandatangani surat cerai. Itu adalah kunjungan pertama sekaligus terakhir.
Kini, Danar memilih terus mengayunkan kakinya menyusuri trotoir tanpa tahu hendak ke mana. Semua arah jalan terlihat sama saja, hanya menuntunnya menuju kegelapan.
Nyatanya Danar hanya menikmati satu jam pertama setelah bebas. Setelahnya, ia justru merasa hampa. Merasa sendirian. Merasa putus asa.
Melihat orang-orang berjalan beriringan. Menaiki gerbong kereta dan memenuhi halte-halte bus. Mereka memiliki kegiatan, keluarga dan tentunya harapan.
Langit semakin gelap dan Danar mulai merasa lelah dan menyerah. Terbesit dalam benaknya bayangan kehidupan di penjara. Setidaknya di sana ia tak kelaparan dan tak merasa sendirian. Ah, Danar tiba-tiba menyesali keputusan remisi itu. Tanpa itu, Danar bisa bertahan hingga enam bulan ke depan di sana.
Lelaki dengan kemeja pendek lusuh itu kini duduk di pinggir jembatan. Ia sudah berjalan ratusan meter. Sekarang tenaganya benar-benar habis. Napasnya tersengal. Sesak.
Rasanya kini kematian lebih menjanjikan. Danar tahu rasa putus asa akan membunuhnya lebih dulu ketimbang penyakit yang dideritanya. Ia tak yakin bisa bertahan lebih dari semalam.
Untuk apalagi aku hidup?
Untuk siapa lagi aku bertahan?
Bukankah, aku tak lagi punya apa-apa. Tak lagi punya siapa-siapa.
Bahkan jika aku mati, tidak akan ada yang peduli. Mayatku mungkin akan menjadi santapan anjing jalanan atau hanyut dan membusuk dalam sungai.
Danar telah sampai di kesimpulan terakhir.
Kini, di antara kerlip lampu kota dari jauh, perlahan Danar menuntaskan sisa tenaganya untuk berdiri di atas pagar jembatan. Angin berkelebat menembus kulit. Di bawah sana, sungai besar yang gelap dan dingin terdengar bergolak. Hujan seminggu terakhir membuat air sungai meluap deras.
Lelaki itu menarik napasnya dalam-dalam. Dadanya berdegup keras. Danar menyerah. Isi kepalanya hampa. Ia sudah selesai.
Perlahan, lelaki itu menutup matanya seraya mulai menghitung mundur dalam hati.
Tiga ...
Tangan Danar mengepal kuat.
Dua ...
Kakinya mulai bergerak.
Sa ...
Splashhhh
Danar reflek mengerutkan dahinya sebab sebuah cahaya tiba-tiba menyala. Ketika membuka mata, Danar sontak terbelalak. Bola matanya tak berkedip menatap lurus jauh ke depan.
Cahaya-cahaya dari sebuah taman bermain malam berkilauan dari ujung sungai itu. Namun, hanya satu yang benar-benar menyita perhatian Danar.
Mendadak sudut mata Danar berembun. Ujung bibirnya melengkung tipis tanpa disadari.
Bianglala cahaya.
Seseorang pernah berkata; 'Konon, saat kita naik bianglala itu bersama orang yang kita sayang dan tiba di puncak tepat pada pukul 12 malam, sebuah keajaiban akan terjadi.'
Pemandangan itu berhasil membuat bahu Danar layu di beberapa menit berikutnya. Tubuhnya terhempas di trotoir.
Bagaimana mungkin taman bermain malam Funtastic masih ada?
Di penjara, Danar selalu mencari tahu tentang nasib taman bermain malam itu. Dari tamu teman-temannya kemudian Danar tahu jika semua cabang Funtastic di tiap kota nyaris gulung tikar. Danar lantas menduga, saat ia bebas nanti, tak akan ada lagi yang tersisa.
Sekarang, Danar hanya mampu bersimpuh menatap kilau cahaya warna-warni itu. Di depan sana adalah taman Funtastic terbesar. Lebih besar dari yang pernah ia lihat di manapun dan mungkin satu-satunya yang tersisa.
Danar tersenyum seolah tengah megintip kenangan masa lalu sehingga ingatan-ingatan berlesatan di depan matanya. Sayup-sayup terdengar alunan melodi dari jauh.
Masih sangat jelas bayangan wajah gadis kecil berkepang dua itu ketika tersenyum menunjuk tepat puncak bianglala cahaya yang jauh.
'Tahun baru nanti Ayah akan mengajakmu ke sana. Menaiki bianglala cahaya itu.'
'Benarkah, Ayah?' mata gadis kecil itu berkilau antusias.
Danar ingat saat itu ia mengangguk cepat.
Gadis kecil itu tiba-tiba memeluknya lalu mengacungkan jari kelingkingnya. 'pinky promise?'
'Pinky promise,' tukas Danar seraya menautkan kelingking-nya pada kelingking kecil itu.
***
Cerita ini akan memakai alur maju-mundur, mungkin akan sedikit bingung bagi yang baru pertama baca alur campuran. Tapi, asal kalian cermat, ga bakal bingung, kok.
Cerita ini dipersembahkan untuk semua ayah yang tak sempurna. Juga untuk anak-anak perempuan yang bangga dengan ayah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pinky Promise
General FictionPingkan punya sepuluh tahun lebih untuk membuat Luna membenci dan melupakan ayahnya. Danar punya sepuluh hari kurang untuk membuat Luna ingat bahwa ia selalu menyayanginya.