Bagian 39

207 32 5
                                    

“Apakah kamu anak mendiang Joowon?” bisik ayah Soobin sambil menatap wajah Taehyun lamat-lamat. Ia bertanya dengan suara yang pelan sekali, khawatir akan ada orang lain yang mendengar apa yang ia katakan.

“Bagaimana Anda tahu?” Taehyun sedikit terkejut ada orang yang mengenali identitas aslinya sebagai anak Joowon. Terlebih ini terjadi di pertemuan pertama. Taehyun kembali mengingat-ingat apakah ia pernah bertemu dengan ayah Soobin namun ia sama sekali tidak menemukan jawabannya.

“Ah ternyata aku tidak salah mengenalimu. Matamu benar-benar sangat mirip dengan ayahmu. Saat mendengar namamu Taehyun aku langsung yakin jika dugaanku benar.” Ayah Soobin terlihat lebih santai berbicara dengan Taehyun setelah berhasil mengenalinya. Namun tidak dengan Taehyun, ia memiringkan kepalanya memikirkan suatu hal yang janggal.

“Apakah Anda yakin mengenal anak mendiang Joowon? Bukankah namanya adalah Terry?” Tanya Taehyun mengutarakan kejanggalan yang ia rasakan. Ayah Soobin tersenyum tipis dan bergerak mendekatkan wajahnya, kembali berbisik di telinga Taehyun.

“Aku adalah mantan asisten ayahmu di kejaksaan. Dan aku pula yang mengurus dokumen-dokumen guna merubah identitasmu dari Terry menjadi Taehyun.”

“Benarkah?” Taehyun masih belum mencerna sepenuhnya informasi yang ia dapatkan. Ayah Soobin mengangguk pasti, membenarkan apa yang sudah ia utarakan sebelumnya.

“Kamu sudah tumbuh dewasa sekarang. Kamu juga tampan seperti ayahmu. Rasanya dunia ini sempit sekali ya. Bahkan aku tidak pernah menyangka kamu akan berteman dengan Soobin.” Ayah Soobin memuji Taehyun dengan mata yang berbinar. Tangannya juga naik ke kepala Taehyun, mengelus rambutnya dengan lembut seakan bertemu dengan orang yang paling ia sayangi.

“Maaf aku tidak mengenali Anda,” sesal Taehyun.

“Wajar saja kamu tidak mengenaliku. Dulu aku sering bertemu denganmu saat kamu masih TK. Kamu sering dibawa ayahmu ke kantornya. Aku juga terkadang membelikanmu es krim karena kamu sering merengek ketika bosan menunggu ayahmu selesai sidang.” Ayah Soobin tertawa mengingat memori lama akan Taehyun kecil yang terlintas di benaknya. 

Taehyun hanya diam menatap ayah Soobin yang masih terus berceloteh menceritakan beberapa ulah Taehyun kecil. Ayah Soobin bahkan menceritakan kebiasaan-kebiasaan ayahnya yang tidak banyak diketahui orang-orang. Taehyun pun perlahan mempercayai jika ayah Soobin benar adalah orang yang bekerja untuk ayahnya dulu. Hati Taehyun menghangat, setidaknya dari ribuan orang yang menghujat ayahnya, ada satu orang yang mengingat kebaikannya.

Namun yang membuat Taehyun tidak kalah takjub adalah bagaimana seorang yang belasan tahun tidak bertemu dapat mengenalinya hanya dengan melihat matanya yang mirip ayahnya. Sebegitu miripkah Taehyun dengan ayahnya? Tapi mengapa ibunya tidak pernah menyadari akan kemiripan itu.

Taehyun memang tidak pernah bertemu dengan ibunya secara langsung sejak insiden penembakan yang menewaskan ayah dan hampir seluruh orang yang bekerja di rumahnya. Tapi Taehyun menyadari jika ibunya sering berada di sekitarnya untuk mengamati Beomgyu yang kebetulan sering bersama dengannya. Tidakkah ibunya menyadari diantara Taehyun dan Beomgyu siapa yang lebih mirip dengan Joowon?

Taehyun dan Beomgyu memang begitu mirip bak anak kembar ketika masih kanak-kanak, namun saat mereka tumbuh dewasa kemiripan itu memudar. Terlihat sangat jelas Beomgyu tidak mirip dengan siapapun di antara kedua orang tuanya, baik itu Joowon maupun Jihyun. Namun Jihyun tetap bersikeras mengenali Beomgyu sebagai Terry, dengan mengirimkan orang untuk melindungi Beomgyu. Sedangkan untuk Taehyun, ibunya selalu mengirimkan orang untuk mencelakainya, seperti Sunghoon, dan bisa dibilang Soobin juga.

“Sebaiknya kamu tidur, ini sudah sangat larut. Bukankah besok kamu akan ikut dengan kami ke perkebunan? Kamu bisa memetik jeruk sepuasmu, kamu menyukai jeruk kan? Walaupun aku tahu kamu lebih menyukai stroberi, tapi aku tidak punya buah itu di kebunku.” Ayah Soobin lagi-lagi membuat Taehyun terpana, hal remeh seperti buah kesukaan Taehyun saja ia ketahui. Ayah Soobin mengenalnya dengan baik.

Taehyun berjalan mengikuti ayah Soobin menuju rumah. Matanya menangkap eksistensi Soobin yang kini bersandar di tiang teras rumah memandang langit. Entah sejak kapan ia duduk di situ. Setahu Taehyun, Soobin sedang tertidur pulas saat ia keluar tadi.

“Mengapa kamu tidak tidur, Soobin?” Tanya ayahnya ketika dirinya dan Taehyun tiba di teras dan hendak masuk ke dalam rumah. Soobin hanya menoleh sekilas ke arah ayahnya dan Taehyun lalu kembali dengan kegiatannya memandang langit malam.

“Gerah, ayah sama sekali tidak mendengar permintaanku untuk memasang pendingin ruangan,” ujar Soobin ketus.

Ayah Soobin berdecak kesal. “Itu pemborosan, kami hanya tinggal berdua, satu kipas angin saja cukup. Lagipula kamu bertahun-tahun tidak pulang, untuk apa kami memasang pendingin ruangan. Sudahlah cepat masuk, kamu bisa bawa kipas angin di kamar ayah ke kamarmu.”

Soobin menatap ayahnya tidak kalah kesal. Ia pun mau tak mau bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam rumah mengikuti ayahnya dan Taehyun yang sudah masuk terlebih dahulu. Lalu ia masuk ke dalam kamar sambil membawa kipas angin yang ia ambil dari kamar orangtuanya. Kipas angin itu ia arahkan ke arah tempat tidurnya dengan Taehyun.

Soobin merebahkan dirinya ke atas tempat tidurnya dan menggeser tubuhnya nyaris menempel dinding, memberi ruang untuk Taehyun tidur di sebelahnya. Ia meletakkan kedua tangannya di belakang kepala sebagai bantalan dan memandang langit-langit kamarnya. Taehyun yang sedari tadi duduk di kursi belajar itupun melangkahkan kakinya menuju tempat tidur, rasa kantuknya tak bisa dilawan lagi.

“Sepertinya kamu akrab sekali dengan ayahku. Membicarakan apa?” Tanya Soobin sesaat setelah Taehyun merebahkan tubuhnya di samping Soobin.

“Bukan urusanmu,” sahut Taehyun seraya memunggungi Soobin dan memejamkan matanya. Tidak tertarik untuk berbagi informasi dengan Soobin sama sekali. Yang ada di pikirannya kali ini hanya ingin tidur dan tidak bangun terlambat esok hari.

“Ayahku bukan orang yang ramah. Ia tidak pernah mengobrol panjang lebar seperti itu dengan orang yang baru dikenalnya. Apalagi tawa ayahku jelas sekali menggambarkan jika ia begitu senang mengobrol denganmu.” Soobin mengomentari hal langka yang ia temukan malam ini. Tapi sayang, tidak ada tanggapan sama sekali dari Taehyun.

“Ngomong-ngomong aneh sekali ya hubungan kita sekarang. Katakan saja kita bermusuhan, tapi justru pergi bersama ke rumah orang tuaku. Bahkan kita berbagi ranjang malam ini, bukankah ini lucu?”

Lagi-lagi tidak ada sahutan dari Taehyun akan kalimat yang kembali Soobin lontarkan. Entah Taehyun benar-benar sudah tidur atau memang benar-benar mengabaikannya. Yang kini terdengar hanyalah suara kipas angin yang berisik memenuhi seisi kamar. Soobin hanya menghela nafasnya pelan dan terus memandangi langit-langit kamarnya.

Sesungguhnya ia tidak bisa tidur malam ini. Jiwanya bergejolak, seakan ada dua kubu dalam dirinya yang sedang bertarung memperjuangkan keinginan mereka. Satu kubu menyatakan ingin memperbaiki hubungannya dengan Taehyun, mengakui jika sesungguhnya masih ada rasa cinta yang begitu besar untuk insan yang kini berada di sampingnya. Namun kubu lainnya memiliki ego yang begitu besar pula untuk membalas dendam dengan siksaan yang amat menyakitkan.

Tiba-tiba ingatan Soobin kembali pada malam ia menerima telepon terakhir dari Sunghoon. Masih terekam jelas bagaimana suara getir yang menyiratkan pedih dan putus asanya sahabatnya itu. Bahkan tanpa melihat wajahnya pun Soobin tahu jika Sunghoon sedang menangis.

Sunghoon menceritakan betapa menyesalnya dirinya sudah menyakiti hati seorang yang sangat ia cintai. Betapa ia tersiksa dengan rasa bersalahnya pada kekasihnya yang Soobin tahu orang itu adalah Taehyun. Betapa ia rela mati di tangan kekasihnya demi pengampunan akan dosa-dosa yang sudah ia lakukan.

Soobin tahu jika Sunghoon salah, walaupun kesalahan Sunghoon masih abu-abu. Tapi Soobin tidak mampu memaafkan Taehyun yang sudah membunuh satu-satunya sahabat karibnya itu.

Soobin menoleh sejenak memandangi punggung Taehyun. Memastikan Taehyun sudah benar-benar tertidur. Setelah ia memastikan tidak ada pergerakan dari Taehyun, ia pun kembali memandangi langit-langit kamarnya.

“Hyun, terkadang aku berpikir, apakah setelah membunuhmu aku dapat melanjutkan hidupku? Apakah aku dapat melupakan dirimu dan rasa cintaku padamu? Sesungguhnya membayangkannya saja aku sudah tak sanggup,” gumam Soobin lirih, berharap Taehyun tidak mendengar ucapannya.

Soobin pun memiringkan tubuhnya menghadap dinding. Mencoba untuk memejamkan matanya dan tidur. Menenangkan sejenak kepalanya yang berisik. Berharap saat membuka mata esok hari dirinya akan sedikit lebih tenang. Tanpa Soobin sadari jika Taehyun sesungguhnya tidak tidur dan mendengar semua ucapannya.

*To Be Continued*

TRAP | Soobtyun (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang