Bab 1. Solution-Flaw

72 8 3
                                    

Di atas takhta, Sang Raja memikat pelan pelipisnya. Pusing akan segala keluhan yang diutarakan oleh para menteri-menterinya sejak pertemuan dimulai. Masalah yang dibicarakan tak lain tak bukan adalah pembangunan Kuil Anje atas nama Putra Mahkota.

Para rakyat tidak menerima pembangunan Kuil tersebut dan melakukan pemberontakan. Ini disebabkan karena upah pajak yang semakin tinggi, membuat perekonomian rakyat semakin terjerat. Namun pihak Kerajaan justru semena-mena membangun bangunan atas nama Putra Mahkota yang menghabiskan banyak biaya.

"Jeonha, kita tidak bisa terus membiarkan rakyat terus melakukan pertentangan seperti ini." Wakil Perdana Menteri, Kim Doyoung, berkata.

"Masalah ini aku tentu tahu, Wakil Perdana Menteri," sarkas Jaehyun, sang Raja, sembari melemparkan tatapan tajam. "Mungkin kita harus mempertimbangkan Yangle Daegun sebagai kandidat Putra Mahkota."

Raut panik seketika tergambar jelas pada setiap wajah pejabat di dalam aula pertemuan. Kericuhan yang sebelumnya sulit dihentikan, kini hilang bagai ditiup angin.

Yangle Daegun adalah gelar Pangeran Agung Lee Chenle. Putra Raja dari Ratu yang meninggal dalam pengasingannya, mendiang Ratu Renjun.

"Jeonha, sebaiknya jangan terburu-buru membuat keputusan," sanggah Perdana Menteri, Park Yuta.

"Lagipula Yangle Daegun hidup di medan perang, jauh dari politik dan hukum kerajaan. Hamba tidak bermaksud merendahkan, Jeonha, namun tidakkah ini menjadi kekhawatiran?" Menteri Kementerian Militer, Seo Youngho, menambahkan.

"Lalu solusi seperti apa yang dapat ditawarkan oleh Menteri sekalian? Memiliki pendapat untuk menyanggah, maka juga memiliki alasan dan solusi," balas Jaehyun acuh tak acuh.

Jaehyun kemudian menoleh menatap Putra Mahkota yang berada di barisan terdepan dari para pejabat. "Apakah Seja Jeoha memiliki saran yang lebih baik? Masalah ini berkaitan dengan Seja, ada baiknya jika memberikan beberapa solusi."

Putra Mahkota Dinasti Joseon, Lee Jeno, tetap tenang seperti biasa, bahkan ketika disodorkan oleh pertanyaan provokasi seperti itu. Ia menjawab, "Hamba izin menjawab, Jeonha. Hamba pikir sebaiknya pembangunan dihentikan dulu untuk sementara."

"Kenapa?"

"Menurut Hamba, kita seharusnya fokus untuk memenangkan hati rakyat terlebih dahulu, Jeonha. Mereka ada pilar Dinasti Joseon, kita harus melakukan sesuatu agar mereka dapat mempercayai kita."

Jaehyun takjub. Ujung bibirnya tertarik membentuk senyum tipis. Dalam hati setuju dengan solusi yang diberikan Putranya, calon penerusnya.

"Baiklah, sudah diputuskan, pembangunan Kuil Anje akan dihentikan untuk sementara," ucap Jaehyun. "Sekarang, mari kita fokus pada permasalahan rakyat."

Kemudian rapat berjalan lancar. Tidak ada keributan lagi seperti sebelumnya. Diskusi-diskusi mengalun menenangkan seiring berjalannya waktu.

***

Air kolam di bawah pavilliun Hyangwonjeong beriak tenang. Bunga-bunga teratai mekar dengan indah sesuai waktunya, menampilkan warna yang memanjakan mata.

Di dalam pavilliun, Park Taeyoung-sang Ratu-berbincang sembari meminum teh bersama Putra Mahkota, Lee Jeno. Keduanya tampak hangat, selayaknya hubungan antara ibu dan anak.

Namun percakapan mereka harus terhenti ketika dayang pribadi Taeyoung, Min Jeong, datang menginstrupsi. "Mama, Perdana Menteri Park telah tiba."

"Persilakan dia kemari."

Min Jeong menunduk hormat dan berlalu pergi. Tak lama kemudian ia kembali lagi bersama dengan Perdana Menteri Park Yuta. Pria paruh baya itu langsung menunduk hormat pada Ratu dan Putra Mahkota. Lalu menjatuhkan duduknya setelah dipersilahkan.

The Uncrowned Prince |Chenji|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang