Gelombang Kosong

42 9 0
                                    

Aku duduk di kursi kulit tua di dalam kamarku, ditemani suara hujan deras di luar jendela yang tak lagi menenangkan.

Mataku terpejam sejenak untuk mengusir rasa lelah yang menggelayuti. Ketika aku membuka mata lagi, layar laptopku masih saja kosong-melompong.

Sekelilingku dipenuhi dengan kertas-kertas draft penuh coretan-coretan depresi. Aku merasa-dingin malam ini bukan hanya dari cuaca, tetapi juga dari kekosongan yang ada di dalam diriku sendiri.

"Cuma sampe sini, ya?" gumamku bermonolog sambil bersandar pada kursi tuaku.

Rasanya, setiap ide yang muncul hanya seperti ilusi, menguap sebelum aku sempat menulisnya. Aku sudah mencoba segala hal, tapi rasanya seperti semua usaha ini sia-sia.

Aku berpikir, apa aku kehilangan rasa? Setiap aksara yang ku rajut menjadi kata, hingga kumpulan paragraf ini rasanya tak lagi sama. Setiap kali membaca tulisanku sendiri, rasanya seperti kosong, tak ada perasaan di dalam tiap kalimatnya. Novel-novel yang ku tulis seolah hilang jiwanya.

Padahal secara etimologis, aksara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya tak termusnahkan. Namun, nyatanya, semua makna itu musnah dalam setiap huruf yang ku tulis. Aku merasa bahwa semua aksara yang ku rajut kini tidak lebih dari serpihan-serpihan kosong, hanya simbolik yang tak mampu menyampaikan makna sejati dari pikiran sang penulis.

Aku berdiri sejenak dan mulai merapikan kertas-kertas yang berserakan. Setiap coretan yang ku buat memiliki aroma kegagalan.

Semua kertas yang berserakan, setiap kata yang ku tulis, mereka tampak seperti sampah-sampah yang mengapung tanpa arah, seolah-olah berjuang melawan arus tak kasat mata yang membawanya pergi, hilang entah ke mana.

Dalam keheningan malam dan riuhnya hujan, aku merasa seperti satu-satunya penumpang di kapal yang telah tenggelam, berusaha mencari daratan di tengah lautan kekosongan yang terus-menerus menelan semua harapan dan sisa-sisa semangat.

Haruskah aku berhenti? Aku bertanya pada diriku sendiri.

"Kamu belum tidur?" tanya suara lembut yang muncul setelah derit pintu terbuka.

Aku menoleh, menatap istri cantikku. Terbesit senyum tipis di wajahku. "Sebentar lagi."

Aku berharap ia menanyakan hal sebaliknya, seperti kamu belum bangun?

Ya, aku berharap semua keputusasaan ini hanyalah mimpi buruk belaka. Namun, seiring berlalunya malam, aku tersadar, bahwa tidak ada jaminan matahari akan terbit lebih terang esok hari.

 Namun, seiring berlalunya malam, aku tersadar, bahwa tidak ada jaminan matahari akan terbit lebih terang esok hari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
CerpenpediaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang