.

13 3 0
                                    

Di bawah sinar bulan yang redup, aku duduk sendiri di sudut kamar yang gelap, dikelilingi oleh bayangan-bayangan yang seakan menyerap semua cahaya. Sejak awal malam ini, pikiranku tak berhenti berputar, berulang-ulang membayangkan wajah-wajah yang telah menghancurkan hidupku. Setiap detik terasa seperti berputar dalam lingkaran setan yang tak pernah berakhir, di mana setiap kesalahan yang diperbuat hanya menambah beban yang harus kutanggung. Kepedihan ini menyelimuti tubuhku, menjadikannya berat untuk bergerak, berat untuk bernapas, dan bahkan berat untuk berpikir jernih.
Di luar jendela, hujan turun deras, seolah langit merasakan kepedihanku dan membagikannya dengan tetes-tetes air yang tak henti-hentinya. Aku tahu, mungkin orang-orang akan berkata bahwa hujan ini hanyalah kebetulan alam, tetapi bagi aku, hujan ini adalah simbol dari apa yang sedang kurasakan—kemarahan, kesedihan, dan keputusasaan yang terus menerus meresap dalam setiap lapisan diriku. Setiap tetes yang jatuh seolah menambah berat rasa sakitku, membuatku merasa seperti tenggelam dalam lautan kesedihan yang tak bertepi.
Setiap kali aku teringat apa yang telah terjadi, rasa sakit itu seolah menjadi lebih tajam. Bagaimana mungkin seseorang yang telah kuberi segalanya, yang kusebut sebagai cinta, mengkhianatiku dengan cara yang begitu kejam? Aku ingat betul bagaimana dia mengatakan betapa pentingnya aku dalam hidupnya, betapa dia tidak akan pernah menyakitiku. Dan kini, semua janji itu hancur berkeping-keping, seolah tidak pernah ada arti dalam setiap kata-kata indah yang diucapkannya. Kekecewaan ini bukan hanya datang sekali, melainkan berulang kali. Aku merasa seperti seorang bodoh yang terus-menerus jatuh ke dalam lubang yang sama, dikhianati dengan cara yang semakin brutal setiap kali. Cinta yang kudapatkan tidak pernah sebanding dengan apa yang kuberikan; dia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, mengabaikanku demi wanita lain yang tampaknya hanya ada untuk memperlihatkan betapa tidak berartinya aku baginya.
Dan wanita itu… oh, wanita itu. Dia tidak lebih dari seorang pengganggu dalam hidupku, merebut apa yang paling berharga dariku tanpa rasa malu atau rasa bersalah. Aku bisa merasakan rasa sakitnya yang memelukku erat, menguburku dalam kedukaan yang dalam. Seakan semua kenangan indah yang pernah kami bagikan telah diambil dariku dan diberikan kepada orang lain. Apakah dia merasa bersalah? Apakah dia mengerti betapa besar penderitaanku? Ataukah dia bahkan tidak peduli sama sekali, terus melanjutkan hidupnya seolah tidak ada yang terjadi?
Ketika semua ini mulai terasa terlalu berat untuk kutanggung, aku mulai mencari cara untuk membebaskan diriku dari beban emosional ini. Aku mencoba berbagai cara—dari menulis di jurnal hingga berbicara dengan teman-teman, mencari dukungan dan penghiburan. Namun, semua itu tampaknya sia-sia. Kemarahan dan dendam terus menyala di dalam dadaku, membuatku merasa seperti sedang diracuni dari dalam. Aku mulai merasa terjebak dalam pola pikir yang tidak sehat, di mana rasa sakit ini tidak hanya mengganggu kehidupanku, tetapi juga mengubah caraku melihat dunia.
Saat itulah aku mulai memikirkan hal-hal yang lebih gelap, hal-hal yang tidak pernah kuanggap mungkin akan kulakukan. Doa-doa yang penuh dengan kebencian dan keputusasaan. Aku tahu ini bukanlah jalan yang benar, dan aku yakin ada yang mengatakan bahwa doa-doa seperti itu hanya akan mengganggu jiwaku lebih dalam. Namun, ketika rasa sakit dan kemarahan menghampiriku, aku merasa seperti terpaksa untuk mencurahkan semua ini, seolah ada bagian dari diriku yang ingin membalas dendam, meskipun aku tahu itu hanya akan memperburuk keadaan.
“Ya Tuhan, jika Engkau mendengar doaku, aku meminta agar dia merasakan sedikit saja dari apa yang aku rasakan. Biarkan dia tahu betapa sakitnya dikhianati. Biarkan dia mengalami penderitaan yang sama, bahkan mungkin lebih berat. Jangan biarkan dia merasa bahagia atas apa yang telah dilakukannya kepadaku. Biarkan dia merasakan semua rasa sakit dan kesedihan yang selama ini aku rasakan.”
Begitulah doa-doa malamku, dipenuhi dengan keputusasaan dan kemarahan yang menggunung. Aku tahu ini tidak benar, dan aku tahu bahwa hatiku harus memaafkan untuk bisa melanjutkan hidup. Namun, aku juga manusia. Aku punya batas kesabaran dan rasa sakit yang kadang-kadang tak tertahan. Aku ingin agar dia merasakan sedikit saja dari apa yang kurasakan, untuk merasakan kepedihan yang selama ini menghantuiku. Ini adalah bentuk pembalasan yang aku anggap sebagai cara untuk mengatasi kemarahan dan rasa sakitku, meskipun aku tahu itu bukan solusi yang sebenarnya.
Kemarahan ini seperti api yang tak pernah padam. Ketika aku tidur, api itu tetap menyala, membakar dalam mimpiku dan membuatku terjaga dalam kegelapan malam. Setiap malam, aku membayangkan skenario di mana dia merasakan apa yang telah kulalui. Aku berharap agar dia disakiti, agar dia merasakan ketidakberdayaan yang sama. Aku ingin dia tahu betapa sulitnya untuk melupakan, betapa mengerikannya hidup dengan rasa sakit yang terus-menerus. Harapan-harapan ini menjadi satu-satunya cara aku menghadapi kenyataan yang keras dan tidak adil.
Namun, di tengah semua perasaan ini, aku juga tahu ada bagian dari diriku yang merindukan kedamaian. Aku merindukan saat-saat ketika aku bisa tertawa tanpa rasa sakit, saat-saat di mana cinta adalah sesuatu yang indah dan murni. Aku merindukan hari-hari ketika hidupku tidak dilingkupi oleh rasa dendam dan kebencian. Aku berharap suatu saat nanti aku bisa menemukan cara untuk melepaskan semua ini, untuk menyembuhkan luka-luka yang menganga dalam hatiku. Aku tahu bahwa hanya dengan melepaskan semua beban ini, aku bisa benar-benar bebas dan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Akhirnya, aku sadar bahwa meskipun doa-doa ini mungkin menghibur sementara waktu, mereka tidak akan mengembalikan apa yang telah hilang. Mereka tidak akan menghapus rasa sakit yang kubawa. Aku perlu mencari cara untuk menyembuhkan diriku sendiri, untuk membiarkan diriku berkembang lagi setelah segala kesedihan ini. Proses ini mungkin memakan waktu, dan mungkin aku masih akan merasa sakit selama beberapa waktu. Tapi setidaknya, aku tahu bahwa aku tidak sendirian dalam perjuangan ini. Aku harus mencari cara untuk mengubah dendam menjadi sesuatu yang lebih konstruktif, sesuatu yang bisa membantuku untuk berkembang dan maju.
Jadi, aku mulai menulis. Aku menulis tentang rasa sakitku, tentang pengkhianatan yang kualami, dan tentang harapan untuk masa depan yang lebih baik. Aku menulis untuk melepaskan perasaanku, untuk mengubah dendam menjadi sesuatu yang bisa kutangani. Aku tahu proses ini akan memakan waktu dan tidak akan mudah, tetapi aku berharap tulisan ini bisa menjadi cara untuk melepaskan semua kemarahan dan kekecewaan. Dengan setiap kata yang kutulis, aku merasa sedikit lebih ringan, sedikit lebih dekat untuk menemukan kedamaian.
Dalam hujan yang turun deras, aku membuat keputusan untuk berhenti membiarkan kemarahan mengendalikan hidupku. Aku akan berusaha untuk menemukan kedamaian dalam diri sendiri, untuk memaafkan—meski tidak mudah—dan untuk melangkah maju. Karena pada akhirnya, hanya dengan melepaskan semua beban ini, aku bisa benar-benar bebas dan menemukan kebahagiaan lagi. Ini adalah perjalanan panjang yang harus kulalui, tetapi aku yakin bahwa di ujung jalan, aku akan menemukan diriku kembali, lebih kuat dan lebih siap untuk menghadapi masa depan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tidak ada judulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang