☆ 04 ; lawan aja

105 21 9
                                    











MASA-MASA [Name] belom terlalu kenal Deon.



“Kau itu beneran anak yang waktu itu ‘kan?” bolak-balik memastikan, [Name] bertanya. Agaknya dia takjub bisa ketemu lagi ama bocah kiyowo yang dulu.

“.. Memangnya kenal albino selain aku?” Deon menghela nafas. Orang ini daritadi kayak excited banget.



“Gak sih.” [Name] memiringkan kepala. “Oh, kenapa orang-orang itu merundungmu saat itu?”

Agak tersentak, Deon memutar bola mata seolah-olah khawatir ada yang mendengarnya.

“Tentu saja ... warna kulitku aneh, rambutku aneh, mataku aneh..” ia bergumam, terlihat sangat membenci penampilannya.

“....” [Name] yang sama sekali gapernah kepikiran kalau Deon “aneh”






“Menurutku tidak,”

”Menurutmu.”

”Oke, kenyataannya tidak,”

“... Haish,” Deon berdecak. Dia dan [Name] sedang duduk diatas dinding beton belakang sekolah. Sambil makan pir.




“Kau tahu, orang-orang yang melakukan hal seperti itu, sebenarnya tertarik padamu,”

“Darimana kau tahu?” tanya Deon.

“Menurutku saja, kadang-kadang orang jika tertarik atau iri dengan sesuatu yang tidak ia miliki, atau hanya sekadar tidak suka orang lain terlihat lebih mencolok dibandingkan dirinya, akan menjatuhkan mereka, karena mereka tak ingin tersaingi,” [Name] mengayunkan kakinya ringan.

“...” Deon menerawang dan angin meniup rambut putihnya. “Begitu.”

Melihat perban dengan darah kering di dahi Deon, [Name] menaikkan alis, tangannya menunjuk pelan. “Luka itu? Kau masih dirundung?”





“... Kadang,” Deon menyeringai sebal. “Kau tahu, kita tidak bertemu setelah hari itu, tapi orangtua dan kakakku marah besar karena aku berkelahi. Mereka mengatakan harusnya aku melapor pada mereka. Benar-benar sialan. Padahal tidak ada yang akan berubah, dan orang-orang itu hanya akan merundungku lebih jauh.”

“Hmm ...” [Name] memanggut-manggut, mengunyah pir. Mendengarkan.

“Setelah itu aku tidak pernah mau mengatakan apapun pada mereka lagi, mereka hanya akan marah padaku. aku juga tak mau guru memanggilku dan memberitahu mereka. Sial. Aku hanya bisa diam dan membiarkan mereka. Aku benar-benar marah. Aku kesal. Kadang-kadang aku membayangkan aku membun—”

”Yak, cukup sampai disitu,” [Name] menyumpal mulut Deon dengan pir. “Jika ada orang sekolah dengar, kau bisa dihukum.”





“... Benar-benar gila,” Deon cemberut dengan amat kesal, mengunyah pir dimulutnya sambil menggerutu.





“Jadi kau selalu diam, jika mereka merundungmu?” [Name] memastikan. Mereka berbeda kelas, jadi [Name] hanya bisa bertemu Deon di luar sekolah.

“Benar.”

“Dan membiarkanmu terluka?”

“Ya,” Deon menjawab tegas. Mata merahnya menyala penuh dendam.


Sekilas, [Name] mengerjapkan matanya, kemudian tertawa.

“Kenapa kau tertawa—” ucapan Deon berhenti saat [Name] memegang bahunya dan menyeringai. Berbisik pelan di telinganya. “Siapa suruh tidak hajar langsung.”









𝐀̀ 𝐋𝐚 𝐅𝐨𝐥𝐢𝐞. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang