"Bun, Kak, ayah minta maaf. Selama ini ayah terlibat masalah dengan pinjaman online... dan ayah mau pinjam uang Bunda untuk melunasinya."
Pagi itu, hanya ada Julia, Bunda, dan Ayah yang sedang duduk-duduk di ruang tamu. Juna, adik bungsu Julia yang masih duduk di bangku kelas 5 SD masih terlelap dalam tidurnya setelah semalaman puas bermain gim.
Julia menggantungkan sendok makan berisi nasi uduk di udara, sedangkan Bunda meletakkan kembali secangkir kopi hitam dengan kasar hingga berdenting. Raut wajah Bunda berubah sangat masam.
"Sudah berapa lama?" Bunda bertanya dengan dingin, menahan amukan dalam tiap katanya.
"Dari tahun lalu." Ayah menunduk lesu. "Ayah butuh tiga ratus lima puluh juta saja...."
"Tiga ratus juta kamu bilang 'saja', Mas? Astagfirullahaladzim!" sela Bunda. "Kok bisa? Kamu makan uang sebanyak itu untuk apa, Mas Wira?"
"Buat kehidupan sehari-hari kita selama ini, Yustia. Uang pensiunan ayah mana cukup untuk memenuhi kebutuhan kalian. Lagipula, ayah hanya pinjam seratus juta saja, tapi tahu-tahu bunganya membengkak jadi tiga ratus juta. Ayah juga ditipu, Bun."
"Tapi uang dari mana lagi kita, Mas? Gak ingat kamu, minggu lalu, baru saja kita cairkan deposito untuk melunasi SPI kuliah Julia delapan puluh juta! Belum lagi, Juna harus bayar uang sekolah yang sudah dua bulan nunggak. Mau bayar utangmu pakai apa?"
"Ya, ayah minta maaf. Ayah salah, Bunda. Makanya, ayah mau pinjam uang dulu untuk melunasinya," ulang ayah. "Karena kalau tidak dibayar segera, rentenirnya bisa mengacak-acak rumah ini...."
"Astagfirullah...." Tangis Bunda pecah saat itu juga.
Ayah hanya bisa mengembuskan napas panjang dan Julia pun ikut menunduk dalam-dalam.
Percakapan mereka pada pagi itu tidak berakhir dengan konklusi yang jelas, tetapi konversasinya masih terngiang-ngiang jelas di benak Julia sampai saat ini.
Semenjak kondisi finansial keluarganya memburuk setahun yang lalu, Julia mencoba berbagai cara untuk membantu kedua orang tua dan adiknya. Walaupun tidak banyak hal yang bisa dilakukan mengingat usia Julia baru saja menginjak 17 tahun, setidaknya, dia bisa membeli jajanan tiap hari dengan uang hasil jerih payahnya sendiri.
Tahun lalu tepatnya, Julia mengikuti kontes kecantikan para gadis yang diadakan oleh Girls' Today!, majalah populer di kalangan anak-anak muda masa kini. Dari hasil penampilannya yang luar biasa, Julia berhasil keluar menjadi seorang runner up kedua dari kompetisi tersebut. Tawaran endorsement dan kerja sama muncul berdatangan tanpa henti. Meski Julia tidak sepopuler rival-rivalnya yang memiliki pengikut di sosial media sampai berpuluh-puluh ribu, setidaknya sebulan sekali, Julia masih mendapatkan pekerjaan yang tiada henti, entah itu menjadi brand ambassador skincare dan kosmetik, atau menjadi model sampul majalah bulanan Girls' Today!. Uang dari pekerjaannya itulah yang dikumpulkan untuk membantu Julia selama ini. Setidaknya, usaha itu bertujuan agar Julia tidak perlu terus meminta uang jajan tambahan kepada orang tuanya.
Ayah Julia, Wira, hanyalah seorang mantan PNS yang sudah pensiun dua tahun lalu, sedangkan Bunda Julia, Yustia, pun hanya seorang Ibu Rumah Tangga. Mereka bukan termasuk golongan menengah ke atas. Kalaupun ada orang yang menilai keluarga ini dari rumah bertingkat dua yang terletak di kompleks elite Jakarta, semua kekayaan itu berasal dari warisan dan peninggalan masing-masing keluarga Wira dan Yustia di zaman dahulu. Semua pakaian bagus dan ponsel bermerek ternama milik Julia dan Juna pun merupakan hadiah dari orang-orang baik di sekitar Julia.
Dengan tabungan yang seharusnya cukup, kedua orang tua Julia sudah mempersiapkan diri untuk membiayai kuliah Julia di salah satu perguruan tinggi swasta top di Indonesia, yaitu Universitas Gemilang Nusantara, yang tak jauh dari lokasi tempat tinggal mereka. Namun, siapa yang tahu kapan datangnya musibah yang selalu tiba-tiba.
Belum sempat memulai kehidupan perkuliahannya, Julia sudah harus memikirkan kemungkinan terburuk jika kedua orang tuanya benar-benar tidak sanggup membiayai pendidikan Julia sampai akhir wisuda.
Sebagai seseorang yang bisa dikatakan sebagai public figure, Julia tidak bisa mengumbar-umbar masalahnya di hadapan banyak orang. Selalu tersenyum dan berbahagia seolah-olah orang yang tak pernah terkena musibah menjadi cara Julia untuk terus menghibur dirinya. Pun sebagai seorang anak sulung perempuan, rasanya Julia tidak benar-benar punya tempat cerita untuk meluapkan segala keluh kesah hidupnya selama ini.
Kecuali untuk saat ini, setidaknya Julia masih punya Eliana, sahabat karibnya sejak SMP yang kini sedang duduk di hadapan Julia dengan wajah tenang, berbanding terbalik dengan Julia yang kusut bukan main.
"Aku gak tahu lagi harus gimana, El. Mau kerja yang benar-benar kerja pun aku belum mampu. Baru juga lulus SMA, aku bisa apa selain jalan di catwalk atau promosi live TikTok," erang Julia. "Aku merasa jadi anak yang gak guna kalau gak bisa bantu apa-apa gini."
"Hush, jangan ngomong gitu, cantik. Kamu udah keren tahu, bisa cari duit sendiri," timpal Eliana sebelum menyesap latte-nya.
Kali ini, Eliana yang mentraktir Julia sebagai apresiasi kepada sahabat karibnya sebelum mereka berpisah untuk kuliah.
Alunan lagu "Untitled" milik MALIQ & D'Essentials terdengar samar-samar dari kafe yang ramai pada Minggu sore ini, memberi jeda bagi Julia sejenak merenungkan kata-katanya sendiri.
"Aku jadi gak enak aja karena memutuskan kuliah di PTS yang UKT-nya selangit, walau memang ini keinginan bunda yang gak mau jauh-jauh, tapi aku tetap gak kuat lihat tagihan SPI kemarin."
Eliana tersenyum. "Kalau gitu, tunjukin ke mereka kalau usaha orang tuamu gak akan sia-sia karena kamu bisa berprestasi di sana. Kurasa, mereka pasti bangga sama kamu," tuturnya. "Menurutku juga, orang tua itu gak bakal keberatan kalau urusan pendidikan anaknya. Kamu gak perlu merasa bersalah, Ju. Dengan kuliah di PTS, apa lagi PTS top, kamu justru membuka banyak peluang untuk masa depanmu, lho!"
Julia mengangkat wajahnya, menatap Eliana lamat-lamat, menunggu penjelasan lebih lanjut.
Eliana menggenggam tangan Julia. "Bangun koneksi dari sana. Kenalan sama banyak orang, ikut kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, jangan takut buat berteman sama orang lain. Siapa tahu, jalan-jalan kamu buat cari rezeki yang lebih banyak bisa terbuka luas. Pokoknya, manfaatin segala hal yang bisa kamu dapat dari kampus topmu itu, Ju. Gak ada yang gak mungkin."
Julia ikut tersenyum. "Makasih, ya, El. Kamu emang teman terbaikku!" ucapnya. "Duh, sorry, ya, harusnya hari ini kita happy-happy, tapi kamu malah harus dengar curhatanku."
"Santai aja, ya, ampun. Kayak lagi sama siapa aja." Eliana tertawa ringan. Dia lantas menjejalkan potongan kroisan cokelat ke dalam mulutnya yang kecil.
"Omong-omong, kampusmu juga kampus top markotop, ya. Sedih deh rasanya kamu harus pindah ke Jogja besok," ujar Julia sebelum ikut menyantap waffle pilihan Eliana.
"Kita masih bisa saling curhat di telepon, kok," balas Eliana, "asalkan gak curhatin si Kulkas Berjalan itu lagi, aku masih bakal angkat teleponmu." Gadis berambut cokelat lurus itu terbahak, sedangkan Julia langsung berubah murung lagi.
"Move on, Ju. Remember what he did to you after all this time. You clearly deserve someone better."
"Siapa bilang aku belum move on dari Kak Darren?" gerutu Julia. Dia memasukkan potongan-potongan besar waffle ke dalam mulutnya agar dia tidak perlu menjawab pertanyaan Eliana lagi.
Eliana menyipitkan mata. "Awas, ya, kalau aku lihat kamu putar lagu Gagal Bersembunyi di Spotify lagi."
Pertemuan kedua gadis cantik di kafe sore hari ini diakhiri dengan tawa canda yang mengudara, mewarnai senja di tengah kota.
Yang mungkin tak sempat ikut mengangkasa bersama tawa mereka adalah kata-kata Eliana yang menetap di benak Julia, yang membuatnya kembali teringat akan Darren Tan, crush pertamanya di SMA, yang juga pertama kali membuat hatinya terluka.
Namun, bagaimana Julia bisa benar-benar melupakan Darren kalau orang itulah yang memperkenalkan Julia kepada dunia?
。゚•┈୨♡୧┈• 。゚
(1.176 words)
August 4, 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Thousand Steps to Let You Go
RomancePilihan yang tersedia hanya ada dua: menjadi asing karena menyatakan rasa atau patah hati karena ada orang yang lebih istimewa. Rodeo Mahendra sering memotret banyak hal dalam hidupnya. Namun, ketika lensa kameranya menangkap visual Julia untuk pert...