Vol. 1 Bab 42

9 1 0
                                    

Saat turun dari kereta bawah tanah dan menunggu bus, Inseop mengeluarkan ponselnya dari saku. Ia melihat jam tangannya dan sudah waktunya menyiapkan sarapan di rumah di Amerika. Hari ini bukanlah hari yang dijanjikannya untuk menelepon, tetapi ia tetap melakukannya. Setelah telepon berdering beberapa kali, suara ibunya terdengar dari balik telepon.

"Petrus?"

"...?"

Saat dia mendengar suara ibunya, sesuatu yang panas mengalir ke tenggorokannya.

"Peter??Peter??Sayang, kau tak bisa mendengarku?"

"Saya dapat mendengar Anda."

Dia nyaris tidak menjawab.

"Kamu baik-baik saja??Bagaimana keadaan di sana??Bukankah di sana sekarang sudah malam??Apakah pekerjaannya berat??Apakah kamu makan dengan baik?"

Inseop teringat pada sebuah majalah yang dilanggannya untuk mempelajari budaya Korea, pertanyaan yang selalu ditanyakan ibu-ibu Korea saat berbicara dengan anaknya di telepon adalah: Sudah makan? Pertanyaan itu tak hanya diajukan saat jam makan, tetapi juga saat larut malam atau dini hari, seolah disampaikan sebagai ucapan salam.

Choi Inseop berpendapat bahwa hal itu bukanlah budaya yang hanya ada di Korea. Ibunya selalu ingin tahu apa yang dimakannya akhir-akhir ini dan apakah dia melewatkan makan setiap kali dia menelepon.

Inseop menjawab ya, tentu saja, dan duduk di kursi di halte bus.

Ngomong-ngomong, ada apa di jam segini??Apa ada yang salah denganmu?

Tidak. Aku baik-baik saja. Aku menelepon hanya karena ingin mendengar suaramu.

Sejak tiba di Korea, Inseop hanya menelepon sekali setiap tiga hari dan tidak pernah lebih dari itu. Ia berjanji kepada ayahnya bahwa ia akan melakukan itu, tetapi itu juga merupakan aturan yang ia buat sendiri karena ia pikir hal itu akan melemahkan tekadnya jika mereka terlalu sering berbicara di telepon.

"Tidak ada yang salah?"

Ibunya bertanya dengan khawatir ketika dia menyadari suara putranya telah mereda.

"Tidak apa-apa. Apa kabar kalian semua?"

"Ya, aku tidur di sebelah ayahmu. Apakah kamu ingin berbicara dengannya?"

"Tidak. Aku akan meneleponnya lagi besok, jadi aku akan bicara saat itu. Hanya saja... Aku menelepon karena aku ingin mendengar suara ibuku."

Meski tidak punya hubungan darah, Inseop tidak pernah menyangka kalau ibunya bukanlah ibu kandungnya. Ia menyayangi dan memperlakukan Inseop dengan setara, seperti anak-anaknya sendiri.

Keberadaan ibunya saja sudah menjadi penghiburan bagi Inseop saat ini.

"Bu, dengarkan."

Inseop berhenti sejenak sebelum berbicara.

"Haruskah aku kembali ke Amerika?"

"Tentu saja. Rumahmu di sini. Kalau kamu mau ikut, kamu bisa ikut. Kapan saja."

Air mata Inseop yang hampir tak dapat ditahannya pun menetes saat mendengar suara hangat ibunya. Tempat di mana ia dipukul terasa berdenyut dan sakit. Sakitnya luar biasa hingga ia tidak dapat menahannya. Ia ingin segera berlari ke Bandara Internasional Incheon untuk membeli tiket dan terbang ke Amerika Serikat.

Orang-orang yang menunggu bus di sebelahnya melirik Inseop. Wajar saja jika pria yang berbicara bahasa Inggris dengan lancar di telepon dan menangis itu menarik perhatian.

"Jika kamu mengalami kesulitan, datanglah sekarang. Jangan khawatir tentang apa pun. Oke?"

"Aku harus pergi sekarang. Aku akan meneleponmu lagi besok. Sayang kamu."

Love History Caused by Willful NegligenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang