"Bisa berhenti nangis gak?!! Air mata lo gak ada gunanya lagi sekarang, perempuan gila!" ucap pria itu dengan nada tinggi. Suaranya tidak merusak telingaku, namun menghancurkan isi hati yang pernah kita tata rapi.
"Kita mulai dari awal lagi, apa susahnya sih?!" jawabku tidak kalah berani setelah menyeka pipi.
"Untuk apa, Lea? Kan gue udah tau rasa lo" balasnya dengan senyum picik tidak berdosa.
"Bajingan! Mulut lo terlalu sampah, Garya Putra!" murkaku membantah fakta.
"Catat di otak tolol lo! Mulut sampah ini adalah mulut yang pernah lo suka manisnya. Lupa lo? Perlu gue ingetin lagi? Mau kan lo? Bisa telan gengsinya sekarang, Lea?" tanya Garya bertubi-tubi sembari mendorong kepala lawan bicaranya, yaitu aku, Lea Meliza.
Hening tak bergeming. Aku tidak menjawab karena mengalihkan perhatianku pada bibir indahnya. Lekukan merah muda yang sempurna belum terpapar nikotin dan liptint wanita lain. Ciuman pertama di umur 19 tahun itu tidak boleh dibanggakan dan disesali. Kedatangan diriku untuk memperjuangkan kembali kisah candu yang baru saja kandas setelah tiga tahun diramu. Nyatanya, ampas yang aku dapati. Debat panjang tak berujung. Pasangan yang serasi, sama-sama tidak ingin membenahi kotornya diri maupun menuruni ego di hati. Sebelum rusak lebih jauh lagi, mungkin baiknya kita sudahi.
Pesan terdalam untuk semestaku, Garya Putra.
Aku baru menyadari dunia kita terlalu rumit untuk dibersamai. Aku belajar banyak pengorbanan dari kamu, Garr. Hidup harus selalu ada yang dikorbankan, termasuk hubungan kita dan semua hal di dunia ini harus diikhlaskan, tidak terkecuali kamu. Menetaplah di ruang paling belakang sebab ruang utama jiwaku bukan dirimu lagi.
"Kok bengong lo lagi diajak ngomong anjing! Jawab!" pekiknya membangunkan lamunanku.
"Berisik! Gue masih suci yaa. Cuma cicip bibir bangga lo? Masih nabrak gigi sok banget, najis" nyinyirku tidak mau kalah.
"Wahh... hebat ya. Berani jawab," balas Garya sedikit terkejut.
Ruang tamu yang hanya berisi lontaran perkataan tidak berguna dan menyisakan sesak di dada. Aku beranjak dari kediaman laki-laki yang konon katanya akan menjadi rumah bagiku dan mengisi rahimku. Omong kosong yang pernah dianggap serius. Bagaimana nasib nama anak yang sudah kita siapkan? Persetan dengan itu semua.
"Mau pergi lo, hah? Titip salam ya untuk Ibu, bahagiain lo itu beban. Orang tua lo yang gagal, kok gue yang tanggung jawab? Aneh banget anjing. Semoga lo ketemu yang lebih baik dari gue dan gue bakal cari yang bisa nerima kekurangan ini lebih dari lo yang selalu nuntut waktu," perkataan terakhir yang terdengar sungguh menghentikan ritme jantungku. Kalimat terakhir dari sosok yang ingin aku tulis dalam setiap rencana hidup, akhirnya harus aku aamiin-kan.
Marah, tidak bisa aku lakukan. Garya hanya menampar dengan kebenaran. Salahku yang menaruh bahagia pada manusia lain bahkan orang tuaku pun tidak menyanggupinya. Siapapun tolong beritahu aku perihal kebahagiaan sederhana. Aku masih buta tentang bahagia.
***
Haii... selamat datang di pesan penulis Chapter 1
Maaf aku pernah mengecewakan di cerita sebelumnya yaa..
Tokoh yang menjadikan cerita itu ada, kini sudah pergi hingga aku hilang arah dalam menulis
Cerita yang sekarang ini adalah bentuk kekesalanku pada cinta yang lagi-lagi jatuh pada jiwa yang salah, tapi hebatnya ia pergi tanpa luka dan aku pergi dengan bahagia. Cintanya singkat dengan drama yang padat.
Lea sayang Afdann, meskipun waktu kita gak lama
Lea sayang Afdann walaupun alam bawah sadar Lea masih terikat sama Garya
Lea sayang Afdann sekalipun ini salah di mata manusia
Akhir yang bagaimana pun, menyayangi orang sepertimu adalah bentuk kepintaran di hidup aku
Tidak berekspetasi tinggi untuk cerita baru yang penting aku bisa sampai di kata TAMAT :)
Okee see u gais
With love,
SEA
KAMU SEDANG MEMBACA
Kail yang Kosong
RomanceRiuh pertemuan yang paling menyenangkan kendati penuh batasan di tepi laut barat jawa. Sedikitnya ruang untuk kisah kita mampu melahirkan buih kenangan yang tak terhitung jari. Jika boleh sedikit egois, aku ingin bersama lebih lama dan tidak lagi be...