Biru langit yang meneduhkan mata gadis dengan rambut sebahu di pagi Kota Batu. Tenang warnanya tidak mampu menghentikan riuh isi kepala. Suasana ini dengan paksa menyeret sang empu jauh terjerembab dalam lamunan awal hari.
"Lea? Seriously? Ente melamun masih morning gini? Wake up please! Ente kepikiran mantan calon kakak ipar gue lagi yaa?" kicau burung dari paruh berbentuk mulut manusia rupanya.
Racauan itu berasal dari Arliana, beo yang satu rahim dengan Lea. Benar, adik perempuan satu-satunya dengan prestasi paling membanggakan, yaitu lebih tinggi dari sang kakak dan tidak pernah pacaran seumur hidupnya. Satu pabrik tetapi tidak menjamin produk yang dihasilkan berkualitas sama. Mungkin beda gaya, beda hasil. Lupakan.
"Ganggu banget padahal lagi seru karangan cerita di otak gue. Mending lo pergi cari sarapan, deh" ucap Lea di tengah berantakannya khayal indah.
"Siap donatur ku. Give me your money, okay?" Jawab Ana dengan mulut yang tiba-tiba menyimpul manis. Bincang santai dua insan yang seumuran dengan sikap bertolak belakang.
Sang kakak, Lea Meliza, hidup bebas tanpa aturan yang merupakan hadiah perceraian orang tua, berbanding terbalik dengan hidup Arliana yang tertata akibat buah rujuknya kedua orang tua. Pasangan itu pernah dipisahkan oleh bentroknya logika dan hati. Untungnya, tepat terjadi ketika Ana sedang berada di boarding school. Sayangnya Lea memilih diam dalam ruang kejadian.
Semua sepakat menyembunyikan sakit untuk menjaga keutuhan senyum seorang Ana, remaja penuh ceria yang belum boleh mencicipi pahitnya rumah tangga. Lea, anak perempuan pertama yang sudah sewajarnya menjadi pendengar tiap-tiap duka, jika tidak ingin membuat si pencerita gila. Cukup ampuni ia yang memaksamu mendengarkan.
"Ana gak buta maps kayak Zoro kan yaa? Oh tentu tidak, Ana pakai jilbab gelap bukan warna daun" Lea bergumam sendiri sembari menatap layar ponselnya untuk memastikan Ana pergi belum terlalu lama di jalanan kota paling ramah udara.
Villa sekitaran Museum Angkut yang juga menyimpan kepingan cerita. Potongan mimpi yang telah dua tahun ditinggal pemiliknya, Garya dan Lea. Hunian asri yang seharusnya menjadi awal langkah hidup baru mereka, kini terlupa begitu saja.
Gadis yang bertanggung jawab penuh dalam putusnya tali cinta merangkak lambat untuk kembali merawat sisa-sisa kenangan usang di sudut bangunan putih itu. Hanya ini yang bisa dilakukannya. Mengenang hal yang menjadikan Lea hidup dan mati di waktu yang sama.
Gawai yang sedari tadi masih di genggaman Lea terus mempertontonkan sindiran bagi hidup gadis yang sulit melupa cinta pertama.
"Anjoy kenapa reels ini suka nyindir gue sih? Curiga adminnya temen sendiri. Quotes apaan nih? Kok basi. Jika tidak bisa melupakan orangnya, tinggalkan kotanya" kesal Lea mendapati apa-apa yang tidak bisa menghibur dirinya.
"Hm, gue coba kali yaa? Toh, gak ada salahnya. Gue kan terlahir juga sebagai anak uji coba. Gas kita kemana? Kota yang belum pernah disentuh mantan gue titik," debat Lea dengan diri sendiri.
Tak terasa tangan gadis mungil itu sudah siap angkat koper dan kaki pendeknya turut diangkat untuk melangkah jauh. Seketika pupil membesar kala ditengoknya tempat penyimpanan di dekat sisi ranjang kiri. Debu menutupi gagangnya. Lembab terasa di permukaan kayu jati milik sang almari.
Sedikit banyak hal yang tersimpan membuat Lea ragu mengambil keputusan. Batinnya bertanya arus diapakan barang-barang ini. Almari itu saksi bisu akan cerita yang membeku. Benda mati yang kehilangan peluk hangat pemiliknya. Setumpuk surat tentang hari-hari yang pernah dirayakan, boneka tangan yang pernah meninabobokan, koleksi tas yang pernah diajak berpergian, dan berbagai macam pasang pakaian yang pernah disamakan untuk dikenakan.
Tidak ada yang salah tentang hal yang sudah diberi, kamu hanya bermasalah dengan yang memberi. Bukan barangnya yang kamu buang, melainkan cerita dibaliknya. Lambat laun ingatanmu akan terbiasa. Sederhana, timpa saja kenangan lama dengan cerita baru meskipun sulit ditemui yang sama bahagianya.
"Assalamu'alaikum, Leaa. Ana pulang bawa nasi pecel. Kata yang jual udah pernah di-approve sama Bayu Skak. Jadi, mahal dikit gapapa kan Leaa?" Sumringah Ana bergegas menyambangi piring di ruang makan.
Retinanya mengecil mendapati Lea dengan muka cerah merona menggandeng koper kuning menyala.
"Duhai saudaraku, ente mau kemana? Gak lucu ihh kelaperan dikit ngambek bawa koper. Ente kan sudah kepala dua lewat dua. Sadar kan, tua?" Ledek Ana sedikit penasaran akan hal yang dilihatnya. Gaya bicara remaja tanggung itu memang seperti nasi pecel yang dicampur segala sayur mayur. Kadang berbahasa Arab Ente Ana dan kadang bule Amrik aksen India. Intinya, suka-suka Arliana.
"Tolong anter gue ke terminal," sahut Lea kemudian melenggang bebas tanpa ada lagi koper di tangan.
"Sekarang? Minimal tunggu Ana packing juga," jawab sang adik ingin ikut.
"Gak. Gue mau me time, paham?" Ketus Lea tidak mau dibuntuti.
"Paham Kak Gem," pasrah Ana.
***
"Halo ayah? Denger suara Lea, gak?" Pekik Lea di tengah keramaian Terminal Arjosari.
"Kakak dimana? Kok berisik?" Jawab Pradana.
"Lea di terminal mau healing tapi gak tau kemana" Sahut Lea kebingungan.
"Kakak suka laut kan persis Ibu? Ayah kirim alamat kantor yang paling dekat pantai yaa... Nanti kamu ke sana aja, bebas lakukan apapun kemauan kamu," Pradana beribu-ribu kali menuruti perkataan putri pertama yang sering menerima luka, baik dari dirinya maupun mantan calon menantunya. Anggaplah ini penebusan dosa seorang pria.
Tut... tut...
Bunyi panggilan yang tertutup karena buruknya sinyal seluler.
"Jawa seluas ini kenapa harus banget ke tepi laut yang jaraknya 915 KM? Gapapa Lea, nikmati perjalanannya. It's okay" Gumam Lea frustasi melihat lokasi pantai yang berada di ujung barat pulau Jawa, sedangkan raganya masih menginjak ujung timur.
Ada kekurangan di balik jiwa yang berani untuk terus pergi memulihkan hati. Celah diri yang dijaga agar tetap rapat. Sembuh menjadi tujuan sesungguhnya dari perjalanan itu. Segala cara untuk melupa sudah ditelan matang-matang, namun masih menyisakan lapar berkepanjangan akan kasih sayang yang mungkin dapat terulang.
***
Rasaku telah sirna Tuan, tetapi ingatan perihal kita terlalu nyaman di kepala
-SEA
KAMU SEDANG MEMBACA
Kail yang Kosong
RomanceRiuh pertemuan yang paling menyenangkan kendati penuh batasan di tepi laut barat jawa. Sedikitnya ruang untuk kisah kita mampu melahirkan buih kenangan yang tak terhitung jari. Jika boleh sedikit egois, aku ingin bersama lebih lama dan tidak lagi be...