Semua anggota keluarga berkumpul di kamar utama. Suasana ruangan tampak suram dengan Mahendra yang tertunduk memandangi wajah damai anaknya yang masih belum sadarkan diri.
Ellen yang berada disampingnya mengusap punggung turun sang Suami. Berusaha meyakinkan bahwa anak mereka sekarang baik-baik saja.
Ellen dan Dion berada di sisi sebelahnya, mereka sama-sama berusaha untuk tidak lemah melihat kondisi Elang.
Helambang dan Yumita yang baru pulang perjalanan bisnis dari luar kota, merasa bersalah meninggalkan menantu mereka yang masih menjalani perawatan, dan ketika tiba mereka di mansion mereka disuguhkan pemandangan menyedihkan, belum lagi saat Mahendra pulang dari luar negeri dengan penampilan berantakan. Tak sekalipun besan mereka itu beranjak dari ranjang.
Mereka sama-sama kalut, apalagi Elang menolak keras tidak mau ke rumah sakit. Alhasil alat-alat medis yang dibutuhkan di bawa ke mansion untuk menunjang perawatan.
Dokter baru yang baru saja pergi setengah jam yang lalu setelah menyuntikkan obat. Elang pun masih dalam bawah alam sadarnya.
Tangan besar Mahendra mengelus pipi tirus Elang yang dipakaikan masker oksigen dan tambahan infus vitamin di tangan kurus itu.
Hanya saja, diare Elang masih belum berhenti, dan itupun bercampur dengan darah.
"Kita bawa Fano ke rumah sakit!" ucap Mahendra tak tega melihat feses anaknya cair keruh.
Herlambang menggeleng. "Tapi ini hanya akan membuatnya stress. Dokter juga bilang untuk tidak memaksakan kehendak kita, Hen."
Bantahan Herlambang disetujui yang lain, mereka tidak mau mengambil resiko bila hanya memperburuk keadaan Elang.
Launa mengusap bahu Mahendra yang naik turun. "Kita bicarakan ini di luar saja. Ini hanya akan mengganggu waktu istirahat Fano."
Satu-satu persatu mereka keluar, tanpa mereka sadari, Elang menunjukkan kesadaran.
Matanya terbuka sayu, sayup-sayup ia mendengar keributan di luar kamar, apalagi ia mendengar tangisan istrinya diteriaki Mahendra. Ia tidak bisa membiarkan itu, dengan sekuat tenaga ia duduk, dan tegak bertumpu dinding. Alat-alat medis yang menempel di tubuhnya pun ia lepas begitu saja.
Tepat ketika ia dekat dengan pintu. Ia mendengar lantang perkataan Mahendra mengacaukan pikirannya.
"Kenapa kalian menghalangiku membawa anakku ke rumah sakit?!"
Herlambang berusaha sabar menghadapi besannya ini yang terbawa emosi. "Ini hanya akan memperburuk kondisi mental Elang, Hen."
"Jangan menyebutnya Elang! Dia Fano Mahendra Nutukusma, anak kandung ku!" ucapnya dengan nada tinggi. Lalu matanya beralih menatap Ellen yang sedari tadi menangis.
"Kamu juga sebagai istri! Seharusnya kamu bisa membujuk Fano ke rumah sakit, beberapa kali anakku collapse dan kamu hanya memanggil Dokter ke sini tanpa perawatan intensif," tuturnya dengan tajam, dan matanya memandangi Dion yang terdiam.
"Kenapa kamu juga diam saja, Dion! Apa kamu nggak ingat gara-gara menyelematkanmu ayahmu menjadi seperti ini!" cecarnya.
Yumita yang mendengar anak dan cucunya disalahkan tidak terima. "Ini semua takdir! Siapa bisa menyangka hal ini akan terjadi ...."
Mahendra semakin muram mendengar itu. "Takdir katamu? Fano menjadi suami bayangan untuk menutupi kehamilan Ellen di luar nikah, apakah itu takdir? Selama bertahun-tahun Fano menjadi Kepala keluarga tetapi anak dan istrinya tak pernah menghormatinya, apakah itu takdir? Atau itu skenario kalian menjebak anakku untuk menjadi boneka kalian?!"
Launa mengusap bahu tegap Mahendra, ia menggeleng untuk tidak melanjutkan lagi perkataannya, ini sama saja membuka lama yang berusaha ia pendam.
Tidak sampai disitu saja, Mahendra mendekati Ellen yang terisak, memegang kedua pundak menantunya itu dengan kuat, menatapnya tajam, mengintimidasi setiap pergerakan.
"Apakah kamu sudah bisa melupakan Fero dan membuka lembaran baru dengan Fano? Atau apakah kamu hanya kasian terhadap keadaan Fano saat ini?"
Ellen bungkam, bibir kelu untuk menjawab pertanyaan itu. Ia masih ragu dengan perasaan ini, dilain sisi ia membenarkan ia merasa kasian dengan Elang selama ini, dan puncaknya ia menurunkan ego untuk memperhatikan suaminya itu. Namun di lain sisi, kenangan Fero masih tertinggal di hatinya.
Mahendra tersenyum miring tidak mendapatkan jawaban. "Ternyata benar, kamu hanya kasian selama ini."
Tanpa mereka sadari, Elang mendengar jelas perkataan menyakitkan Mahendra, kepalanya semakin lama semakin pusing, ingatan-ingatan masuk ke dalam otaknya saling bertabrakan.
"Mama aja nggak pernah tuh nganggap lo sebagai seorang suami, apalagi gue nggak sudi punya Ayah kayak lo! "
"KAMU HANYA ORANG ASING! INGAT KAMU BUKAN SIAPA-SIAPA DI RUMAH INI!"
"lo hanya bisa buat keluarga gue berantakan. Kenapa lo nggak mati aja, biar kami hidup senang!"
"Kau pembohong! Aku tidak bahagia hidup seperti ini, rasanya begitu sengsara sampai aku lupa bagaimana caranya untuk bahagia."
"Biarkan aku pergi dengan anakku. Kamu bukan ayahnya, hanya Fero yang pantas di posisi ini."
"Kau hanya Ayah sambung! Kau bukan orang yang kucintai. Jika saja Fero masih hidup, pasti kami bertiga hidup bahagia."
Ingatan-ingatan menyakitkan itu bagaikan kaset rusak yang terus berputar. Tubuhnya sempoyongan mencari tumpuan, hingga tanpa disadari langkah Elang menuju balkon kamar, ia berada pembatas balkon, hingga ketika kesadarannya hilang, ia jatuh ke bawah dari lantai dua, tubuhnya langsung tercebur ke dalam kolom renang bagian dangkal, membuat tubuh menghantam dasar lantai dengan kolom mulai bercampur darah.
Mereka yang masih sibuk bertengkar di luar kamar tidak menyadari sesuatu besar telah terjadi. Saat mereka mulai tenang, mereka memutuskan ke kamar, namun Elang tidak ada disana. Mereka kalang kabut mencari Elang disetiap sisi kamar, hingga mereka baru menyadari, pintu balkon kamar terbuka, dengan cepat mereka melihat kesana, Terpampanglah pemandangan menghancurkan hati semua orang.
"AAAAAA TIDAK!"
Dibawah sana, Elang mengambang di kolam renang dengan air keruh sekelilingnya.
Ellen jatuh terduduk dengan tatapan kosongnya, ia berusaha menyakinkan ini hanyalah mimpi. Hingga tepukan keras Yumita menyadarkannya.
"Nak, ayo kita susul yang lain."
Yumita menuntun Ellen yang hampir beberapa kali jatuh menuju lantai dasar, hingga pendengaran mereka menangkap keributan disana.
Rasanya nyawa Ellen ditarik paksa, menyaksikan Papi dan Papa mertuanya menarik Elang ke pinggir kolom dengan kondisi berdarah-darah.
Launa meraung-raung di tepi kolom, hatinya hancur-sehancurnya melihat kondisi anaknya mengenaskan.
Dion dengan tangan gemetar menelpon ambulance, matanya berlinang menjelaskan kejadian naas itu.
Elang digendong keluar dari kolom, wajahnya basah akan darah, dari kepala hingga bawah terus mengeluarkan cairan kental itu.
Herlambang dengan cepat memberikan pertolongan pertama, membuka kasar piyama tidur menantunya, menekan dada yang lebam itu berulang-ulang kali.
Tekanan dada itu mengeluarkan buih-buih putih bercampur darah, mata yang terbuka sayu itu hanya memandang kosong walaupun tubuhnya ditekan keras berulang kali.
Mahendra yang disampingnya, berusaha mengusap darah dan buih yang keluar dari mulut nan membiru, ia menangis keras tak sanggup melihat anaknya seperti ini.
Semuanya hancur dalam bersamaan, hari itu mereka lalui dengan perasaan hancur karena keegoisan.
Semesta kembali mengambil peran dalam permainannya, membuat satu nama menjadi tumpuan kebahagiaan dua keluarga diambang batas nyawanya.
TBC
Kita mulai penderitaan Elang sesungguhnya:)

KAMU SEDANG MEMBACA
Stay With Me (Terbit)
RomanceCinta tak pernah salah melabuhkan rasa, mengisi kekosongan yang tak pernah diinginkan, sampai hati yang dipaksa menerima, menggores luka tak pernah iba. Hingga hari itu tiba, penyesalan menghancurkan keegoisan semesta, membuka tabir ketulusan jiwa...