Pemuisi Misterius (2)

10 6 1
                                    

"Teduh pandanganmu, senyummu penaka arutala, membisu kala indra penglihatanku terkunci oleh nayanika mu"
-Edward Wijaya-

*********

Telah sampai gadis berbadan ramping itu di sebuah aula, tempat di mana Edward yang sedang berlatih sendiri membaca sembilah puisinya. Benar, ia sendiri di ruangan itu. Ruangan itu tampak luas dan menggema jika ada yang berteriak. Ayeesha berdiri termenung di bibir pintu yang menganga terbuka, sambil melihat kesungguhan Edward di atas panggung seraya mengeluarkan seluruh emosinya ketika meresapi isi-isi puisinya.

Edward pun melirik ke arah Ayeesha.

"Eh, Ayees, ngapain lo berdiri di situ? Duduk aja." Edward menyuruh Ayeesha untuk jangan berdiri terus di depan pintu, lalu cewek itu mengambil tempat duduk di paling dekat dengan panggung.

"E-eeh, iya, by the way barang-barang kamu udah aku bawain, nih."

"Oke."

Edward hanya merespon dengan memberikan jempol tangan kanannya.

Ayeesha terkesiap mendengar Edward membaca kalimat-kalimat ciptaan cowok itu dengan suara lantang. Ternyata dugaannya sudah berada di ambang fakta, bahwa Edward lah yang menulis kata-kata di papan mading di sekolah sampai sebanyak itu.

Selepas latihan Edward menghampiri cewek bermata kucing itu. Ekspresinya kian murung, saat terduduk sambil melepas letihnya ia menghembuskan napas berat kala itu. "Huh, capek banget."

Karena peka, Ayeesha langsung memberikannya air minum yang ia beli di kantin barusan. "Nih, biar hausnya hilang. Kasihan nanti tenggorakannya kering terus kalau gak minum," ujar Ayeesha.

"Makasih, ya."

"Sama-sama, Ed."

Rona senyuman gadis itu seperti permen gulali, manis. Bibirnya yang merah bak buah stroberi, membuat Edward sekejap tersedak saat melihatnya. Semakin hari semakin dalam rasa yang dia pendam pada gadis itu. Ia begitu mengagumi segala yang Ayeesha miliki.

"Astaga, kamu gapapa? Pelan-pelan dong minumnya, Ed!," tegur Ayeesha.

"Uhuk, uhuk. G-gue gapapa kok, cuma kesedak bias." Edward menimbal pernyataan Ayeesha tadi seraya terbatuk-batuk.

Posisi duduk mereka saling bersebelahan, namun Ayeesha memiringkan badannya condong menghadap ke Edward. Menyebabkan cowok berbadan lumayan tingg itu bertanya pada Ayeesha, "Lo kenapa ngelihatin gua segitunya, astaga."

"Gapapa. Justru aku salut sama perjuangan kamu selama di SMA ini. Sejak kita masih kelas sepuluh, kamu udah ikut-ikutan banyak lomba nulis, apalagi baca puisi begini. Gak capek?" tanya Ayeesha. Kemudian Edward merenung sejenak dan menjawabnya, "Apa yang gua lakukan saat ini, apa yang gua minati sekarang ini, itu bentuk terkecil dari separuh perjalanan gua menuju cita-cita & harapan. Jadi gua gak akan menyerah secepat itu. Walaupun melelahkan, kalau endingnya sesuai apa yang gua inginkan, kenapa tidak? Sekarang gua bikin ending itu sendiri, dengan keringat jerit payah gua."

Begitu tersentuh hati mungil Ayeesha ketika menyimak jawaban dari Edward. Memang anak ini terlahir untuk bekerja keras untuk meraih impian yang dia semogakan. Ditemani oleh pamannya, berdua saling menguatkan satu sama lain, apalagi Nichol sering memberikan Edward nasihat agar baik-baik dalam mengambil keputusan nantinya.

"Semoga apa-apa yang kamu inginkan bisa tercapai, ya. Makin tersentuh hati kecil ku waktu dengerin kamu cerita tadi," tutur Ayeesha.

Edward hanya mengangguk-angguk. Setelah berbincang-bincang selama 15 menit kiranya, cowok itu kepikiran untuk sepulang sekolah ini akan pergi ke toko buku Gramedia. "Ayees, habis pulang sekolah lo bisa gak temenin gua ke Gramed?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Chivanka dan HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang