"Kadang, cinta datang tanpa peringatan, tersembunyi di balik tatapan pertama yang tak terduga. Seperti hujan yang turun tiba-tiba, cinta pun hadir tanpa aba-aba, mengisi ruang kosong di hati yang tak pernah siap."
---
Hujan mengguyur sekolah dengan intensitas yang jarang terjadi di akhir semester seperti ini. Derasnya hujan menciptakan simfoni tersendiri, dengan setiap tetes yang menghantam genting dan mengalir deras di selokan. Di dalam kelas yang kosong, hanya tersisa satu suara yang terdengar yaitu suara pensil Dara Ayu Vrianka yang terus-menerus menorehkan angka di kertas tugas matematikanya. Ia duduk sendirian di barisan paling belakang, wajahnya kusut penuh frustrasi.
Dara, gadis yang dikenal tengil dan bandel oleh hampir semua guru di sekolah, terpaksa harus menyelesaikan tugas tambahan ini setelah ulahnya tadi pagi di kelas matematika. Pak Rudi, guru matematika yang sabar namun tegas, akhirnya memutuskan untuk menghukum Dara setelah ia dengan sengaja mengganggu penjelasan mengenai teorema Pythagoras. Dara bukanlah anak yang malas, ia hanya bosan dan tidak tahan berlama-lama dengan pelajaran yang dirasanya terlalu kaku dan membosankan. Tapi kali ini, Dara menyadari bahwa ia telah bertindak terlalu jauh.
Matematika selalu menjadi mata pelajaran yang membuatnya merasa terpojok. Setiap kali ia melihat deretan angka dan simbol yang rumit, otaknya seolah-olah berteriak untuk melarikan diri. Namun, ada satu hal yang selalu dibanggakan Dara, tekadnya. Sekalipun ia sering kali terlihat seperti anak yang tidak peduli, Dara tidak pernah menyerah pada sesuatu yang sulit, dan hari ini pun ia bertekad untuk menyelesaikan tugasnya, meski dalam hati ia menggerutu.
"Sial!" Dara mendesis pelan, menghapus salah satu coretannya di kertas. Ia telah mencoba menyelesaikan soal tersebut berkali-kali, tetapi hasilnya selalu salah. Ia merasa bahwa setiap kali ia merasa hampir berhasil, jawabannya malah semakin jauh dari kebenaran.
Mata Dara melirik ke luar jendela, melihat rintik hujan yang jatuh dengan derasnya. Hujan biasanya membuatnya merasa tenang, tetapi hari ini, ia hanya merasa terkurung, seolah-olah hujan itu adalah pengingat bahwa ia belum bisa pergi sampai tugas ini selesai.
Dengan tarikan napas yang panjang, Dara memutuskan untuk mencoba sekali lagi. Kali ini, ia mencoba mengingat kembali penjelasan Pak Rudi, tentang cara menggunakan rumus yang benar, tentang bagaimana setiap langkah harus diikuti dengan hati-hati. Ia memaksa dirinya untuk tetap fokus, dan perlahan-lahan, ia mulai melihat pola yang benar di antara angka-angka yang dulu hanya membuatnya pusing.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, Dara akhirnya menyelesaikan soal terakhirnya. Ia menatap kertasnya dengan rasa puas yang aneh. Meski ia tidak yakin apakah semua jawabannya benar, setidaknya ia telah menyelesaikan tugas itu. Rasa lega membanjiri dirinya saat ia merapikan buku catatannya dan memasukkannya ke dalam tas.
Saat Dara keluar dari kelas, hujan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Ia berjalan menyusuri koridor sekolah yang kini hampir sepenuhnya sepi. Langit gelap menambah kesan sunyi, dan hanya ada suara langkah kakinya yang terdengar jelas di lantai yang basah.
Ketika Dara sampai di lorong terbuka yang mengarah ke lapangan basket, ia berhenti sejenak. Pandangannya tertarik pada sekelompok anak laki-laki yang masih asyik bermain basket di bawah hujan. Meskipun cuaca sedang tidak bersahabat, mereka tampak tidak terganggu sedikit pun. Tawa dan teriakan mereka bergema di udara, seakan-akan tidak ada yang lebih penting daripada bola basket yang sedang mereka kejar.
Di antara mereka, sosok yang paling mencolok adalah Marcelio Tirta Pratama, atau yang lebih dikenal sebagai Marcel. Meski basah kuyup, Marcel tampak tidak peduli. Dengan posturnya yang tinggi dan wajah serius yang hampir selalu tak berubah, Marcel bergerak di lapangan dengan kelincahan dan keahlian yang sulit ditandingi. Setiap kali bola dilempar ke arahnya, Marcel menangkapnya dengan mudah dan melemparkannya kembali dengan presisi yang menakjubkan.
Dara menatap Marcel dengan perasaan campur aduk. Ia tahu betul siapa Marcel. Semua orang di sekolah tahu. Marcel adalah siswa yang terkenal dengan kecerdasannya, terutama dalam matematika. Dia selalu berada di puncak kelas, tidak pernah sekalipun turun peringkat. Namun, yang membuat Marcel begitu menonjol bukan hanya kecerdasannya, tetapi juga sikapnya yang dingin dan ketus. Meski banyak yang mengagumi Marcel, sedikit yang benar-benar berani mendekatinya, karena sikapnya yang cenderung tidak ramah.
Meski demikian, Marcel selalu dikelilingi oleh teman-teman, lima anak laki-laki yang setia menemaninya ke mana pun dia pergi. Mereka adalah geng yang cukup terkenal di sekolah, baik karena kepintaran mereka maupun karena popularitas Marcel yang tak terelakkan. Bersama-sama, mereka seolah menjadi kelompok yang tidak tertembus, selalu kompak dan solid dalam segala hal.
Dara merasa seolah-olah ada tembok yang tak terlihat memisahkannya dari mereka. Meski ia juga punya teman-teman sendiri,dua sahabat yang tingkah lakunya sering kali absurd dan lucu. Dara tahu bahwa dirinya dan Marcel berada di dunia yang berbeda. Marcel adalah tipe orang yang serius, yang selalu fokus pada apa yang dilakukannya. Sedangkan Dara, meski pintar dalam hal-hal tertentu, lebih suka mengabaikan aturan dan mencari cara yang lebih menyenangkan untuk menjalani hari-harinya.
Namun, ketika Marcel berbalik untuk menerima bola dari salah satu temannya, mata mereka bertemu. Dara merasa seperti dihantam oleh kejutan yang tak terduga. Tatapan Marcel dingin dan tajam, penuh dengan ketegasan yang sering membuat orang lain merasa canggung. Tidak ada senyum, tidak ada ekspresi hangat, hanya ketenangan yang tak tergoyahkan.
Dara, yang biasanya penuh percaya diri dan selalu siap menggoda siapa pun, mendapati dirinya sedikit terintimidasi oleh tatapan Marcel. Namun, bukannya berpaling, Dara mempertahankan pandangannya. Ia menantang Marcel dengan matanya, meskipun ia tahu bahwa tatapan itu mungkin tidak berarti apa-apa bagi Marcel. Baginya, ini bukan sekadar tatapan biasa. Ini adalah pertemuan dua kepribadian yang sangat berbeda, namun entah bagaimana terhubung oleh sesuatu yang belum bisa dijelaskan.
Marcel, meskipun tidak menunjukkan perubahan emosi yang jelas, tampak sedikit tertarik pada keberanian Dara. Tatapan mereka bertahan lebih lama dari yang seharusnya, seakan-akan ada sesuatu yang tidak terucap antara mereka. Tapi sebelum Dara bisa menyadari apa yang sebenarnya terjadi, Marcel mengalihkan pandangannya kembali ke permainan.
Dara tertegun sejenak, merasakan adrenalin yang mengalir dalam dirinya. Dia tidak tahu mengapa, tapi pertemuan singkat itu meninggalkan kesan yang mendalam. Mungkin karena Marcel adalah seseorang yang selalu tampak tak terjangkau, dan kini, dia telah berinteraksi dengannya, meskipun hanya sekilas. Atau mungkin karena, meskipun mereka tidak pernah benar-benar berbicara, Dara merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam di balik sikap dingin Marcel yang membuatnya penasaran.
Saat Dara melanjutkan langkahnya, meninggalkan lapangan basket yang masih dipenuhi suara tawa dan sorakan, pikirannya terus kembali pada tatapan singkat itu. Hujan masih mengguyur, membasahi seragamnya dan membuat rambutnya menempel di wajah. Namun, Dara tidak peduli. Ada sesuatu yang lebih besar yang kini mengisi pikirannya.
Dara melangkah keluar dari lorong, menantang hujan yang semakin deras. Sementara di lapangan, Marcel dan teman-temannya terus bermain.
---HEMLOOOO 👋🏻👋🏻, ini cerita pertama aku. kalau ada kesalahan tolong di beritahu yahhhh.
terimakasih yang udah baca 🙇🏻♀️🙇🏻♀️
woppyuu semuanyaah
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumus Hati [on going]
Teen FictionBagi Dara matematika bukan sekadar pelajaran yang membingungkan itu, adalah tantangan yang menunggu untuk ditaklukkan, meskipun sejauh ini ia selalu kalah. Dara dikenal sebagai anak yang tengil dan bandel di sekolah. Ia suka membuat gurunya kewalaha...