Arundina duduk di sebuah halte yang sedikit ramai. Beberapa pekerja dan pelajar berkumpul di satu titik itu, menunggu bus yang akan membawa mereka ke tujuan masing-masing. Netranya memandang jalanan Jakarta yang ramai akan kendaraan. Dulu saat keluarganya masih harmonis, Arundina dan Kakaknya akan diantar oleh ayah mereka dengan mobil dan melewati jalan tersebut. Ah, betapa rindunya ia dengan hal itu.
Arundina menyumpalkan earphone di telinganya. Memilih untuk memutar lagu santai supaya moodnya tetap baik. Karena hari ini adalah hari pertama ia pindah ke sekolah baru. Lihat saja, seragamnya pun kini berbeda. Terlihat mewah. Bukan putih abu-abu pada umumnya melainkan seragam putih dibalut jas cokelat muda. Rok selututnya berwarna merah maroon.
Ia pun tak menyangka pada akhirnya akan seperti ini. Mendapatkan beasiswa di sekolah seni yang terkenal di Jakarta. Itu semua berawal dari ia yang mendapatkan penghargaan juara satu tingkat nasional lomba melukis.
Beberapa saat kemudian bus datang. Orang-orang disana langsung bergegas menuju bus. Tak terkecuali Arundina yang bahkan sampai lupa bahwa ia menaruh sketchbook miliknya di samping dirinya.
Hingga ada seseorang yang sama sekali tak beranjak dari halte itu menyadarinya. Ia melihat sketchbook milik Arundina tergeletak di bangku halte. Laki-laki berjaket hitam itu mengedarkan pandangannya di sekitaran halte. Sepi. Mungkin pemiliknya adalah salah satu penumpang bus yang beberapa menit lalu melaju, pikirnya.
Tanpa babibu laki-laki yang baru saja menelpon temannya langsung menghampiri benda tersebut.
"Arundina?" gumam laki-laki itu. Sketchbook yang tertinggal kini berada di tangannya. Tanpa sengaja ia melihat sebuah foto usang terjatuh dari sana. Lantas ia mengambilnya.
"Kayak pernah liat, tapi dimana ya?"
Ia memandang foto usang tadi. Foto sebuah keluarga sepertinya. Ia melihat fotonya tak begitu jelas pada bagian wajah.
"Woy, Sa! cepetan nanti kita telat ege!" Seruan tadi menyadarkan laki-laki yang bernama Harsa. Lantas ia segera menaruh foto tadi ke dalam sketchbook dan memutuskan untuk menyimpannya di dalam tas. Ia sedikit berlari menuju teman yang sudah ia telfon sebelumnya untuk menjemput.
🎨🎨🎨
SMA Seni Edelweiss.
Arundina menatap lekat gerbang sekolah barunya. Ada kekaguman terselip kala melihat gedung sekolahnya. Terlihat halaman cukup luas. Sangat berbanding terbalik dengan sekolahnya yang lama.
Tatapannya beralih ke sekitar. Terlihat siswa-siswi yang berjalan masuk ke gerbang. Sudah menjadi rahasia umum kalau kebanyakan orang tua dari mereka pengusaha bahkan anak pejabat.
Arundina menghela nafasnya pelan. Ia gugup, sungguh. Dirinya hanya takut tak memiliki teman. Belum lagi tatapan mata mereka memandang Arundina aneh, sinis, dan juga bingung.
Karena tak mau berlama-lama disana, Arundina memantapkan langkahnya masuk ke dalam. Sebelumnya Arundina tak mengetahui akan ditempatkan di kelas mana. Maka dari itu, ia mencari-cari ruangan seseorang yang menawarkan beasiswa dan membantu mengurus segala administrasi.
"Lo Arundina, 'kan?"
Arundina menoleh. Dari arah kanannya ada seorang laki-laki berkacamata menghampiri. Ia berhenti tepat di depan Arundina lalu menyodorkan tangan kanannya.
"Kenalin gue Bramastya Kendrick. Panggil aja Bram, ketua OSIS di sini," ucap Bram sembari tersenyum.
Arundina menatap bingung Bram dan membalas jabatan tangan itu."Gue Arundina Kalandra. Panggil aja Aru."
KAMU SEDANG MEMBACA
Painting My Pains
Teen FictionBagi Arundina Kalandra, melukis adalah sebagian dari hidupnya. Dengan melukis Arundina bisa menghilangkan semua rasa sakit yang hinggap di dirinya. Hanya satu yang ingin ia rasakan, bahagia. Masalah hidupnya malah bertambah kala ia dipertemukan deng...