Short Story

6 0 0
                                    

Tinggallah seorang Putri di sebuah Kerajaan yang permai, Putri itu bernama Galathea de Carne. Putri Galathea memiliki saudara kembar bernama Putri Elenora de Carne yang merupakan kakak sekaligus pewaris takhta Kerajaan. Mereka berdua berparas rupawan, terlahir di hari yang sama, namun memiliki sifat yang berbeda.

Si bungsu merupakan gadis yang ceria, cantik jelita, memiliki kepribadian cukup bebas, kepeduliannya terhadap kalangan menengah kebawah membuat dirinya amat dicintai oleh rakyatnya. Sementara itu, Si sulung merupakan sosok wanita tegas, wanita yang bisa menjadi pemimpin bagi bangsa itu. Inilah Kerajaan yang mereka tinggali, Kerajaan Carne.
    
Kerajaan itu dipimpin oleh Raja Authur dan Ratu Helena. Keluarga Bangsawan itu hampir selalu menurunkan ciri khas mereka pada setiap generasi, yakni rambut fluorit ungu dengan mata iolit yang terlihat indah di kegelapan. Di luar Kerajaan, mereka tampak seperti keluarga yang harmonis, kenyataannya tidak demikian. Terdapat garis yang membatasi hubungan antara satu dengan lainnya, terutama antara Putri Galathea dengan Putri Mahkota, Elenora.
    
Entah sejak kapan hubungan keluarga ini menjadi renggang, tidak ada yang menyadarinya termasuk diriku sendiri, Galathea. Sampai pada suatu ketika, saat kami masih berusia 7 tahun.
    
“Putri Elenora, anda dipanggil oleh Baginda Raja.”

Kata seorang pelayan wanita yang datang ke kamar tidur kami. Lantas Putri Elenora pun pergi dari kamar itu, meninggalkan aku sendirian bersama pelayan wanita yang menyampaikan pesan itu.
    
“Maaf sudah mengganggu waktu bermain kalian..” Katanya dengan nada bicara sopan sembari sedikit menundukkan kepala. Putri Galathea membalasnya dengan bahasa tubuh melambaikan kedua tangannya, “T-Tidak, tidak masalah, keputusan ayah adalah keputusan mutlak” kataku, pelayan wanita itu masih merasa bersalah, padahal dia tidak perlu sampai sebegitunya..
    
Tanpa memerlukan waktu lama, kakak kembali ke kamar setelah berbincang dengan ayah. Namun ada yang aneh dengan kakak, wajahnya sedikit pucat seakan baru saja bertemu binatang buas.

“Kak?”

Kataku untuk mengalihkan perhatian kakak, “Iya dek?” Dia baru saja melamun, pikirannya tidak ada di tempat. “Kaka gapapa?” Kepalanya seakan dipenuhi oleh beban berat, “Gapapa kok dek, lanjut main ajaa.” dan benar, ada yang kakak sembunyikan dariku.

•••

“Ada ayah.. ada mama.. ada kakak jugaa.”

Aku dengan asyik menggambar menggunakan krayon berisi 208pcs dengan ukuran dan variasi yang bermacam-macam di buku gambar A4 bersampul Putri Cinderella.

“Yang terakhir ada adek!” Kakak hanya menonton sembari tersenyum jika aku sedang menggambar. “Ayoo, kakak juga ikut gambar.” Ajakanku penuh antusias, “Tapi kakak gabisa gambar dek, ga dulu dehh” Lagi lagi kakak memasang senyum kecut nya itu setiap dia menolak kemauanku.
    
Jam raksasa nan tua di tengah kota yang berbunyi ketika malam hari menjadi tanda bagi keluarga kami untuk makan malam. Makanan dihidangkan penuh di meja ruang makan, 8 buah kursi berjejer di kanan dan kiri meja panjang itu, 1 kursi yang berada di ujung tengah menjadi pusat dari acara makan malam, kursi Raja.

Seperti biasa, Ratu duduk di samping kiri Raja, sementara aku duduk di salah satu kursi kosong tepat di sebelah kanan Raja.

“Tunggu.”

Ayah menahan ku untuk duduk di sisinya, biasanya tidak seperti ini..
    
“Putri Elenora”

Kata ayah, seluruh pandangan termasuk para pelayan tertuju padanya.

Putri Mahkota, Elenora

Ayah mengulang ucapannya, dia menekan kata ‘mahkota’ tepat di hadapan semua orang yang berada di ruang makan. Seisi ruangan menjadi hening, kakak memecah keheningan itu dengan melangkah ke arah ayah dan duduk di kursi samping kanannya, seakan paham maksud ayah.

TAKHTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang