Langkah Pertama

2 0 0
                                    

Semburat cahaya matahari mengintip seorang gadis dengan rambut pendek yang sedang meringis, sekali-kali memegang kepala. Ia nampak bingung, mencoba mengingat. "Ahh.. " rintihnya, sambil mengerjap karena silau dari arah pintu yang sedikit terbuka. Ia di dalam kelas. Tak ada seorangpun disana. "Rei, kamu di mana?" ia menggumam. Setelah tertatih dari bangku, ia berjalan keluar terpoyong-poyong.

Matanya membelalak. "Ya tuhan..." Puluhan mayat bergeletak, dinding sekolah penuh dengan darah merah menggelegak. Satu di antara mayat itu ada yang masih menggerak gerakan jari. Gadis itu syok. "F-Farah.. " ucap seorang siswa yang terluka parah itu ke arahnya, perlahan siswa itu mengambil nafas dengan berat, lalu menghembuskan nafas terakhir sambil terbata-bata, "La-lari dari sini..."

Farah tak bisa berkata-kata. Ia tidak tahu harus bagaimana. Ia pun tak ingat terakhir kali ia pingsan karena apa. Yang terlintas di kepalanya hanya satu nama, "Rei." ucap Hatinya. Rei adalah orang terakhir yang ia ingat sebelum pingsan.

Dengan gemetar ia membuka ponsel, jemari kurus itu mencoba menelpon. Sia-sia. Tak ada sinyal. Ia risau, tak tahan untuk menitihkan air mata. Nafasnya memburu, keringat dingin mulai menghantuinya. "Apa yang terjadi di sekolah ini?!"

Ia menyeka kedua matanya, lalu berjalan ke setiap lorong di lingkungan sekolah menengah atas yang sangat luas itu. Yang kini diwarnai merah legam dengan tumpukan mayat siswa-siswi bahkan guru.

Farah kemudian melihat satu orang gadis yang tak asing di matanya sedang berdiri, "R-Riska?" sahutnya. Riska menoleh, namun tatapannya dingin.

Perasaan Farah lega, ia menghela nafas. "Syukur aku bisa ketemu kamu. Aku gak paham situasi sekarang. Aku juga gak inget apa-apa. Kamu lihat Rei, gak?"

Riska terngenges, "di titik ini lu masih aja peduliin dia? Sejatuh cinta itu, lu sama dia?"

Farah mengernyit. Riska kemudian berjalan mendekat sambil berbicara, "Gua udah nunggu situasi ini dari lama, keparat dengan yang namanya prestasi, rangking, nilai." Riska menunjukkan senyum aneh, "Lu itu kayak kecoa. Berisik kalo di kelas. Terus elu pasang topeng di depan orang-orang supaya mereka mengakui keberadaan elo. Di lain sisi, gue, cewek pemurung yang duduk paling ujung, gak pernah lu sentuh sama sekali."

Alis Farah makin menaut, ia mencoba tenang, "Ris.. aku bahkan gak ngerti kenapa semua ini terjadi."

"Lu itu gak peduli dengan yang lain. Egois." Riska merogok saku yang ada di dalam switernya. "Sama brengseknya dengan pacarlu sendiri, penjilat guru supaya dapat nilai. Sedangkan gua, hanya mengandalkan otak, selalu berada di bawahnya." Riska terngenges, "Ternyata otak gak bisa menangin hati seorang, tetapi lidah dan kebohongan, bisa."

Farah mundur beberapa langkah. Perasaannya mulai tidak enak. "Ris?"

Dengan cepat Riska mengayunkan sebilah pisau ke arah badan Farah... TRANGG

Kepala Riska ditimpuk seorang siswa. "MAKAN TUH OTAK." teriak lelaki itu sambil menenteng bilah besi.

 "Rei?!" ucap Farah, kaget. "Ka-kamu ngebunuh Riska?" tanyanya, seakan tak percaya teman sebayanya tak sadarkan diri.

"Ayo cepat ikut aku. Sekarang bukan waktunya bertanya," Rei mengulurkan tangan. Farah masih bingung, tetapi Rei segera meraih tangannya. Mereka berlari ke tempat yang aman.

"Rei, aku bener-bener gak paham situasi sekarang.. Aku bingung.. Aku pengen pulang.. " Farah menangis lalu sesaat kemudian Rei memeluknya. "Aku juga gak paham.. Tapi, sekarang kita coba keluar sama-sama, ya." ucapnya, pelan. Farah mengangguk.

"Aku sudah mencoba nelepon, tapi gak ada sinyal."

"Semua sinyal radio udah dipadamkan, kayaknya. Tapi ada satu telepon yang ada di ruang guru. Kita harus kesana."

"Nggak, Rei." Farah melepaskan pelukannya, lalu menatapnya dengan tajam. "Jawab. Apa yang udah kamu lakuin ke aku sebelum semua ini terjadi? La-lalu, kenapa keadaan jadi gini. Terus, kenapa kamu ngebunuh orang. Riska itu manusia, Rei, Teman kelas kita!" Ia memberi pertanyaan bertubi-tubi. Rei hanya bisa diam. Mencoba tenang. Lalu mendekatinya perlahan.

"Farah.. Pertama, kamu pingsan gara-gara lihat darah. Kedua, ini rumit, tetapi intinya ada provokator yang menyulut emosi siswa untuk saling membunuh. Ketiga," Rei mengambil nafas, "membunuh, atau dibunuh." Ia menatap mata Farah yang kalut tak percaya. "Sekarang, kamu mau ke ruang guru untuk mencari telepon, atau tetap disini bermain ular tangga dengan para psikopat?"

Farah menelan ludah. Kemudian ia memeluk Rei. Membisik, "Aku hanya tidak mau kita berdosa." Ia pun menangis, sejadi-jadinya.

***

Seorang pria paruh baya memakai jas putih tengah menelpon. Ia tersenyum sambil memandang lingkungan sekolah dari balkon lantai atas. Ia menyeringai... Menaikkan kacamatanya. Bergumam dengan nada serak.

"Ini baru langkah pertama."

Bersambung

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PSYCHO TEST! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang