Chapter 11

554 63 35
                                    

Happy Reading, Love.

...

Yogyakarta, 09 Agustus 2024

Pagi itu terasa begitu suram bagi Shun. Setelah malam yang penuh dengan emosi dan kekacauan, ia terbangun dengan perasaan yang berat, kepalanya terasa pusing, dan tubuhnya lemah. Langkah-langkahnya menuju dapur terasa berat, seolah setiap langkah membawa beban dari semua yang terjadi malam sebelumnya. Hanya keinginan sederhana untuk mendapatkan segelas air yang membuatnya terus berjalan.

Ketika Shun sampai di dapur, matanya menangkap pemandangan yang mengejutkan-dua lembar roti panggang dengan selai sudah tersaji di atas meja. Di sampingnya, terdapat beberapa catatan kecil yang ternyata ditinggalkan oleh Dai yang ditujukan untuknya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Shun mengambil satu catatan dan membacanya. Kata-kata sederhana yang tertulis di sana, penuh dengan perhatian dan kepedulian yang tulus. Dai, meski malam sebelumnya diperlakukan dengan kasar, tetap menunjukkan cintanya melalui hal-hal kecil.

Shun duduk di kursi, mengambil sepotong roti dan mulai mengunyahnya perlahan. Setiap gigitan terasa seperti beban di hatinya, mengingatkan betapa buruknya sikapnya terhadap Dai malam sebelumnya. Mata Shun mulai berkaca-kaca, dan tanpa bisa menahannya, air mata jatuh ke pipinya. Tangisannya terasa sunyi, seperti hujan yang turun lembut di pagi yang dingin.

Dai adalah orang yang selalu ada untuknya, yang selalu mencoba memahami dan mendukungnya. Shun tahu itu, tetapi rasa sakit dan kekacauan dalam dirinya sering kali membuatnya sulit untuk menerima kebaikan itu dengan hati terbuka. Namun, pagi itu, dengan roti panggang di tangannya dan air mata yang mengalir, Shun merasa bersalah dan menyesal. Ia tidak ingin terus-menerus melukai orang yang begitu peduli padanya.

Perasaan bersalah itu semakin berat ketika Shun ingat bagaimana dia berteriak pada Dai malam sebelumnya, memintanya untuk tidak peduli dan menjauh darinya. Sementara sebenarnya, yang paling Shun inginkan adalah kehadiran Dai di sisinya. Shun tahu ia perlu meminta maaf, tetapi rasa malu dan takut menambah beban di hatinya. Bagaimana jika Dai benar-benar menjauhi dirinya setelah semua ini? Bagaimana jika, setelah segala kata-kata kasar yang diucapkannya, Dai memutuskan untuk tidak lagi peduli?

Shun menghapus air matanya, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari itu. Ia harus berbicara dengan Dai, meminta maaf, dan berharap Dai bisa memahami kekacauan yang ada dalam dirinya. Shun tidak ingin kehilangan Dai, satu-satunya orang yang dengan sabar berusaha memasuki dinding-dinding yang selama ini ia bangun di sekeliling hatinya.

Selesai menghabiskan rotinya, Shun memutuskan untuk menghubungi Dai. Ia mengambil ponselnya, tetapi entah kenapa, pesan yang ingin ia kirim terasa begitu sulit untuk ditulis. Akhirnya, dengan jari-jari yang sedikit gemetar, Shun mengetik pesan singkat, "Maaf soal yang tadi malam, Dai. Ada yang perlu lo tau, jadi mari kita bicara nanti." Shun menatap layar ponselnya sejenak sebelum akhirnya mengirimkan pesan itu.

" Shun menatap layar ponselnya sejenak sebelum akhirnya mengirimkan pesan itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Moonlit EmbraceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang