one

486 54 2
                                    

Enjoy-♡

🌼🌼🌼

Jeva—atau Jeje, begitu dia biasa dipanggil oleh teman-temannya—berjalan dengan penuh semangat sambil menarik kopernya. Hari ini, dia akan pindah ke kosan yang akan menjadi rumahnya selama masa kuliah. Dua sahabatnya, Sena dan Juniar, sudah lebih dulu menempati kosan yang terkenal nyaman ini, milik Budeh Sri. Tapi anehnya, sejak pagi tadi, kedua temannya itu tidak bisa dihubungi. "Kemana sih?!" gumamnya sambil terus berjalan.

Setelah beberapa menit, Jeva akhirnya tiba di depan sebuah rumah besar dengan plang bertuliskan “Kos Pakdeh Joko”. Dengan penuh percaya diri, tanpa melihat plang, dia mendorong pintu pagar dan masuk. Tanpa curiga, dia melangkah masuk ke dalam rumah, mengira inilah tempat yang sudah dia tunggu-tunggu.

Di ruang tengah, seorang pria duduk di sofa, tampak fokus pada ponselnya. Rambut hitamnya tertata rapi, dan tubuhnya yang tinggi serta wajahnya yang terlihat galak membuat Jeva sedikit ragu. Tapi, dengan keyakinan bahwa ini adalah kosan yang benar, dia tetap melangkah masuk dan menyapa, “Pagi!”

Pria itu melirik sekilas ke arah Jeva, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. “Pagi,” jawabnya singkat, nadanya datar.

“Hai! Gue Jeva. Mau ngekos di sini,” kata Jeva, mencoba bersikap ramah.

Pria itu—yang ternyata adalah Mahesa atau Mahes, kakak tingkat semester 3 di Fakultas Teknik—mengernyitkan dahi, tampak sedikit bingung. “Ngekos?”

Jeva tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Iya, ini kosan budeh Sri kan?” mata nya melihat kesana kemari.

Mahes hanya menghela napas pelan, masih dengan wajah galak dan tanpa senyum. “Ini kos Pakdeh Joko.”

Wajah Jeva langsung pucat. “Eh, serius? Gue salah kos?”

Mahes hanya mengangguk pelan, tidak menunjukkan sedikitpun empati. “Iya.”

Jeva merasa mukanya memanas karena malu. Dengan cepat, dia meraih kopernya lagi dan buru-buru keluar dari rumah itu. “Aduh... Maaf!” katanya tergesa-gesa, sambil berjalan cepat meninggalkan ruang tengah.

Begitu Jeva keluar dari pintu dan kembali ke jalan setapak, dia berhenti sejenak untuk menarik napas dalam-dalam. "Sial, kok bisa salah kos gitu, sih?" gumamnya, masih merasa kesal dengan dirinya sendiri. Dia melirik kembali ke arah rumah besar itu dan tanpa sadar mulai mengomel. "Dan tuh cowok… galak banget mukanya, cuek pula! Kayak patung hidup!"

Jeva menggerutu sambil melangkah pergi, tak menyadari bahwa Mahesa mendengar sebagian dari keluhannya melalui jendela yang terbuka. Tapi Mahesa tidak terlalu pedulu, ia kembali ke aktivitasnya seolah tak terjadi apa-apa.

Jeva terus berjalan menuju kosan Budeh Sri yang sebenarnya, masih merasa malu dan kesal pada dirinya sendiri. "Ini hari pertama, udah bikin malu aja. Semoga nggak ketemu lagi sama tuh orang!" pikirnya, berusaha menghilangkan rasa malu yang masih terasa.

Setelah insiden salah kos yang memalukan tadi, Jeva akhirnya tiba di depan rumah yang benar—kosan Budeh Sri. Rumahnya terlihat lebih kecil dan sederhana dibandingkan dengan kos Pakdeh Joko, namun terasa lebih hangat dan bersahabat. Plang yang bertuliskan “Kos Budeh Sri” menggantung di pagar, seakan-akan mengejek dirinya karena tidak memperhatikan dengan lebih teliti.

Jeva menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mengetuk pintu. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah muncul di hadapannya. “Oh, kamu pasti Jeva, ya? Sena sama Juniar udah bilang kalau kamu mau datang hari ini,” kata wanita itu dengan suara lembut.

“Iya, Bu... eh, Budeh,” jawab Jeva sambil tersenyum canggung. “Maaf telat sedikit.”

“Tidak apa-apa, masuk saja. Kamar kamu sudah disiapkan,” jawab Budeh Sri sambil mempersilakan Jeva masuk. Rumah itu memang terlihat lebih sederhana dari luar, tapi di dalamnya terasa hangat dan nyaman, dengan perabotan yang ditata rapi dan aroma masakan yang menggugah selera.

Saat Jeva masuk dan melihat sekeliling, dia tak bisa menahan senyum. Tempat ini memang jauh dari mewah, tapi terasa seperti rumah yang sebenarnya. Budeh Sri mengantar Jeva ke kamarnya di lantai atas, sebuah ruangan kecil tapi cukup nyaman dengan jendela yang menghadap ke halaman belakang.

“Sena sama Juniar lagi keluar belanja, tapi mereka bilang akan segera pulang,” kata Budeh Sri sambil membantu Jeva meletakkan koper di sudut kamar. “Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan sungkan bilang ke Budeh, ya? Anggap saja ibu sendiri.”

Jeva mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih, Budeh. Saya rasa sudah cukup.”

Setelah Budeh Sri keluar dari kamar, Jeva duduk di tepi tempat tidurnya dan menghela napas lega. Namun, pikirannya kembali teringat pada insiden di kos Pakdeh Joko. “Tuh cowok tadi... siapa, ya? Kenapa galak banget?” gumamnya sendiri. “Semoga nggak ketemu lagi deh, serem mukanya.”

Jeva mencoba melupakan insiden tadi dan mulai membongkar kopernya. Dia baru saja mulai mengatur barang-barangnya ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan keras. Sena dan Juniar muncul dengan senyum lebar di wajah mereka, membawa beberapa kantong belanjaan.

“Jeje! Akhirnya sampai juga!” teriak Sena sambil menjatuhkan kantong belanjaan dan memeluk Jeva erat-erat.

Juniar yang lebih tenang tapi tak kalah senang, tersenyum lebar. “Udah sampe dari tadi, Je? Maaf nggak bisa jemput, kita lagi belanja buat kos.”

Jeva tersenyum lebar melihat kedua sahabatnya itu. “Nggak apa-apa, kok. Gue udah ketemu Budeh Sri tadi. Kalian belanja apa aja?”

Sena membuka satu kantong belanjaan dan mengeluarkan beberapa barang kebutuhan sehari-hari, mulai dari sabun, shampo, hingga makanan ringan. “Ya, buat kebutuhan kita sehari-hari. Biar nggak bolak-balik ke warung.”

Juniar, yang biasanya lebih lambat dalam merespon, tiba-tiba menatap Jeva dengan ekspresi serius. “Eh, tadi di jalan sini, lo salah masuk kosan ya?”

Jeva langsung tersipu malu. “Iya, kok tahu?”

Sena tertawa keras. “Ya ampun, Je! Gue udah bilang dari dulu, jangan keburu-buru kalo ngapa-ngapain. Tapi, gimana ceritanya?”

Jeva menggaruk kepala yang tidak gatal dan mulai menceritakan kejadian tadi pagi. Bagaimana dia dengan percaya diri masuk ke kosan yang salah, bertemu dengan pria yang galak dan cuek, hingga akhirnya sadar kalau dia salah tempat.

“Mukanya tuh galak banget, terus jawabnya datar kayak patung. Bikin gue makin malu aja,” kata Jeva sambil mengerutkan dahi, mengingat kembali momen memalukan itu.

Sena tertawa lagi, hampir terjatuh dari tempat tidur karena terlalu keras menertawakan cerita Jeva. “Hahaha, untung lo nggak kenapa-kenapa. Tapi serius, lo nggak tanya siapa namanya?”

Jeva menggelengkan kepala. “Enggak. Gue cuman mau cepat-cepat keluar dari situ aja, sumpah malu banget.”

Juniar yang biasanya pendiam tiba-tiba menambahkan, “Ya mungkin nanti bakal ketemu lagi, siapa tahu.”

Jeva hanya bisa menghela napas, berharap itu tidak terjadi. Dia memutuskan untuk melupakan kejadian tadi dan fokus pada hari pertamanya di kosan baru ini.

Tapi dalam hati kecilnya, Jeva merasa bahwa insiden ini mungkin hanya awal dari sesuatu yang lebih besar yang akan terjadi di masa depannya.

🌼🌼🌼

gimana nihhh? ♡ ~♡

A𝐜𝐜𝐢𝐝𝐞𝐧𝐭𝐚𝐥𝐥𝐲 𝐦𝐞𝐭 𝐲𝐨𝐮; 𝐊𝐚𝐭𝐢𝐧𝐠 𝐠𝐚𝐥𝐚𝐤 - HEEJAKE -Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang