°°°
Sehancur apapun hidup kita,
jika masih punya tujuan, akan tetap berarti.°°°
Kalimat itu muncul tepat lima menit sebelum seorang gadis memutuskan untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam sebuah ruangan. Di saat jantungnya berdebar tak beraturan, nafas memburu dan mata sembab. Melalui siaran, ia mendengar seorang penulis yang karyanya baru saja naik akhir-akhir ini mulai menceritakan perjalanan hidupnya, seluruh penonton dibuat takjub bahkan menangis mendengar kenyataan pahit yang wanita tersebut jalani.
Sepanjang proses, butuh waktu bertahun-tahun untuk penulis bangkit, tak ada satupun kerabat dekat mendukungnya, impiannya menjadi seorang penulis sejak kecil selalu mendapat tanggapan buruk. Berkali-kali ia mencoba memberi pembuktian namun nihil hasilnya, karena ia hidup sendiri dan tidak ada yang mempercayai nya.
Kisah itu tidak diceritakan secara mendalam, penulis hanya menyebutkan poin-poin penting yang bisa dipetik. Dua menit telah berlalu, orang-orang sibuk dengan aktivitasnya dan sang gadis belum melanjutkan langkahnya.
“Pesan apa yang ingin anda sampaikan kepada para penulis di luar sana?” Suara penonton di balik layar melayangkan pertanyaan. Penulis itu tersenyum, memperbaiki posisi duduknya.
“Hm... Aku tidak akan mengatakan ini sebagai seorang penulis, melainkan sebagai diriku di masa lalu.” Ujar penulis.
“Buat kamu… siapapun yang sekarang tengah menghadapi kesulitan, tidak ada tujuan, merasa kesepian, bahkan gugur impian. Jangan menyerah begitu saja. Mungkin hal ini perlu pengorbanan, karena kamu hanya seorang diri. Tapi percayalah, ini bukan akhir yang sia-sia.”
Penulis menghembuskan nafas pelan. Menatap serius kamera di depannya.
“Bertahanlah sedikit lagi, demi hidup yang sementara. Buat ia penuh akan makna."
Lengang sejenak. Sang gadis menoleh, menunggu kalimat berikutnya.
"Tenang saja, aku akan mengawasi kalian dari jauh, layaknya novel yang ku buat ini, akan ku temani kalian di setiap langkah baru, tantangan baru, pertemanan baru, cita-cita baru, dan juga tujuan baru. Saya berjanji akan hal itu dan kita akan bertemu di lain waktu.” Lanjut penulis. Terdengar meyakinkan.
Beberapa penonton terlihat ragu, saling melirik. Namun, sebagian dari mereka memberi tepuk tangan bangga. Penulis yang tergolong masih muda ini memiliki semangat kuat yang cukup menginspirasi banyak orang, termasuk gadis yang masih belum berani melanjutkan langkahnya.
Sesi wawancara selesai, siaran itu telah berganti menjadi berita harian. Lima menit juga sudah diraup habis olehnya. Gadis yang berdiri kaku di depan pintu masuk semakin sulit mengangkat kakinya, tapi entah mengapa dadanya terasa lapang begitu mendengar perkataan sang penulis. Situasi yang amat berat saat ini membuat si gadis tak berhenti mengalirkan keringat dari pelipisnya.
Rasa gugup berada di ujung tanduk.
Sebelum ia benar-benar kembali melangkahkan kaki, dari dalam ruangan, Wanita yang tampak lebih tua darinya mengenakan jas putih panjang juga memegang beberapa kertas di tangannya berjalan menghampiri.
“Apa kamu sudah siap?” Wanita dengan jas putih itu bertanya.
Tidak ada respon, gadis itu tertunduk memandang kakinya.
“Siap dengan resiko yang akan kamu terima?”
Anggukan pertama dari si gadis, masih ada keraguan.
“Sudah siap dengan keputusanmu sendiri?” Wanita itu bertanya untuk terakhir kalinya. Seraya memasang topi tipis berwarna hijau dengan lemah lembut di kepalanya.
“Mungkin... Mungkin ini bukan keputusan terbaik. Tapi persis seperti apa yang dikatakan penulis itu, kita harus membuat hidup jadi lebih bermakna, sekalipun berada di ambang kehancuran.”
“Bukankah begitu, dokter?”
Topi hijau telah terpasang sempurna. Wanita yang memasangkannya mengangguk, tersenyum.
Sebuah kursi roda datang, gadis itu perlahan menaikinya. Ia kemudian menoleh ke arah lorong yang panjang, sejenak menarik nafas lalu menghembusnya perlahan. Wanita dengan jas putih itu memastikan kembali dan pada akhirnya, ia mendapat anggukan mantap.
Keputusan telah diterima.
Di detik itu juga, satu tetes air mata jatuh ke lantai tepat sebelum kursi roda didorong masuk. Meninggalkan jejak yang akan menjadi sejarah dalam cerita ini.
Jejak Lima Mahkota.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Lima Mahkota
Teen FictionSelama dua tahun sejak insiden tak diinginkan itu terjadi, Nidha telah kembali mencoba berbagai cara untuk keluar dari kehidupannya yang menyesakkan, atau lebih tepatnya fase dimana ia merasa kesepian. Mengisolasi diri dari sudut manapun menyulitkan...