bab 4

15 2 0
                                    

Sudah satu bulan sejak kami ke Jeju. Soal pertanyaan itu, aku sendiri tidak tahu harus berkata apa entah pada diriku sendiri atau pada dia.

Iya, aku suka dia...

Tapi, aku tidak ingin terikat dengan hubungan seperti itu. Mungkin karena sejak lahir aku memang tidak punya pengalaman soal hubungan seperti itu dan aku sendiri tidak paham kenapa manusia harus begitu.

Oh, ayolah...

Kau tahu, aku tidak suka hal-hal menyebalkan seperti harus mengabari setiap saat, membeli barang yang sama, makan bersama, pergi bersama, hal-hal begitu sangat tidak cocok denganku yang lebih suka berada di kamar, menonton drama, mendengarkan musik, apa lagi menonton video para Idol.

Ahh... apa karena itu?

Yah, Hyunjin jelas sangat tampan jadi jika menjadikan wajahnya sebagai alasan tentu aku yang bodoh.

Aku ingin berkata jika dia tidak perlu bertanya soal hubungan kami lebih lanjut, aku suka hubungan kami yang begini tanpa terikat apa pun. Jadi, saat bertengkar kami tidak akan asing atau saling memusuhi.

I like it,

Aku suka hubungan kami yang begini,

"Bin!!"

"Berisik, ini kampus bodoh!"

"Hehe..." Aku hanya tidak bisa membayangkan jika lelaki ini akan menjadi asing denganku suatu hari nanti hanya karena hubungan 'sepasang kekasih' yang dia inginkan.

Lagi pula, memang tidak cukup dengan begini? Kita kan jadi tidak perlu susah payah membatasi diri kita dengan hal apa pun itu.

"Kau pulang sana!!"

"Kau itu, kenapa suka sekali marah denganku sih?"

Hey. Bagaimana tidak marah, dia ikut aku pulang bahkan masak dengan Ibuku. Padahal hari ini aku ingin menghabiskan waktu dengan Ibu. Dasar menyebalkan.

"Bin, tidak apa-apa... toh Hyunjin kan belum makan jadi sekalian saja?"

"Tuh, dengar!!"

"Cih, Ibu kalau sudah dengan makhluk ini pasti jadi lupa siapa anak kandungnya,"

"Bin!!" Bahkan mereka memanggilku bersamaan. Apa Jangan-jangan mereka ini anak dan ibu, sedangkan aku yang tamu? Haha, sepertinya aku sudah gila.

"Terserah," aku berlalu dari dapur meninggalkan dua orang yang sedang bermanja ria mengabaikan anak kandung di rumah ini.

Tahu begitu ku seret anak itu pulang. Eh, tapi tadi dia bilang ada Ibunya di apartemen lalu kenapa malah ikut denganku ke sini? Ada-ada saja anak itu kelakuannya.

Atau, sedang ada masalah?

"Bin..." suaranya serak. Aku lihat matanya, sedikit sembab.

"Kau ke-" belum juga selesai bicara anak itu sudah memeluk. Posisinya pasti tidak nyaman memelukku yang duduk begini sementara dia berjongkok. "Duduk," anak ini kenapa menurut sekali jika sedang menangis begini. Bisa kurasakan di jemariku yang mengusap ujung matanya, basah.

"Bagaimana ini, Bin..."

"Kau ini kenapa?" Bukannya bercerita Hyunjin justru memelukku lagi dan terisak. Kutatap Ibuku yang baru saja tiba, mencoba bertelepati namun hanya gelengan yang kudapati. "Hey, bilang dulu kau kenapa Hyunjin!!"

"A-Ayah..." lagi-lagi karena bedebah tua itu dia begini. Sepenting apa sih lelaki tukang selingkuh begitu. "Ayah sakit, Bin... aku ha-harus apa?"

Ya Tuhan. Kenapa tidak sekalian mati saja sih?! Hey, bukan mau kurang ajar tapi pria tua itu memang tidak tahu diri sekali kan.

"Di mana dia?"

"R-rumah..."

Rumah mana yang kau maksud bocah. Rumahmu itu ada tiga sekarang.

"Ku antar jika kau mau ke sana, tapi jika tidak tidur di sini! Jangan ke mana pun dan tidur saja di rumahku," dia mengurai dekapan kami dan menatap lekat bola mataku yang tengah tertuju padanya. "Jadi, mau bagaimana?"

"Di sini, aku tidak mau bertemu wanita itu..." sudah kuduga. Mau bagaimana dia sangat benci orang-orang itu sekalipun sang Ayah sakit.

"Bibi Mei, sudah tahu?" Dia mengangguk. Tak lama dia memberikan ponselnya dan menunjukkan jika ternyata Ibunya yang mengabari soal Tn.Hwang itu. "Aku minta bibi ke sini?" Dia menggeleng. Mungkin tak ingin sang Ibu melihat keadaannya yang begini.

.
.
.
.

Seminggu sudah,

Hyunjin terlihat murung, padahal saat ini kami sedang makan dengan wanita tercintanya itu.

"Bin, apa tidak apa-apa jika Ibu titip Hyunjin sebentar?"

"Tidak bibi Mei, aku tidak keberatan"

"Ayolah Bin, Ibu sudah bilang jangan panggil bibi kan?" Aku melirik sekilas pada Hyunjin yang biasanya bersemangat untuk membuatku memanggil bibi Mei dengan sebutan yang sama dengannya. Bibi Mei sadar jika aku sedang memperhatikan putranya, dia juga sadar jika putranya itu terlihat menyedihkan beberapa hari  ini. Dan mungkin, hanya satu alasannya. Sang Ayah...

"Hyunnie," aku jarang mendengar panggilan itu. Karena anaknya tidak mau. Tapi, kali ini Hyunjin dengan senang hati mau dipanggil begitu oleh Ibunya itu. "Temui Ayahmu!!"

Bisa kulihat sorot mata Hyunjin yang berubah, matanya terbuka lebar mendengar ucapan itu.

Dia mau, sangat mau bertemu... tapi, jika dia ke 'rumah itu' maka yang akan dia temui adalah Ayahnya dan seorang perempuan yang begitu dia benci. Bibi Mei tidak bodoh untuk tidak mengetahui jika Hyunjin tidak ingin melihat mereka,

"Hyunnie,"

"Tidak mau!"

"Temui!!" Aku sadar sebenarnya aku tak ada hak bicara begini. Tapi melihat bibi Mei dan dengan mengetahui perasaan Hyunjin, aku harus begini.

"Bin~~" rengeknya.

"Hyunjin, apa kau mau lari terus? Temui mereka, lihat Ayahmu dan pergi setelah itu! Jangan siksa dirimu yang tak salah. Biar mereka melihat dirimu yang kuat, jangan begini! Payah!"

Bibi Mei tersenyum, dia paham mengapa aku bersikap begini. Karena kami berdua sama-sama tahu bagaimana berartinya sang Ayah untuk Hyunjin. Bibi Mei sadar, dia terlalu sibuk sampai suaminya pun memilih mencari wanita lain yang mampu menemani rasa sepi itu.

"Jin~Aaa..." Begitulah sebenarnya aku memanggil si teman ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

untitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang