30 tahun kemudian...
Rambut yang tadinya sehitam kegelapan malam kini berubah abu-abu.
Kulit kencang dan sehalus susu mulai berubah keriput dan tidak bercahaya lagi.
Langkah kaki yang terbiasa menyusuri setiap sudut hutan mencari sosok Anchika, saat ini bahkan sekedar berjalan ke meja makan tidak lagi kuat.
Arayya sudah banyak berubah, setiap hari dia akan semakin tua. Meski begitu perasaannya untuk Anchika masih segar seperti puluhan tahun yang lalu.
Setelah kehilangan Anchika yang tiba-tiba, Arayya tetap melanjutkan hidupnya seperti biasa. Kedua orangtuanya serta orangtua Anchika akan berkali-kali datang ke villa, membujuknya untuk pulang ke kota dan memulai hidup baru. Namun, Arayya yang percaya jika Anchika suatu saat nanti akan pulang ke pelukannya tidak ingin beranjak kemanapun.
"Ara menikahlah, kita tidak akan menyalahkanmu. Hidup harus terus berjalan..."
"Sayang, Chika pasti akan memaklumi. Dia di atas sana akan sedih jika melihatmu seperti ini"
Ucapan-ucapan dari orang terdekatnya tidak membuat Arayya goyah.
Dan sudah bertahun-tahun lamanya ucapan itu hilang. Keempat orangtua yang selalu ada dan menguatkan Arayya pergi satu-persatu di hari yang tenang dan menyisakan Arayya sendirian.
Di villa yang sunyi, Arayya yang tua di urus oleh sepasang suami-istri. Keduanya sudah Arayya anggap sebagai anak sendiri.
"Indah, jangan tutup jendelanya" Suara lemah Arayya terdengar, kelopak matanya yang terkulai bergerak terbuka.
Indah yang tadinya ingin menutup jendela karena sudah sore berbalik menatap wanita tua yang terbaring di kursi goyang.
"Sebentar lagi akan malam oma, angin malam tidak baik untukmu" Bujuk Indah sambil tersenyum lembut.
"Tidak apa-apa, aku suka melihat jalan setapak di sana" Mata Arayya berkaca-kaca, jalanan setapak yang sepi selalu hidup di balik mata indahnya. Dibenaknya, dia seolah melihat Anchika sedang berjongkok dan memetik bunga juga berry liar.
Indah tahu maksud Arayya, dia tidak bersikeras lagi dan hanya mengambil selimut usang kesukaan Arayya.
"Oma, pakai ini. Aku akan ke ladang dan menjemput Oniel"
"Terima kasih..." Dengan tangan gemetar Arayya meraih selimut pemberian Indah, di sudut kain sulaman nama Arayya Anchika terukir, itu adalah hasil tangan Anchika. Apapun yang menjadi miliknya dan Arayya harus ada nama mereka yang tersulam di sana.
Arayya membalut tubuhnya dengan selimut dan kembali bersender di kursi goyang, mata tuanya menatap fokus pada rimbunan rumput di luar. Sesekali senyumnya akan mengembang.
Diam dan tidak melakukan apa-apa, tapi entah mengapa Arayya merasa bahagia.
Mungkin karena merasa pegal dengan posisi yang sama Arayya lalu bergerak, dengan tubuh bungkuknya dia berjalan masuk ke dalam kamarnya.
Suasana sore membuat kamar tampak remang-remang, Arayya tidak menyukai ini akan tetapi dia juga tidak berniat untuk menyalakan lampu.
Arayya membuka laci meja, tangan keriputnya bergerak dan meraih selembar foto usang. Di sana, ada sosok muda dirinya dan juga Anchika.
"Aku selalu bertanya-tanya bagaimana kamu saat tua..." Ibu jari Arayya bergerak mengusap permukaan foto.
"Tinggi sekali egoku selama ini, selalu berpikir jika nanti kamu akan pulang dan kita bisa melanjutkan hidup seperti rencana kita dulu..."
KAMU SEDANG MEMBACA
BIPOLAR (Oneshoot)
RomanceJangan terlalu bahagia di awal karena mungkin saja di akhir kamu akan menangis.