Klandestin

139 14 5
                                    

Hidup sendirian di negeri orang sama sekali bukan perkara mudah. Mencoba bertahan hidup tanpa bantuan siapapun menjadi tantangan tersendiri yang mesti dihadapi. Meski sulit, kehidupan harus tetap berlanjut, waktu akan terus berjalan, begitupun matahari akan tetap bersinar tanpa memperdulikan segala hiruk pikuk dibawahnya.

Dalam keheningan, seorang gadis duduk di sudut ruangan dengan wajah berseri. Rambutnya yang sewarna karang bergoyang lembut, sementara netra kecoklatannya berbinar menatap beragam buah yang dikantonginya dari balik gaunnya. Cahaya mentari mengintip melalui celah-celah ventilasi, tampak seperti pancaran sempit yang memotong kegelapan, menciptakan pola-pola cahaya yang lembut di lantai dan dinding.

"Sepertinya kau mendapat banyak hari ini."

Tersentak.

Suara itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong, frekuensi asing yang menyusup ke dalam keheningan membuat gadis itu segera menegakkan kepala dan memandang waspada ke sekelilingnya.

Di sudut ruangan lain, seseorang duduk di sebuah sofa tua. Setitik cahaya yang masuk hanya mampu menampilkan siluet perawakannya yang tinggi tegap.

"Jadi kau kucing nakal yang suka mencuri buah-buahan milik petani?"

Suara berat itu kembali mengudara disertai kekehan kecil. Pria itu meraih pemantik dari saku celananya, menyalakan cerutu yang terapit di antara bilah bibirnya.

Sepercik cahaya menerangi wajah pria itu, menyoroti sekilas rupa yang terpahat, rahangnya tegas dengan obsidian yang menyorot tajam, rambut hitamnya yang sedikit panjang tampak agak berantakan.

"Ambil saja sesuka hatimu," serunya santai, sementara asap tipis mulai menyebar, menciptakan aroma yang membuat sang gadis mengernyit tidak suka.

Gadis itu masih mempertahankan kewaspadaannya, tatapannya tak sedikit pun beranjak dari sosok pria yang tampak sibuk dengan pikirannya.

"Konflik antar negara membuat ekspor pangan menjadi terhambat, petani kesulitan menjual hasil panennya hingga banyak yang berakhir membusuk."

Pria itu menyandarkan tubuhnya, menerawang pada langit-langit kendati tidak banyak yang mampu ditangkap indera penglihatannya.

"Jadi aku boleh mengambilnya?"

Sang gadis akhirnya membuka suara, melayangkan pertanyaan yang sontak mengundang keheningan, terlampau hening sampai kedua insan itu dapat mendengar deru nafas satu sama lain.

Pria itu menegakkan tubuhnya, menatap sang gadis dalam diam hingga sebuah tawa keras mengalun memecah keheningan.

"Apa hanya itu yang kau pikirkan?" serunya.

"Negara kita sedang krisis, tidakkah kau memikirkannya?" ucapnya kembali, pria itu terkekeh ketika mendapati wajah datar sang gadis.

Gadis itu tidak menanggapi, sama sekali tidak menunjukkan minat pada topik yang sedang dibahas oleh pria asing tersebut. Tanpa sepatah kata pun, ia bangkit dari tempat duduknya dan melangkah menuju pintu, mengabaikan sang pria yang memandanginya dari balik kegelapan.

"Namaku Park Seonghwa. Siapa namamu?"

Suara itu mengalun di antara kepulan asap yang mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Langkah gadis itu terhenti, ekor matanya melirik sang pria yang masih terduduk dengan tenang ditempatnya.

"Kenapa kau harus tahu? apa kau akan melaporkanku?" tanyanya.

Pria itu kembali terkekeh.
"Tidak."

Tidak ada tanggapan untuk beberapa saat, sebelum gadis itu kembali melanjutkan langkahnya seraya mendorong pintu keluar.

"Yewon— Kim Yewon."

Suasana benar-benar hening setelahnya. Di balik kegelapan, pria itu tersenyum miring, menghisap cerutunya seraya bertumpu kaki.

"Seorang Kim?"

***

🔓character unlocked

—kamis, 22 agustus 2024

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

kamis, 22 agustus 2024

DAISVENETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang