Ombak kehidupan

2 0 0
                                    

Hana POV_

Sebenarnya bisa di katakan nekat, apa yang Hana lakukan sekarang adalah sebuah hal yang tidak seharusnya ia lakukan, tapi jujur saja, dia lelah. Dia sudah berada di tahap Burn Out. Apapun yang dia lakukan rasanya dia lelah, dan Hana tak pernah menyangka jika lelah karena psikis bisa membuatnya bahkan lebih lelah dari lelah fisik. Belum lagi jika harus mendengar bisikan-bisikan orang lain.
Ya, benar, mungkin memang seharusnya kita tidak memedulikan apa yang di katakan oleh orang lain, bukan? Tetapi akui saja, bahwa jauh di lubuk hati dan di dasar pikiran kita, tetap saja, apa yang di katakan oleh orang lain itu membekas, dan mengganggu pikiran. Hana sangat menyesal, betapa dulu dia sangat sombong dan congkak, mengatakan pada teman-temannya bahwa dia telah kuat secara mental, tak ada yang bisa menandingi kekuatan mentalnya, hanya karena baru sekali mengalami guncangan hebat dalam hidupnya. Hana pikir saat itu adalah saat-saat terkelam, di tipu oleh orang yang telah dia percayai, kemudian identitas pribadinya di jadikan jaminan untuk pinjaman online, sampai seluruh orang di kantornya memandangnya sebelah mata. Benar, Hana pikir itu adalah titik balik hidupnya, saat dimana dia harus mendengar rintihan perih ibunya yang harus merelakan rumah mereka, peninggalan sang ayah untuk melunasi semuanya.
Bayangkan, rasanya ingin mati saja. Hana tidak akan pernah lupa rasanya. Hana saat itu benar-benar berpikir untuk mati saja. Bagaimana ia mendengar sendiri orang yang dianggapnya sebagai sahabat harus berbisik-bisik dan bercerita tentang dirinya di belakangnya atas apa yang terjadi padanya, bagaimana ia menjelaskan situasinya kepada semua orang tapi tak ada yang percaya, mereka tetap saja sinis, mereka tetap saja memandangnya sebelah mata. Semua itu sudah pernah Hana rasakan, jadi wajar saja jika Hana merasa mentalnya sudah sekuat itu.

Tetapi ternyata Hana salah, dia belum sekuat itu. Saat terjadi masalah seperti ini, saat dirinya di bentak dengan keras oleh teman kantornya hingga di laporkan atas penggelapan yang tidak dia lakukan, Hana lemah, rasanya bahkan ia tidak ingin lagi untuk menginjakkan kaki di tempat itu. Bagi Hana yang katanya bermental baja, tempat itu kini bak neraka. Kewaspadaannya meningkat 1000 kali lipat, tetapi, bahkan ketika ia meningkatkan kewaspadaannya pun, dia tetap mendengarkan bisikan-bisikkan itu. Bisikkan mengumpat, menggunjing dirinya, yang sayangnya datang dari orang-orang yang Hana pikir berada di pihaknya dan percaya padanya.

"Persetan..." lirih Hana dalam hati, ia mulai berpikir mengapa orang-orang ini tak mengatakannya saja sejak awal padanya? Jika dia melakukan kesalahan, seharusnya dia di beritahu, di tegur secara baik-baik, jika sudah sepert ini, rasanya dia di khianati, lebih sakit lagi karena Hana merasa sudah melakukan yang terbaik, dia melakukan semaksimal yang dia bisa tetapi tetap saja, seolah apa yang di lakukannya selalu salah.

Hana memejamkan mata, berharap dia bisa tertidur lelap meskipun mungkin esok hari ia akan kembali menangis, kembali tergugu oleh kekecewaan karena tak di dengarkan, mungkin esok hari, dirinya yang malam ini mencoba ia kuatkan ternyata begitu lemah, mungkin dia akan terkena serangan jantung, mungkin juga dia akan menangis tersedu-sedu, tapi Hana mencoba menguatkan diri. Malam ini saja. Setidaknya malam ini, dia ingin tidur dengan nyenyak.

#

Yugi POV_

Yugi terus menscrool dan mengukir layar pada ponselnya. Meskipun sebulan terakhir ini sahabat-sahabatnya dan manajernya mengatakan untuk tidak membuka sosial media dulu, tetapi Yugi tidak bisa mengabaikan begitu saja, suara-suara yang terus terdengar di telinganya. Suatu waktu Yugi nyaris tak dapat menahan diri, ia nyaris berteriak kepada seseorang yang ada di sampingnya, ingin dia labrak, ingin sekali berkata dengan kencang "Jika niatmu adalah berbisik dan menggunjing di belakangku, minimal lakukan jauh dariku agar tak terdengar olehku, tapi jika ingin mengatakannya secara langsung padaku, katakan secara terus terang sekarang juga!" Sayangnya, itu hanya ada di dalam pikiran Yugi, ia berhasil menahan diri untuk yang kesekian kali meskipun rasa di dadanya sangat sesak. Seperti ada batu besar dari atas gunung yang di letakkan disana hingga membuatnya sesak. Rasa tidak nyaman yang kini malah naik di kedua matanya, membuatnya terasa panas karena emosi yang tidak tersalurkan. Maka, Yugi memutuskan untuk pergi sebentar, keluar, ke bagian samping kantor tempatnya bekerja sekarang, di bagian tersembunyi dekat pembuangan sampah. Disana dia berteriak sekali, kemudian meraih rokok dari saku celananya beserta pemantik dan mulai menghisap, berharap resahnya segera hilang karena dia tidak bisa meninggalkan mejanya cukup lama.

"Ini menjengkelkan bukan?" Suara itu membuat Yugi menoleh ke belakang, ia tidak menghiraukan rokok yang tetap bertengger di antara jemarinya, karena orang yang menegurnya pun sama dengannya, mengapit sebuah rokok di antara jemarinya. Yugi terdiam. Tidak menanggapi tetapi juga tidak berniat untuk buru-buru pergi, lebih tepatnya tidak peduli "Persetan..." Bisik Yugi dalam hati, tetap mengisap rokoknya dan berusaha mengalihkan perhatiannya terhadap hal itu. Untuk sesaat itu lumayan membantu, efek nikotin yang di hisapnya seperti naik ke kepala dan menyapa kelenjar endorfinnya, memaksa untuk bekerja, hingga kini ia merasa sedikit rileks. Suga tersenyum kecut, ini memang hidup, kehidupan yang tidak akan pernah menyukainya, seperti dirinya yang membenci kehidupan. Mungkin, karena hidup membencinya, maka sejauh apapun dia berusaha berdamai, tidak akan pernah ada kata damai untuknya dalam hidup ini. Dia di tuntut untuk menjadi pejuang kehidupan. Di tuntut untuk menang melawan beratnya beban hidup, dan Yugi tahu, meskipun satu bahunya telah ia korbankan untuk memikul beratnya kehidupan, hidup itu sendiri tak pernah akan berhenti untuk memberikan ujian padanya, mungkin sampai ajal menjemputnya.

Setelah rokoknya habis, Yugi segera membuang benda itu ke tanah, menginjaknya dengan kakinya hingga apinya padam, kemudian melangkah pergi, tidak menghiraukan sepasang mata yang sedari tadi terus memandanginya, karena Yugi tahu, dia sama seperti orang lainnya, hanya ingin dekat dengannya untuk numpang tenar, hanya ingin menjadikan nama besarnya sebagai batu loncatan, dan dia muak akan hal itu, sudah cukup selama ini yang dia lakukan untuk orang-orang, toh saat dirinya terseret kasus orang-orang seperti tak menganggapnya ada, orang-orang yang dulu sok akrab dan baik padanya justru mengabaikannya, seolah-olah dia telah melakukan kesalahan besar yang tak termaafkan, bahkan mungkin, diantara orang-orang itu, yang dulu berpura-pura baik padanya, ada yang sudah berkomentar jahat tentangnya. Tidak salah jika Yugi berpikir seperti itu, karena memang dunia ini sudah terlalu banyak di penuhi oleh orang-orang kotor seperti itu. Sebuah pelajaran baru yang dia dapatkan lagi kali ini, bahwa bersikap terlalu baik kepada orang lain, tidak akan pernah ada untungnya, cukup fokus dengan diri sendiri saja.

#

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The ProducerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang